Rabu, 22 Februari 2017

Kepemimpinan Kolektif-Kolegial Dalam Gereja

KEPEMIMPINAN MELAYANI
SECARA KOLEKTIF-KOLEGIAL DALAM GEREJA
(Kelebihan dan Kekurangannya)
Oleh : Pdt. Dr Bambang Nugroho Hadi, M.Th

            Model kepemimpinan melayani adalah model kepemimpinan Kristen. Model kepemimpinan melayani ini diterapkan dalam berbagai gaya kepemimpinan. Ada Gereja yang memberlakukan model kepemimpinan melayani dengan gaya kepemimpinan tunggal / single fighter. Ada juga  yang menerapkan gaya kepemimpinan tim. Gaya kepemimpinan tim inipun ada yang berjenjang seperti piramida, mirip gaya kepemimpinan Musa, tetapi ada juga  yang dilakukan dalam tim yang kolektif-kolegial.

Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif - Kolegial
            Penulis secara jujur menemukan kesulitan untuk mencari sumber teori tentang gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial ini. Tetapi menurut Mely G. Tan, itu bisa saja terjadi dalam penelitian yang bersifat menjelajah (exploratory), di mana pengetahuan mengenai persoalan itu masih sangat kurang atau belum ada teorinya sama sekali. Demikian pula dalam penelitian deskriptif. Lain halnya untuk penelitian yang bersifat menerangkan (explanatory), di mana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesa-hipotesa yang akan diuji.[1]
            Banyak gereja di Indonesia yang menerapkan gaya kepemimpinan melayani secara kolektif- kolegal. Keputusan tertinggi dalam gereja ada pada Majelis Jemaat[2] yang terdiri dari Penatua, Pendeta dan Diaken. Tiga jabatan gerejawi ini berkedudukan setara, artinya tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah diantara ketiganya. Meskipun Pendeta adalah jabatan gerejawi seumur hidup dan Penatua serta Diaken menjabat selama periode tertentu, (yakni 3 sampai 5 tahun) tetapi kedudukan mereka tidak ada sub ordinat. Pendeta, Diaken dan Penatua bersama-sama disebut Majelis Jemaat (MJ). Pendeta bukanlah MJ. Penatua bukan pula MJ. Demikian halnya Diaken bukan MJ. Tetapi ketika mereka bersidang, maka mereka disebut Majelis Jemaat. Majelis Jemaat bersidang secara rutin paling tidak satu kali dalam satu bulan untuk mengevaluasi pelayanan yang telah dilakukan dan merencanakan pelayanan berikutnya. Keputusan tertinggi ada pada kesepakatan persidangan dan diusahakan dicapai dengan jalan musyawarah. Dalam pengambilan keputusan yang sangat penting dan dapat membahayakan keutuhan gereja, maka persidangan dapat ditunda dan pada persidangan berikutnya menghadirkan Majelis Pekerja Klasis (MPK)[3] untuk menjadi penasihat. Tetapi keputusan akhir tetap ada dalam persidangan Majelis Jemaat. Persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan dalam persidangan Majelis Jemaat dapat dibawa ke dalam persidangan Klasis yang diselenggarakan satu tahun sekali untuk digumuli oleh para Penatua, para Diaken dan para Pendeta gereja-gereja dalam Klasisnya untuk mendapatkan jalan keluar terbaik. 
            Dalam gaya kepemimpinan kolektif–kolegial,  Penatua, Diaken dan Pendeta adalah satu tim atau rekan sekerja. Mereka masing-masing berbagi tugas. Penatua bertugas dalam pengorganisasian dan menjaga pengajaran, Diaken bertugas dalam pelawatan kepada anggota yang sakit, memiliki persoalan hidup yang berat dan memberikan bantuan diakonia kepada anggota gereja serta mendorong anggota gereja untuk aktif dalam kegiatan gereja dan bersyukur kepada Tuhan.  Sementara Pendeta memfokuskan diri kepada pemberitaan Firman Tuhan, konseling pastoral, katekisasi, pelayanan-pelayanan sakramen dan pelayanan khusus. Meskipun terdapat pembagian tugas seperti tersebut di atas, dalam pelaksanaan tugas mereka bekerjasama dan saling mengisi secara dinamis. Sering terjadi Pendeta atau Penatua juga melakukan pelayanan pelawatan kepada anggota gereja.
