Rabu, 22 Februari 2017

Kepemimpinan Kolektif-Kolegial Dalam Gereja

KEPEMIMPINAN MELAYANI
SECARA KOLEKTIF-KOLEGIAL DALAM GEREJA
(Kelebihan dan Kekurangannya)
Oleh : Pdt. Dr Bambang Nugroho Hadi, M.Th

            Model kepemimpinan melayani adalah model kepemimpinan Kristen. Model kepemimpinan melayani ini diterapkan dalam berbagai gaya kepemimpinan. Ada Gereja yang memberlakukan model kepemimpinan melayani dengan gaya kepemimpinan tunggal / single fighter. Ada juga  yang menerapkan gaya kepemimpinan tim. Gaya kepemimpinan tim inipun ada yang berjenjang seperti piramida, mirip gaya kepemimpinan Musa, tetapi ada juga  yang dilakukan dalam tim yang kolektif-kolegial.

Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif - Kolegial
            Penulis secara jujur menemukan kesulitan untuk mencari sumber teori tentang gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial ini. Tetapi menurut Mely G. Tan, itu bisa saja terjadi dalam penelitian yang bersifat menjelajah (exploratory), di mana pengetahuan mengenai persoalan itu masih sangat kurang atau belum ada teorinya sama sekali. Demikian pula dalam penelitian deskriptif. Lain halnya untuk penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory), di mana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesa-hipotesa yang akan diuji.[1]
            Banyak gereja di Indonesia yang menerapkan gaya kepemimpinan melayani secara kolektif- kolegal. Keputusan tertinggi dalam gereja ada pada Majelis Jemaat[2] yang terdiri dari Penatua, Pendeta dan Diaken. Tiga jabatan gerejawi ini berkedudukan setara, artinya tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara ketiganya. Meskipun Pendeta adalah jabatan gerejawi seumur hidup dan Penatua serta Diaken menjabat selama periode tertentu, (yakni 3 sampai 5 tahun) tetapi kedudukan mereka tidak ada sub ordinat. Pendeta, Diaken dan Penatua bersama-sama disebut Majelis Jemaat (MJ). Pendeta bukanlah MJ. Penatua bukan pula MJ. Demikian halnya Diaken bukan MJ. Tetapi ketika mereka bersidang, maka mereka disebut Majelis Jemaat. Majelis Jemaat bersidang secara rutin paling tidak satu kali dalam satu bulan untuk mengevaluasi pelayanan yang telah dilakukan dan merencanakan pelayanan berikutnya. Keputusan tertinggi ada pada kesepakatan persidangan dan diusahakan dicapai dengan jalan musyawarah. Dalam pengambilan keputusan yang sangat penting dan dapat membahayakan keutuhan gereja, maka persidangan dapat ditunda dan pada persidangan berikutnya menghadirkan Majelis Pekerja Klasis (MPK)[3] untuk menjadi penasihat. Tetapi keputusan akhir tetap ada dalam persidangan Majelis Jemaat. Persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan dalam persidangan Majelis Jemaat dapat dibawa ke dalam persidangan Klasis yang diselenggarakan satu tahun sekali untuk digumuli oleh para Penatua, para Diaken dan para Pendeta gereja-gereja dalam Klasisnya untuk mendapatkan jalan keluar terbaik. 
            Dalam gaya kepemimpinan kolektif–kolegial,  Penatua, Diaken dan Pendeta adalah satu tim atau rekan sekerja. Mereka masing-masing berbagi tugas. Penatua bertugas dalam pengorganisasian dan menjaga pengajaran, Diaken bertugas dalam pelawatan kepada anggota yang sakit, memiliki persoalan hidup yang berat dan memberikan bantuan diakonia kepada anggota gereja serta mendorong anggota gereja untuk aktif dalam kegiatan gereja dan bersyukur kepada Tuhan.  Sementara Pendeta memfokuskan diri kepada pemberitaan Firman Tuhan, konseling pastoral, katekisasi, pelayanan-pelayanan sakramen dan pelayanan khusus. Meskipun terdapat pembagian tugas seperti tersebut di atas, dalam pelaksanaan tugas mereka bekerjasama dan saling mengisi secara dinamis. Sering terjadi Pendeta atau Penatua juga melakukan pelayanan pelawatan kepada anggota gereja.
