KEPEMIMPINAN MELAYANI
SECARA KOLEKTIF-KOLEGIAL DALAM GEREJA
(Kelebihan dan Kekurangannya)
Oleh : Pdt. Dr Bambang Nugroho Hadi, M.Th
Model
kepemimpinan melayani adalah model kepemimpinan Kristen. Model kepemimpinan
melayani ini diterapkan dalam berbagai gaya kepemimpinan. Ada Gereja yang
memberlakukan model kepemimpinan melayani dengan gaya kepemimpinan tunggal / single fighter. Ada juga yang menerapkan gaya kepemimpinan tim. Gaya
kepemimpinan tim inipun ada yang berjenjang seperti piramida, mirip gaya
kepemimpinan Musa, tetapi ada juga yang
dilakukan dalam tim yang kolektif-kolegial.
Gaya
Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif - Kolegial
Penulis
secara jujur menemukan kesulitan untuk mencari sumber teori tentang gaya
kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial ini. Tetapi menurut Mely G. Tan,
itu bisa saja terjadi dalam penelitian yang bersifat menjelajah (exploratory), di mana pengetahuan
mengenai persoalan itu masih sangat kurang atau belum ada teorinya sama sekali.
Demikian pula dalam penelitian deskriptif. Lain halnya untuk penelitian yang
bersifat menerangkan (explanatory),
di mana sudah pasti ada teori-teori yang menjadi dasar hipotesa-hipotesa yang
akan diuji.[1]
Banyak
gereja di Indonesia yang menerapkan gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-
kolegal. Keputusan tertinggi dalam gereja ada pada Majelis Jemaat[2] yang
terdiri dari Penatua, Pendeta dan Diaken. Tiga jabatan gerejawi ini
berkedudukan setara, artinya tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah
diantara ketiganya. Meskipun Pendeta adalah jabatan gerejawi seumur hidup dan
Penatua serta Diaken menjabat selama periode tertentu, (yakni 3 sampai 5 tahun)
tetapi kedudukan mereka tidak ada sub ordinat. Pendeta, Diaken dan Penatua
bersama-sama disebut Majelis Jemaat (MJ). Pendeta bukanlah MJ. Penatua bukan
pula MJ. Demikian halnya Diaken bukan MJ. Tetapi ketika mereka bersidang, maka
mereka disebut Majelis Jemaat. Majelis Jemaat bersidang secara rutin paling
tidak satu kali dalam satu bulan untuk mengevaluasi pelayanan yang telah
dilakukan dan merencanakan pelayanan berikutnya. Keputusan tertinggi ada pada
kesepakatan persidangan dan diusahakan dicapai dengan jalan musyawarah. Dalam
pengambilan keputusan yang sangat penting dan dapat membahayakan keutuhan
gereja, maka persidangan dapat ditunda dan pada persidangan berikutnya
menghadirkan Majelis Pekerja Klasis (MPK)[3] untuk
menjadi penasihat. Tetapi keputusan akhir tetap ada dalam persidangan Majelis
Jemaat. Persoalan-persoalan yang tidak dapat diselesaikan dalam persidangan
Majelis Jemaat dapat dibawa ke dalam persidangan Klasis yang diselenggarakan
satu tahun sekali untuk digumuli oleh para Penatua, para Diaken dan para Pendeta
gereja-gereja dalam Klasisnya untuk mendapatkan jalan keluar terbaik.
Dalam
gaya kepemimpinan kolektif–kolegial,
Penatua, Diaken dan Pendeta adalah satu tim atau rekan sekerja. Mereka
masing-masing berbagi tugas. Penatua bertugas dalam pengorganisasian dan
menjaga pengajaran, Diaken bertugas dalam pelawatan kepada anggota yang sakit,
memiliki persoalan hidup yang berat dan memberikan bantuan diakonia kepada
anggota gereja serta mendorong anggota gereja untuk aktif dalam kegiatan gereja
dan bersyukur kepada Tuhan. Sementara
Pendeta memfokuskan diri kepada pemberitaan Firman Tuhan, konseling pastoral,
katekisasi, pelayanan-pelayanan sakramen dan pelayanan khusus. Meskipun
terdapat pembagian tugas seperti tersebut di atas, dalam pelaksanaan tugas mereka
bekerjasama dan saling mengisi secara dinamis. Sering terjadi Pendeta atau
Penatua juga melakukan pelayanan pelawatan kepada anggota gereja.