            Penatua dan Diaken harus memenuhi kualifikasi tertentu misalnya sekurang-kurangnya telah satu tahun menjadi anggota jemaat tersebut dan dua tahun menjadi anggota Sidi, paham pengajaran dan hidupnya sesuai dengan firman Tuhan dan pengajaran gereja, telah mengikuti pembinaan tentang Tata Gereja, bersedia melayani pekerjaan Tuhan dengan sukacita, bertanggungjawab serta mulai menampakkan buah pelayanannya di tengah-tengah jemaat. Calon Penatua dan Diaken juga tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengan Penatua, Diaken atau pendeta di gereja tersebut, yakni hubungan antara Suami-Isteri, Orang tua-anak, mertua-menantu, saudara sekandung (kakak-adik). Kualifikasi lainnya adalah kesediaan untuk memegang rahasia jabatan, perikehidupan suami atau isterinya tidak menjadi batu sandungan bagi anggota gereja, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.[4]
            Untuk kualifikasi jabatan Pendeta sama dengan kualifikasi calon Penatua dan Diaken di atas, ditambah persyaratan-persyaratan lainnya, misalnya sebagai berikut: pertama, berijazah paling rendah sarjana teologi, mampu dan berdedikasi untuk melayani, bersedia untuk tidak bekerja di bidang lain yang tidak berhubungan dengan pelayanan gerejawi, suami atau isterinya tidak menjadi Pendeta di gereja yang sama.[5] Calon Pendeta juga harus lulus dalam proses pemendetaan sebagaimana diatur dalam  Pedoman Pemendetaan yang berlaku[6].
            Gaya kepemimpinan melayani secara kolektif kolegial ini, menurut Penulis memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihan Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
            Kelebihan gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial adalah bahwa kekuasaan tidak berada pada satu orang pemimpin, sehingga  terhindarkan dari penyalahgunaan kekuasaan dalam kepemimpinan. Penatua, Diaken dan pendeta memiliki kekuasaan dan hak yang sama dalam menentukan arah gereja. Apabila Pendeta pelayanan dapat diterima dan dipercaya, maka Pendeta dapat menjadi inisiator ide-ide segar yang membangun. Bila dalam hal ini ia memiliki kekurangan, maka Penatua atau Diaken yang dewasa rohaninya dan memiliki kapasitas yang baik bisa menutupi kekurangan Pendetanya.  Gereja dapat menjadi lebih hidup jika Majelis Jemaat dapat bekerjasama dengan baik dan saling melengkapi.
            Kelebihan kedua, gaya kepemimpinan kolektif-kolegial membuka kesempatan kepada kaum awam untuk terlibat secara penuh dan aktif bagi keberlangsungan dan kemajuan gereja. Bukankah dalam sejarah gereja kita bisa belajar tentang kiprah kaum awam dalam menumbuhkembangkan gereja? Gaya kepemimpinan kolektif-kolegial ini sangat terbuka dan cocok bagi aktivis-aktivis gereja yang ingin melayani secara lebih luas. Bila pembagian tugas pelayanan berjalan dengan baik, maka setiap pos-pos pelayanan dapat terlayani dengan sistematis.
            Ketiga,    beban tanggungjawab dipikul secara bersama-sama dalam kemajelisan. Kerjasama menjadi syarat mutlak bagi pertumbuhan dan perkembangan gereja, sebagaimana bunyi firman Tuhan, “Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum Kristus”[7]
            Kelebihan gaya kepemimpinan kolektif-kolegial yang keempat adalah bahwa gereja tetap akan dapat melaksanakan tugas dan pengutusannya, meskipun bila suatu ketika kehilangan Pendeta karena meninggal atau mutasi ke gereja lain. 