            Penatua dan Diaken harus memenuhi kualifikasi tertentu misalnya sekurang-kurangnya telah satu tahun menjadi anggota jemaat tersebut dan dua tahun menjadi anggota Sidi, paham pengajaran dan hidupnya sesuai dengan firman Tuhan dan pengajaran gereja, telah mengikuti pembinaan tentang Tata Gereja, bersedia melayani pekerjaan Tuhan dengan sukacita, bertanggungjawab serta mulai menampakkan buah pelayanannya di tengah-tengah jemaat. Calon Penatua dan Diaken juga tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Penatua, Diaken atau pendeta di gereja tersebut, yakni hubungan antara Suami-Isteri, Orang tua-anak, mertua-menantu, saudara sekandung (kakak-adik). Kualifikasi lainnya adalah kesediaan untuk memegang rahasia jabatan, perikehidupan suami atau isterinya tidak menjadi batu sandungan bagi anggota gereja, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.[4]
            Untuk kualifikasi jabatan Pendeta sama dengan kualifikasi calon Penatua dan Diaken di atas, ditambah persyaratan-persyaratan lainnya, misalnya sebagai berikut: pertama, berijazah paling rendah sarjana teologi, mampu dan berdedikasi untuk melayani, bersedia untuk tidak bekerja di bidang lain yang tidak berhubungan dengan pelayanan gerejawi, suami atau isterinya tidak menjadi Pendeta di gereja yang sama.[5] Calon Pendeta juga harus lulus dalam proses pemendetaan sebagaimana diatur dalam  Pedoman Pemendetaan yang berlaku[6].
            Gaya kepemimpinan melayani secara kolektif kolegial ini, menurut Penulis memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
            Kelebihan gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial adalah bahwa kekuasaan tidak berada pada satu orang pemimpin, sehingga  terhindarkan dari penyalahgunaan kekuasaan dalam kepemimpinan. Penatua, Diaken dan pendeta memiliki kekuasaan dan hak yang sama dalam menentukan arah gereja. Apabila Pendeta pelayanan dapat diterima dan dipercaya, maka Pendeta dapat menjadi inisiator ide-ide segar yang membangun. Bila dalam hal ini ia memiliki kekurangan, maka Penatua atau Diaken yang dewasa rohaninya dan memiliki kapasitas yang baik bisa menutupi kekurangan Pendetanya.  Gereja dapat menjadi lebih hidup jika Majelis Jemaat dapat bekerjasama dengan baik dan saling melengkapi.
            Kelebihan kedua, gaya kepemimpinan kolektif-kolegial membuka kesempatan kepada kaum awam untuk terlibat secara penuh dan aktif bagi keberlangsungan dan kemajuan gereja. Bukankah dalam sejarah gereja kita bisa belajar tentang kiprah kaum awam dalam menumbuhkembangkan gereja? Gaya kepemimpinan kolektif-kolegial ini sangat terbuka dan cocok bagi aktivis-aktivis gereja yang ingin melayani secara lebih luas. Bila pembagian tugas pelayanan berjalan dengan baik, maka setiap pos-pos pelayanan dapat terlayani dengan sistematis.
            Ketiga,    beban tanggungjawab dipikul secara bersama-sama dalam kemajelisan. Kerjasama menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sebagaimana bunyi firman Tuhan, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus”[7]
            Kelebihan gaya kepemimpinan kolektif-kolegial yang keempat adalah bahwa gereja tetap akan dapat melaksanakan tugas dan pengutusannya, meskipun bila suatu ketika kehilangan Pendeta karena meninggal atau mutasi ke gereja lain. 