Penatua
dan Diaken harus memenuhi kualifikasi tertentu misalnya sekurang-kurangnya
telah satu tahun menjadi anggota jemaat tersebut dan dua tahun menjadi anggota
Sidi, paham pengajaran dan hidupnya sesuai dengan firman Tuhan dan pengajaran
gereja, telah mengikuti pembinaan tentang Tata Gereja, bersedia melayani
pekerjaan Tuhan dengan sukacita, bertanggungjawab serta mulai menampakkan buah
pelayanannya di tengah-tengah jemaat. Calon Penatua dan Diaken juga tidak
mempunyai hubungan kekerabatan dengan Penatua, Diaken atau pendeta di gereja
tersebut, yakni hubungan antara Suami-Isteri, Orang tua-anak, mertua-menantu, saudara
sekandung (kakak-adik). Kualifikasi lainnya adalah kesediaan untuk memegang
rahasia jabatan, perikehidupan suami atau isterinya tidak menjadi batu
sandungan bagi anggota gereja, dan dapat bekerjasama dengan orang lain.[4]
Untuk
kualifikasi jabatan Pendeta sama dengan kualifikasi calon Penatua dan Diaken di
atas, ditambah persyaratan-persyaratan lainnya, misalnya sebagai berikut:
pertama, berijazah paling rendah sarjana teologi, mampu dan berdedikasi untuk
melayani, bersedia untuk tidak bekerja di bidang lain yang tidak berhubungan
dengan pelayanan gerejawi, suami atau isterinya tidak menjadi Pendeta di gereja
yang sama.[5] Calon
Pendeta juga harus lulus dalam proses pemendetaan sebagaimana diatur dalam Pedoman Pemendetaan yang berlaku[6].
Gaya
kepemimpinan melayani secara kolektif kolegial ini, menurut Penulis memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan
Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
Kelebihan
gaya kepemimpinan melayani secara kolektif-kolegial adalah bahwa kekuasaan
tidak berada pada satu orang pemimpin, sehingga
terhindarkan dari penyalahgunaan kekuasaan dalam kepemimpinan. Penatua,
Diaken dan pendeta memiliki kekuasaan dan hak yang sama dalam menentukan arah
gereja. Apabila Pendeta pelayanan dapat diterima dan dipercaya, maka Pendeta
dapat menjadi inisiator ide-ide segar yang membangun. Bila dalam hal ini ia
memiliki kekurangan, maka Penatua atau Diaken yang dewasa rohaninya dan
memiliki kapasitas yang baik bisa menutupi kekurangan Pendetanya. Gereja dapat menjadi lebih hidup jika Majelis
Jemaat dapat bekerjasama dengan baik dan saling melengkapi.
Kelebihan
kedua, gaya kepemimpinan kolektif-kolegial membuka kesempatan kepada kaum awam
untuk terlibat secara penuh dan aktif bagi keberlangsungan dan kemajuan gereja.
Bukankah dalam sejarah gereja kita bisa belajar tentang kiprah kaum awam dalam
menumbuhkembangkan gereja? Gaya kepemimpinan kolektif-kolegial ini sangat
terbuka dan cocok bagi aktivis-aktivis gereja yang ingin melayani secara lebih
luas. Bila pembagian tugas pelayanan berjalan dengan baik, maka setiap pos-pos
pelayanan dapat terlayani dengan sistematis.
Ketiga, beban tanggungjawab dipikul secara
bersama-sama dalam kemajelisan. Kerjasama menjadi syarat mutlak bagi
pertumbuhan dan perkembangan gereja, sebagaimana bunyi firman Tuhan,
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikian kamu memenuhi hukum
Kristus”[7]
Kelebihan
gaya kepemimpinan kolektif-kolegial yang keempat adalah bahwa gereja tetap akan
dapat melaksanakan tugas dan pengutusannya, meskipun bila suatu ketika
kehilangan Pendeta karena meninggal atau mutasi ke gereja lain.