Kekurangan Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
            Dalam gaya kepemimpinan kolektif-kolegial, pemilihan Penatua dan Diaken dilaksanakan melalui pemilihan langsung dari jemaat, bukan dipilih oleh gembala / Pendeta. Meskipun ada kriteria Penatua dan Diaken yang diatur oleh Tata Gereja, dalam praktiknya, siapapun yang dipandang “mampu dan bisa” oleh mayoritas jemaat akan dipilih menjadi Penatua atau Diaken untuk masa waktu 3-5 tahun. Pendeta tidak memilih sendiri rekan sekerjanya sebagaimana ada dalam gaya kepemimpinan tunggal atau gaya kepemimpinan berjenjang seperti kepemimpinan Musa. Kadang bisa terjadi, seseorang yang sudah dipilih oleh jemaat dan mendapatkan suara terbanyak, menolak belum siap menjadi Penatua atau Diaken. Maka, suara terbanyak nomor berikutnyalah yang dilantik menjadi Penatua atau Diaken.   Hal ini kadang berakibat munculnya rasa tidak percaya diri bagi anggota Penatua atau Diaken yang memperoleh suara tidak begitu banyak tetapi kemudian dilantik karena anggota yang memperoleh suara terbanyak menyatakan tidak bersedia.
            Kekurangan  atau kelemahan gaya kepemimpinan kolektif-kolegial lainnya, menurut pengamatan  Penulis nampak tatkala ada salah satu anggota Majelis Jemaat yang terlalu dominan. Mungkin disebabkan karena pengaruh kedudukan ekonomi yang lebih mapan daripada yang lain, memiliki keluarga besar di gereja tersebut atau seorang tokoh intelektual tetapi tidak memiliki hati seorang pelayan.  Dengan kata lain, motivasi melayaninya rendah. Kekuatan yang dimilikinya tidak dipergunakan untuk melayani tetapi menekankan sisi kuasa memimpinnya. Hal ini  dapat dijumpai di banyak  gereja lokal yang menerapkan model kepemimpinan kolektif-kolegial ini. Ada “raja-raja kecil” di setiap wilayah pelayanan. Sebenarnya hal itu tidak menjadi persoalan bila motivasi melayani mereka tinggi. Bila sebaliknya, tentu menjadi masalah bagi keberlangsungan pelayanan.
            Kelemahan gaya kepemimpinan kolektif-kolegal yang ketiga adalah soal efektivitas pengambilan keputusan penting dan mendesak hanya dapat dilakukan dalam sidang majelis. Kadang kala sidang memakan waktu yang cukup lama untuk mengambil bahkan keputusan yang tidak begitu penting karena ada “tokoh” gereja yang juga menjadi anggota majelis tidak menyetujui konsep keputusan.  
            Kekurangan yang keempat adalah bila terjadi persoalan pribadi antara salah satu Penatua atau Diaken yang dengan Pendeta. Persoalan menjadi lebih susah untuk diselesaikan terlebih bila Penatua atau Diaken tersebut secara subjektif pernah dikecewakan Pendetanya. Biasanya, Pendeta kemudian memilih mutasi ke gereja lain atau harus menjaga agar tidak berseberangan pendapat dengannya. Tentu bukan suasana yang kondusif  bagi pengembangan pelayanan.



                [1] Mely G. Tan, “Masalah Perencanaan Penelitian” Metode-Metode Penelitian Masyarakat Edisi Ketiga, ed. Koentjaraningrat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1993), 19.
[2]  Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis Gereja.
[3]  Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis Klasis.
                [4] Bdk. Tata Gereja GKSBS, Bab IX tentang Jabatan Gerejawi, yakni pada Pasal 1 Ayat 67 tentang Syarat Penatua /Diaken.
                [5] Bdk Tata Gereja GKSBS, Bab IX tentang Jabatan Gerejawi, yakni pada Pasal 2 Ayat 71 tentang syarat Pendeta GKSBS.
                [6] Misalnya dalam Pedoman Pemendetaan di GKSBS, calon yang sudah masuk kualifikasi harus menjalani masa perkenalan, orientasi dan pembimbingan calon Pendeta. Dalam proses perkenalan dan orientasi, Majelis Jemaat yang memberikan penilaian kepada calon Pendeta. Ketika dinyatakan layak dilanjutkan kepada proses pembimbingan. Pada masa ini, calon harus live-in dan belajar kepada 6 sampai 7 Pendeta senior untuk dibimbing 7 materi pembimbingan.  Hasil akhirnya adalah 7 Paper yang harus dipertanggungjawabkan dalam ujian peremtoir. Lih. Pedoman Pemendetaan GKSBS (Metro: Kantor Sinode GKSBS,tt.).
                [7] Gal. 6:3