Kekurangan Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
            Dalam gaya kepemimpinan kolektif-kolegial, pemilihan Penatua dan Diaken dilaksanakan melalui pemilihan langsung dari jemaat, bukan dipilih oleh gembala / Pendeta. Meskipun ada kriteria Penatua dan Diaken yang diatur oleh Tata Gereja, dalam praktiknya, siapapun yang dipandang “mampu dan bisa” oleh mayoritas jemaat akan dipilih menjadi Penatua atau Diaken untuk masa waktu 3-5 tahun. Pendeta tidak memilih sendiri rekan sekerjanya sebagaimana ada dalam gaya kepemimpinan tunggal atau gaya kepemimpinan berjenjang seperti kepemimpinan Musa. Kadang bisa terjadi, seseorang yang sudah dipilih oleh jemaat dan mendapatkan suara terbanyak, menolak belum siap menjadi Penatua atau Diaken. Maka, suara terbanyak nomor berikutnyalah yang dilantik menjadi Penatua atau Diaken.   Hal ini kadang berakibat munculnya rasa tidak percaya diri bagi anggota Penatua atau Diaken yang memperoleh suara tidak begitu banyak tetapi kemudian dilantik karena anggota yang memperoleh suara terbanyak menyatakan tidak bersedia.
            Kekurangan  atau kelemahan gaya kepemimpinan kolektif-kolegial lainnya, menurut pengamatan  Penulis nampak tatkala ada salah satu anggota Majelis Jemaat yang terlalu dominan. Mungkin disebabkan karena pengaruh kedudukan ekonomi yang lebih mapan daripada yang lain, memiliki keluarga besar di gereja tersebut atau seorang tokoh intelektual tetapi tidak memiliki hati seorang pelayan.  Dengan kata lain, motivasi melayaninya rendah. Kekuatan yang dimilikinya tidak dipergunakan untuk melayani tetapi menekankan sisi kuasa memimpinnya. Hal ini  dapat dijumpai di banyak  gereja lokal yang menerapkan model kepemimpinan kolektif-kolegial ini. Ada “raja-raja kecil” di setiap wilayah pelayanan. Sebenarnya hal itu tidak menjadi persoalan bila motivasi melayani mereka tinggi. Bila sebaliknya, tentu menjadi masalah bagi keberlangsungan pelayanan.
            Kelemahan gaya kepemimpinan kolektif-kolegal yang ketiga adalah soal efektivitas pengambilan keputusan penting dan mendesak hanya dapat dilakukan dalam sidang majelis. Kadang kala sidang memakan waktu yang cukup lama untuk mengambil bahkan keputusan yang tidak begitu penting karena ada “tokoh” gereja yang juga menjadi anggota majelis tidak menyetujui konsep keputusan.  
            Kekurangan yang keempat adalah bila terjadi persoalan pribadi antara salah satu Penatua atau Diaken yang dengan Pendeta. Persoalan menjadi lebih susah untuk diselesaikan terlebih bila Penatua atau Diaken tersebut secara subjektif pernah dikecewakan Pendetanya. Biasanya, Pendeta kemudian memilih mutasi ke gereja lain atau harus menjaga agar tidak berseberangan pendapat dengannya. Tentu bukan suasana yang kondusif  bagi pengembangan pelayanan.



                [1] Mely G. Tan, “Masalah Perencanaan Penelitian” Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga, ed. Koentjaraningrat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 19.
[2]  Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis Gereja.
[3]  Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis Klasis.
                [4] Bdk. Tata Gereja GKSBS, Bab IX tentang Jabatan Gerejawi, yakni pada Pasal 1 Ayat 67 tentang Syarat Penatua /Diaken.
                [5] Bdk Tata Gereja GKSBS, Bab IX tentang Jabatan Gerejawi, yakni pada Pasal 2 Ayat 71 tentang syarat Pendeta GKSBS.
                [6] Misalnya dalam Pedoman Pemendetaan di GKSBS, calon yang sudah masuk kualifikasi harus menjalani masa perkenalan, orientasi dan pembimbingan calon Pendeta. Dalam proses perkenalan dan orientasi, Majelis Jemaat yang memberikan penilaian kepada calon Pendeta. Ketika dinyatakan layak dilanjutkan kepada proses pembimbingan. Pada masa ini, calon harus live-in dan belajar kepada 6 sampai 7 Pendeta senior untuk dibimbing 7 materi pembimbingan.  Hasil akhirnya adalah 7 Paper yang harus dipertanggungjawabkan dalam ujian peremtoir. Lih. Pedoman Pemendetaan GKSBS (Metro: Kantor Sinode GKSBS,tt.).
                [7] Gal. 6:3

Kamis, 08 Desember 2016

Eklesiologi GKSBS

EKLESIOLOGI GKSBS SEBAGAI RUMAH BERSAMA[1]
Dipresentasikan oleh
Pdt. Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th[2]