Kekurangan
Gaya Kepemimpinan Melayani Secara Kolektif-Kolegial
Dalam gaya kepemimpinan
kolektif-kolegial, pemilihan Penatua dan Diaken dilaksanakan melalui pemilihan
langsung dari jemaat, bukan dipilih oleh gembala / Pendeta. Meskipun ada
kriteria Penatua dan Diaken yang diatur oleh Tata Gereja, dalam praktiknya, siapapun
yang dipandang “mampu dan bisa” oleh mayoritas jemaat akan dipilih menjadi
Penatua atau Diaken untuk masa waktu 3-5 tahun. Pendeta tidak memilih sendiri
rekan sekerjanya sebagaimana ada dalam gaya kepemimpinan tunggal atau gaya
kepemimpinan berjenjang seperti kepemimpinan Musa. Kadang bisa terjadi,
seseorang yang sudah dipilih oleh jemaat dan mendapatkan suara terbanyak,
menolak belum siap menjadi Penatua atau Diaken. Maka, suara terbanyak nomor
berikutnyalah yang dilantik menjadi Penatua atau Diaken. Hal ini kadang berakibat munculnya rasa tidak
percaya diri bagi anggota Penatua atau Diaken yang memperoleh suara tidak
begitu banyak tetapi kemudian dilantik karena anggota yang memperoleh suara
terbanyak menyatakan tidak bersedia.
Kekurangan atau kelemahan gaya kepemimpinan
kolektif-kolegial lainnya, menurut pengamatan
Penulis nampak tatkala ada salah satu anggota Majelis Jemaat yang
terlalu dominan. Mungkin disebabkan karena pengaruh kedudukan ekonomi yang
lebih mapan daripada yang lain, memiliki keluarga besar di gereja tersebut atau
seorang tokoh intelektual tetapi tidak memiliki hati seorang pelayan. Dengan kata lain, motivasi melayaninya
rendah. Kekuatan yang dimilikinya tidak dipergunakan untuk melayani tetapi
menekankan sisi kuasa memimpinnya. Hal ini
dapat dijumpai di banyak gereja
lokal yang menerapkan model kepemimpinan kolektif-kolegial ini. Ada “raja-raja
kecil” di setiap wilayah pelayanan. Sebenarnya hal itu tidak menjadi persoalan
bila motivasi melayani mereka tinggi. Bila sebaliknya, tentu menjadi masalah
bagi keberlangsungan pelayanan.
Kelemahan
gaya kepemimpinan kolektif-kolegal yang ketiga adalah soal efektivitas
pengambilan keputusan penting dan mendesak hanya dapat dilakukan dalam sidang
majelis. Kadang kala sidang memakan waktu yang cukup lama untuk mengambil
bahkan keputusan yang tidak begitu penting karena ada “tokoh” gereja yang juga
menjadi anggota majelis tidak menyetujui konsep keputusan.
Kekurangan
yang keempat adalah bila terjadi persoalan pribadi antara salah satu Penatua
atau Diaken yang dengan Pendeta. Persoalan menjadi lebih susah untuk
diselesaikan terlebih bila Penatua atau Diaken tersebut secara subjektif pernah
dikecewakan Pendetanya. Biasanya, Pendeta kemudian memilih mutasi ke gereja
lain atau harus menjaga agar tidak berseberangan pendapat dengannya. Tentu
bukan suasana yang kondusif bagi
pengembangan pelayanan.
[2] Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis
Gereja.
[3] Ada juga yang menyebutnya sebagai Majelis
Klasis.
[6]
Misalnya dalam Pedoman Pemendetaan di GKSBS, calon yang sudah masuk kualifikasi
harus menjalani masa perkenalan, orientasi dan pembimbingan calon Pendeta.
Dalam proses perkenalan dan orientasi, Majelis Jemaat yang memberikan penilaian
kepada calon Pendeta. Ketika dinyatakan layak dilanjutkan kepada proses
pembimbingan. Pada masa ini, calon harus live-in dan belajar kepada 6 sampai 7
Pendeta senior untuk dibimbing 7 materi pembimbingan. Hasil akhirnya adalah 7 Paper yang harus
dipertanggungjawabkan dalam ujian peremtoir. Lih. Pedoman Pemendetaan GKSBS (Metro: Kantor Sinode GKSBS,tt.).