        I.            KEUNIKAN GKSBS
                GKSBS (Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan) mungkin satu-satunya gereja di Indonesia yang lahir bukan dari kegiatan badan misi (zending) tertentu atau karena program misi dari Sinode tertentu.  GKSBS sebagai gereja di Sumbagsel terbentuk dari persekutuan orang-orang kristen transmigran yang berlatar belakang gereja /denominasi yang majemuk, yaitu : GKJ, GKJTU, GITJ, GKJW, GKMI, HKBP, GPIB, GKPB, Katolik, Pantekosta dan Injili).
                GKSBS berawal dari gereja suku (Wilayah 1 Sinode GKJ) dan pada tahun 1987 menjadi Sinode sendiri yang berkomitmen untuk menjadi gereja daerah.  Pertumbuhan gereja GKSBS merupakan hasil proses “nglari” (mencari dan mengumpulkan orang kristen), bukan dari hasil penginjilan aktif. Persebaran GKSBS meliputi Sumatera Bagian Selatan, yakni Propinsi  Lampung, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jambi, terdiri dari 13 Klasis dengan  90 gereja dewasa dan 87 orang pendeta dengan 473 mimbar (kelompok/pepanthan ). 1 gereja dewasa rata-rata memiliki 2 hingga 14 kelompok ibadah (mimbar) dan terutama tumbuh berkembang di pedesaan.
                Jemaat-jemaat  GKSBS Sejak Sidang Sinode tahun 2010 memberlakukan persamaan hak antara anak-anak baptisan dengan anggota sidi untuk menerima pelayanan sakramen Perjamuan Kudus. Sosialisasi dilaksanakan sejak tahun 2008 (sebelum persidangan sinode) dan saat ini sudah sekitar 90 % seluruh jemaat melayani sakramen Perjamuan Kudus bagi anggota baptisan.

      II.            KONTEKS GKSBS

                Gereja hadir dalam konteks. Ia berteologi untuk menjawab konteksnya. Gereja selalu ada dalam tegangan antara dipengaruhi dan memengaruhi konteks yang menyekitarinya. Berikut ini deskripsi konteks Sumatera Bagian Selatan :
                Sumatera Bagian Selatan berpenduduk plural dalam suku, agama dan kebudayaannya. Semua agama besar yang diakui pemerintah RI ada di Sumatera Bagian Selatan. Transmigrasi membuat pengkotak-kotakan komunitas suku yang membawa nama desa asal mereka menjadi nama desa mereka yang baru di Sumbagsel. Kemiskinan penduduk mencapai 30-40 % dari total penduduk di setiap propinsi. Pada pihak lain, konflik tanah (agraria) sering terjadi. Lampung menempati peringkat kedua tertinggi konflik tanah di Indonesia dan Palembang menempati urutan yang ke-enam. Sementara itu, modal sosial, yakni persaudaraan, kepemimpinan dan organisasi serta tolong menolong mulai terkikis. Masyarakat berkecenderungan untuk mengumpulkan dan menimbun sebanyak mungkin aset dengan sesedikit mungkin  berbagi. Martabat seseorang diukur dari dan melekat pada uang, kekuasaan dan pengetahuan daripada pemahamannya mengenai dunia, manusia dan nilai.


    III.            NILAI-NILAI GKSBS
                Melihat kenyataan konteks di atas, nilai-nilai GKSBS masih tetap melekat meskipun tidak sekuat dulu. Oleh sebab itu, inventarisasi nilai-nilai GKSBS menjadi awal dari proses mempersubur dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai GKSBS di tanah Sumatera. GKSBS memiliki sebelas nilai (value), yakni : nilai asketisme untuk berbagi, keadilan yang berpihak, keadilan gender, dialog untuk partisipasi, menguatkan organisasi, menguatkan Lembaga Keuangan Lokal, pendidikan untuk kecakapan hidup, sensitif etnis, akuntabilitas, perbaikan ekologi dan nilai spiritualitas.
                Akar historis keberadaan nilai-nilai  GKSBS sebagai gereja transmigran untuk menjadi Gereja Daerah begitu kuat. Nilai persaudaraan dan kesadaran bahwa Sumbagsel sebagai rumah bersama begitu tinggi.  Benih dan keinginan untuk berbagi serta hidup bersama telah ada dalam tradisi dan sejarah budaya para transmigran. Gotong-royong,  toleransi (tepo-seliro), semangat untuk tetap mempertahankan keunikan yang khas (jati diri) dari penduduknya hendak menunjukkan bahwa mereka pernah ada di tanah asal mereka yakni Pulau Jawa, Lombok dan Bali. Nilai-nilai tersebut berfungsi kuat untuk menjamin mereka terus berkarya melewati situasi di tanah seberang.

    IV.            TEMA, VISI, MISI, ARAH MENGGEREJA, DASAR BERPIKIR DAN BERTINDAK GKSBS
                Tema Sidang Sinode Bengkulu tahun 2010 masih menggema. Tema:  “BERAPA BANYAK ROTI YANG ADA PADAMU? COBALAH PERIKSA…?!  Dan SUB Tema Sidang:    Panggilan  persaudaraan untuk hidup berbagi dan bermartabat dalam rumah bersama” terus dipelihara hingga kini.  Ada semangat dari GKSBS untuk menjadi berkat bagi Sumbagsel dengan merasa diri cukup dan mulai berbagi dengan apa yang ada padanya. Dalam sikap diri cukup dan berbagi itulah, GKSBS merasa memiliki martabat untuk hadir di Sumatera Bagian Selatan.
VISI GKSBS
“Gereja yang melihat diri sebagai Hamba Allah yang setia, peduli terhadap masalah sosial dan hak-hak asasi manusia.
Solider terhadap mereka yang miskin dan tertindas untuk untuk penguatan masyarakat sipil dan memberi pengharapan bagi dunia.”
MISI GKSBS
  1. Untuk berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allah (Mikha 6:8)
  2. Untuk melayani dengan menyampaikan kabar baik dan memberitakan tahun rahmat Tuhan kepada semua orang dan segenap ciptaan (Lukas 4:18-19)
ARAH BERGEREJA GKSBS
  1. Setiap orang, jemaat atau komunitas pasti memiliki sesuatu yang berharga untuk dibagikan kepada yang lain.
  2. Berbagi merupakan aktualisasi dan napak tilas pengembalian martabat.
  3. Panggilan untuk Berbagi dan bermartabat dalam persaudaraan dalam Sumbagsel sebagai rumah bersama menjadi panggilan diakonia GKSBS.
  4. Nilai berbagi akan menjadi nilai inti yang akan dibawa dalam kehidupan berjemaat untuk memberi pengharapan dan membawa perubahan sosial di Sumbagsel.

PRIORITAS: PANGGILAN DIAKONIA
  1. Prioritas GKSBS 2011-2015 adalah mengerjakan panggilan  diakonia untuk berbagi dan mempersubur nilai persaudaraan.
  2. Mengoptimalkan panggilan diakonia gereja di aras setempat, klasikal dan sinodal.
  3. Sumberdaya, dana dan teologi sebesar mungkin diarahkan pada panggilan diakonia ini.

      V.            DASAR BERPIKIR DAN BERTINDAK
                GKSBS mengembangkan paradigma Paulus untuk memikirkan apa yang benar, yang baik, yang disebut kebajikan dan patut dipuji (Appreciative Inquiry).
                Dalam pendekatan untuk mengubah  situasi  GKSBS memakai pendekatan nilai-nilai dan berdasar karunia dan asset-asset yang ada di jemaat dan masyarakat, terutama asset atau modal sosial (Asset Based Comunity Development /ABCD).
                Dalam menyusun dan melaksanakan program menggunakan manajemen yang berbasis hasil (RBM) yang dapat mempengaruhi perubahan. (mengumpulkan data, mempelajari dan mengolah data, memberdayakan tim kerja, melaksanakan pemberdayaan meluas, berjejaring dan monitoring evaluasi).

    VI.            GEREJA SEBAGAI RUMAH BERSAMA: KESADARAN AKAN EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL BAGI GKSBS
                Wacana kebutuhan untuk merumuskan eklesiologi GKSBS mulai disadari pada Sidang VII Sinode GKSBS di Belitang, tahun 2002. Para Pendeta GKSBS sudah heterogen latar belakang teologinya, banyak yang harus melalui  program “aplikasi” sebelum proses pembimbingan peremtoar. Pada pihak lain, terbangun kesadaran terhadap keunikan GKSBS sebagai gereja di Sumbagsel yang terbentuk bukan dari badan zending tertentu melainkan dari persekutuan orang-orang kristen transmigran yang berlatar belakang gereja /denominasi yang majemuk, yaitu : GKJ, GKJTU, GITJ, GKJW, GKMI, HKBP, GPIB, GKP, Pantekosta dan Injili). Gereja yang unik ini berkomitmen untuk semakin menjadi gereja daerah.
                Dalam perjuangan untuk menyepakati eklesiologi GKSBS yang kontekstual, GKSBS mengadakan Semiloka Eklesiologi GKSBS di metro pada bulan September 2004 yang difasilitasi Pdt EG Singgih, Ph.D. Dalam semiloka 2004 tersebut dihasilkan pilihan eklesiologi GKSBS, antara menjadi “Gereja Perjamuan” atau menjadi “Gereja Persaudaraan”
                Dalam perkembangannya, GKSBS terus menerus merefleksikan keberadaan dirinya di Sumbagsel dan mengarahkan pilihannya dalam Konven Pendeta GKSBS tahun 2011, untuk menjadi gereja berdiakonia dengan eklesiologinya yang dirumuskan dalam metafor “Rumah Bersama”.
                Eklesiologi GKSBS Sebagai Rumah Bersama menggema sejak tahun 2010 hingga sekarang. GKSBS memaknai gereja dalam metafor “Rumah Bersama” didasarkan dari nilai-nilai yang dimiliki GKSBS. Nilai-nilai itu yang membentuk identitas GKSBS dalam keberadaannya di Sumatera Bagian Selatan yang plural. Dalam kerangka pemikiran itulah GKSBS menyusun eklesiologi Rumah Bersama sebagai eklesiologi yang kontekstual. Melalui perjumpaan antara pendatang dengan penduduk asli terjadi dalam suasana yang damai sehingga metafor rumah bersama bukan dimaknai sebagai tempat tapi suasana. Suasana di mana terdapat kenyataan saling mengakui, saling menghargai dan saling menerima satu dengan yang lain. Eklesiologi GKSBS sebagai Rumah Bersama telah dan sedang disosialisasikan ke seluruh Jemaat Lokal dan telah diputuskan dalam Sidang Sinode bulan Agustus 2015 yang lalu.




[1] Rumah Bersama adalah metafor yang dipilih oleh GKSBS yang didapatkan dari sejarah perjumpaan GKSBS dengan Tuhan dan Sesama penduduk Sumatera Bagian Selatan dan dihidupi dari nilai-nilai yang tumbuh subur di GKSBS. Paper kecil ini telah disampaikan dalam Studi Institut PERSETIA di STT Jakarta 23-26 Juni 2015.
[2] Pendeta Jemaat GKSBS Mawar Saron, Ketua Departemen Peningkatan Kapasitas Sinode GKSBS, Dosen Biasa pada STT Syalom Lampung.

Selasa, 06 Desember 2016

Rangkuman 11 Model Kepemimpinan Menurut Para Ahli

11 Model Kepemimpinan

1.       Model Kepemimpinan Kontingensi (Fiedler)
Model kontingensi diciptakan oleh E. Fiedler. Model ini menjelaskan bahwa pemimpin akan berhasil menjalankan kepemimpinannya apabila menerapkan gaya kepemimpinan yang berbeda dalam menghadapi situasi yang berbeda. Tidak ada pemimpin yang berhasil dengan hanya menerapkan satu macam gaya untuk segala situasi.

Terdapat 3 ( tiga ) sifat situasi yang berpengaruh terhadap efektifitas kepemimpinan, yaitu:
a.      Hubungan antara pemimpin dan anggota merupakan variabel yang sangat kritis dalam menentukan situasi yang menguntungkan.
b.      Derajat susunan tugas, merupakan masukan kedua yang sangat penting untuk situasi yang menguntungkan.
c.      Kedudukan kekuasaan pemimpin yang diperoleh melaui wewenang formal, adalah dimensi sangat kritis yang ketiga dari situasi.

2.       Model 3 Dimensi Kepemimpinan  (Reddin)
Model 3 Dimensi Kepemimpinan atau yang juga dikenal dengan sebutan 3-D model karena menghubungkan tiga kelompok gaya kepemimpinan, yaitu:
a.      Kelompok gaya dasar, terdiri dari gaya pemisah, pengabdi, penghubung, dan terpadu.
b.      Kelompok gaya efektif, terdiri dari gaya birokrat, otokrat bijak, pengembang, dan eksekutif.
c.      Kelompok gaya tak efektif, terdiri dari gaya pelari, otokrat, penganjur, dan kompromis.


3.       Model Kontinum Kepemimpinan (Tannenbaum dan Schmidt)
Model ini berpendapat bahwa ada tiga faktor yang harus dipertimbangkan oleh pemimpin dalam memilh gaya kepemimpinan yang akan dilakukan. Ketiga faktor tersebut, yaitu:
a.      Kekuatan pimpinan, misalnya latar belakang pendidikan, pengetahuan, latar belakang kehidupan pribadi, pengalaman, kecerdasan, dsb.
b.      Kekuatan bawahan, hal ini menyebabkan pimpinan memilih gaya demokratis apabila bawahan sangat membutuhkan ketidaktergantungan dan kebebasan bertindak, ingin memiliki tanggung jawab dalam pembuatan keputusan.
c.      Kekuatan situasi, hal ini mempengaruhi pemilihan gaya kepemimpinan seperti suasana organisasi, tekanan waktu, kelompok kerja khusus, dan faktor lingkungan lainnya.

4.       Model Kontinum Kepemimpinan Berdasarkan Banyaknya Peran Serta Bawahan dalam Pembuatan Keputusan (Vroom-Yetton)
Dalam model ini terdapat dua macam kondisi utama yang dapat dijadikan dasar bagi pemimpin untuk mengikutsertakan bawahan atau tidak mengikutsertakan bawahan dalam pembuatan keputusan, antara lain :
a.      Tingkat efektivitas teknis diantara para bawahan
b.      Tingkat motivasi serta dukungan para bawahan

5.       Model Kontingensi Lima Faktor (Farris)
Dalam model ini, pengaruh terhadap perilaku pemimpin dapat datang dari pemimpin itu sendiri atau dari bawahan dan dapat disalurkan secara berbeda antara kedua pihak tersebut. Ketepatan jenis perilaku pemimpin tergantung pada 5 faktor, yaitu:
a.      Wewenang pengawasan terhadap masalah yang ada
b.      Wewenang anggota kelompok terhadap masalah
c.      Pentingnya penerimaan dari pemberian keputusan terhadap pimpinan
d.      Pentingnya penerimaan keputusan terhadap anggota kelompok
e.      Tekanan waktu


6.       Model Kepemimpinan Dinamika Kelompok (Dorwin Cartwright & Alvin Zander)
Menurut model ini, terdapat dua macam perilaku kepemimpinan, yaitu :
a.      Pencapaian beberapa sasaran kelompok khusus, identik dengan perilaku pemimpin yang mengutamakan tugas.
b.      Pemeliharaan dan penguatan kelompok itu sendiri, identik dengan perilaku pemimpin yang mengutamakan hubungan antar orang.

7.       Model Kepemimpinan “path-goal” (Evans dan House)
Pendekatan model kepemimpinan “path-goal” berdasarkan pada model pengharapan yang menyatakan bahwa motivasi individu berdasarkan pada pengharapannya atas imbalan yang menarik. Pendekatan ini menitikberatkan pada pemimpin sebagai sumber imbalan dan mencoba memprediksi bagaimana perbedaan tipe imbalan dan perbedaan gaya kepemimpinan mempengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan bawahan.

8.       Model Kepemimpinan “Vertical Dyad Linkage” (Graen)
Model kepemimpinan “Vertical Dyad Linkage” ini disebut juga dengan model “Vertical Dyadic Theory” oleh Martin J. Gannon. Model kepemimpinan jenis ini menitikberatkan pada “dyad” yaitu hubungan antara pemimpin dengan tiap bawahannya secara bebas. Pendekatan ini berusaha memanfaatkan kelebihan ataupun kekurangan yang ada pada tiap bawahan. Tiap pemimpin harus memperhatikan perbedaan-perbedaan yang ada pada bawahannya.


9.       Model Kepemimpinan Sistem (Bass)
Model Kepemimpinan Sistem terdiri dari:
1. Input
a.      Organisasi yang meliputi batasan, kehangatan, kejelasan, entrope, dan lingkungan luar.
b.      Kelompok kerja yang meliputi pertentangan didalam, saling tergantung, dan tanggung jawab pada kelompok.
c.      Tugas yang meliputi umpan balik, rutin, memilih kesempatan, kerumitan, ciri-ciri manajerial.
d.      Kepribadian bawahan yang meliputi kerjasama, kekuasaan, otoriter, dan memusatkan perhatian dan pikiran pada diri sendiri.
2. Hubungan
a.      Pembagian kekuasaan antara pimpinan dan bawahan
b.      Penyebaran informasi antara atasan dan bawahan
c.      Struktur ketat dan struktur longgar
d.      Tujuan jangka pendek dan jangka panjang
3. Perilaku Pemimpin
a.      Direktif, pemimpin memberitahukan kepada bawahannya apa yang mereka inginkan.
b.      Manipulatif, pemimpin berbaik hati pada bawahan, merubah perilaku untuk memastikan kesempatan, keyakinan, harapan, membuat mereka berlomba satu sama lain, menentukan kembali tugas-tugas untuk menyeimbangkan beban kerja.
c.      Konsultatif, pemimpin terus terang dan memberi kesempatan bertanya, mendengarkan bawahan, mencoba ide mereka, memberikan perhatian kemajuan pada perubahan.
d.      Partisipatif, pemimpin membuat keputusan bersama, menyusun pertemuan, memasukan saran kelompok ke dalam operasi, memperlakukan bawahan sama, mudah didekati dan bersahabat.
e.      Delegatif, pemimpin menunjukkan kepercayaan pada bawahan, memberikan kebebasan kepada bawahan untuk mengikuti arah mereka sendiri, mengizinkan mereka membuat keputusan sendiri.
4. Output
a.      Prestasi
b.      Kepuasan yang meliputi pekerjaan dan pengawas

10.   Model Kepemimpinan Situasional (Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard)
Dalam model ini, berdasarkan pendekatan situasional tiada satu jalan terbaik untuk mempengaruhi seseorang atau tiada satu jalan terbaik untuk memimpin. Pendekatan berdasarkan atas hubungan antara perilaku tugas, perilaku hubungan, serta tingkat kematangan bawahan. Kepemimpinan situasional berdasarkan saling pengaruh antara:
1).       sejumlah petunjuk dan pengarahan (perilaku tugas) yang pemimpin berikan
2).       sejumlah pendukungan emosional (perilaku hubungan) yang pemimpin berikan
3).       tingkat kematangan yang ditunjukan oleh bawahan dalam melaksanakan tugas khusus,  
         fungsi, atau sasaran.


11. Model Kepemimpinan Melayani (Yesus Kristus)
      Model Kepemimpinan melayani ini mencakup 9 prinsip pelayanan Yesus Kristus semasa hidupnya. Kepemimpinan secara umum dengan kepemimpinan Yesus Kristus memang berbeda. Kepemimpinan Yesus disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Ada sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani yang Yesus Kristus peragakan dalam kepemimpinan-Nya. Yesus Kristus melayani dengan visi yang berasal dari Allah, melayani dengan pengurapan dari Roh Kudus, melayani dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri, melayani dengan integritas dan karakter kuat, melayani dengan menjaga kehidupan dalam doa, melayani dengan belas kasihan, melayani dengan kerelaan berkorban, melayani dengan memberdayakan, mengkader dan membangun tim kepemimpinan, dan melayani dengan keberanian menempuh risiko. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani menjadi ciri khas kepemimpinan Yesus Kristus.
      Kepemimpinan gereja bersumber dari Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Pemilik dan Raja Gereja. Dengan demikian, model kepemimpinan melayani menjadi model kepemimpinan pemimpin gereja untuk mewujudkan tri tugas gereja yakni bersekutu, bersaksi dan melayani di dalam dunia.