9 PRINSIP MEMIMPIN SEPERTI YESUS
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi, MTh
PASAL 1
KRISIS KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan
selalu berhubungan dengan kemampuan memengaruhi. Dalam kepemimpinan berlaku
prinsip bahwa orang hanya dapat memimpin orang lain sejauh ia dapat memengaruhi
mereka.
Kepemimpinan
yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan
kelompok apapun. Ini berlaku bagi kelompok skala raksasa, seperti sebuah bangsa
atau negara, sampai kelompok skala kecil misalnya klub sepak bola.[1]
Kita
memerlukan pemimpin sejati dalam bidang pemerintahan, bisnis, sekolah, lembaga
masyarakat, komunitas kaum muda, organisasi keagamaan, rumah tangga, dan semua
arena kehidupan – termasuk disiplin hukum, kedokteran, ilmu pengetahuan,
olahraga, dan media.[2] Saat
ini berbagai bidang kehidupan mengalami krisis kepemimpinan. Kebutuhan akan kepemimpinan yang efektif
begitu mendesak. Pertanyaan-pertanyaan
tentang integritas moral, kehormatan, nilai-nilai, teladan, dan standar yang
layak dihormati adalah topik-topik diskusi pada masa kini. Myles Munroe dalam
bukunya The Spirit Leadership percaya
bahwa krisis kepemimpinan terjadi karena kepemimpinan lebih dimaknai sebagai
tindakan dan bukan panggilan.[3] Oleh sebab itu kita sering mendengar para
pemimpin yang terlibat dalam petualangan-petualangan seks, tokoh bisnis jatuh
dalam korupsi, politisi dan pemimpin daerah dan nasional diadili karena
kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal di atas disebabkan standar
ganda yang dijalani pemimpin. Di kantor
dan pelayanan bertindak dengan cara tertentu, tetapi saat mereka di luar tugas
menjalani kehidupan yang kontradiksi.
Dunia kita adalah jagad baru yang
membutuhkan gaya kepemimpinan yang baru.
Hampir semua yang kita anggap benar selama ratusan bahkan mungkin ribuan
tahun, kini mengalami transformasi yang amat besar. Iklim planet yang berubah
berdampak pada flora, fauna, hasil pertanian dan kehidupan laut. Terjadi
kekuatan dahsyat di planet bumi yang nampak dalam bencana alam, baik topan,
banjir, tsunami ataupun kemarau. Berbagai penyakit baru bermunculan. Sistem
sosial banyak berubah, berbagai konflik yang dulu dalam lingkup lokal kini
menjadi masalah global. Dalam situasi yang berubah, pemimpin hebat memandang
perubahan-perubahan dan ketidakpastian yang
ada di dunia dengan kacamata harapan,
memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk
mengubah mimpi menjadi kenyataan.[4]
Kepemimpinan yang menginspirasi memang selalu
diharapkan.
Krisis Kepemimpinan Dalam Gereja
Tuhan
Yesus Kristus adalah Pemilik dan sekaligus Kepala Gereja. Tuhan Yesus Kristus
juga menjadi teladan bagi seluruh pengikutNya. Termasuk dalam persoalan
kepemimpinan. Apakah gereja steril terhadap krisis kepemimpinan ? Kita melihat
bahwa ternyata gereja juga mengalaminya. Hal ini nampak bahwa di berbagai
tempat terjadi konflik dalam gereja, kesulitan mengoptimalkan anggota jemaat
untuk melayani pekerjaan Tuhan dan regenerasi yang tidak berjalan baik sehingga
tidak banyaknya orang yang mau menjadi pemimpin dalam gereja. Kita menyaksikan banyak pos-pos pelayanan yang diisi
hanya orang itu-itu saja, pelayanan
dipahami sebagai kegiatan sukarela sebagian umat yang terpanggil dan bukan panggilan dari semua umat percaya. Pada pihak lain, banyak orang merasa tidak layak ataupun
tidak pantas melayani dengan dalih tidak punya karunia yang bisa dibanggakan.
Padahal dalam 1 Korintus 12:4-12 jelas-jelas setiap orang kristen diperlengkapi
dengan karunia masing-masing. Menjadi pemimpin bukanlah menjadi orang yang
sempurna yang mempunyai semua talenta dan dan bisa melakukan apa saja. Seorang
pemimpin kristen melayani dengan talenta yang Tuhan berikan kepadanya.
Kepemimpinan juga tidak bergantung pada penampilan
fisik seseorang. Dalam 1 Samuel 16:7 mengajarkan kepada kita bahwa bukan
apa yang dilihat dari luar yang
menentukan dia pantas menjadi pemimpin atau bukan, tetapi Tuhan melihat
hatinya. Jadi, selain karunia yang sudah pasti ada dalam setiap diri manusia,
hati yang bersedia
melayani menjadikannya layak untuk
memimpin gerejaNya.
Pemimpin gereja memang
memiliki tugas dan
persyaratan yang sama dengan manajemen pada umumnya yaitu
harus mampu menyalurkan aspirasi dan mengatur, mempersatukan serta
menggerakkan. Mereka juga harus memiliki kepercayaan diri, punya
kecakapan dan diterima oleh anggota jemaatnya.
Syarat-syarat yang kita baca dalam 1 Timotius 3 : 1-13 sebenarnya tidak
bertentangan dengan apa yang kita lihat
dalam manajemen umum. Hanya memang, dalam 1 Timotius 3 : 1-13 ada ciri khasnya
yaitu ciri kegerejaan. Syarat-syarat manajerial ini sudah
tentu perlu diperhatikan juga
dalam pemilihan pemimpin gereja. Begitu pentingnya kepemimpinan dalam
gereja agar gereja dapat melaksanakan tugas pangilannya, sehingga Tuhan Yesus
Kristus mempergunakan sebagian besar waktu-Nya untuk mempersiapkan
pemimpin-pemimpin gereja.
Krisis
Kepemimpinan dan Penundukan Diri
Caleb Tong saat
menguraikan tentang pemimpin rohani yang kompeten, ia menjelaskan bahwa seorang
pemimpin berasal dari pengikut yang baik.
Seorang jenderal dapat muncul dari dasar prajurit, perdana menteri dapat
pula hanya seorang pemimpin daerah pada mulanya, harapan itu selalu ada pada
orang yang mau setia dan tekun dalam hal kecil dan rendah.[5]
Memang, seorang pemimpin yang baik pasti berasal dari seorang pengikut yang
baik.[6]
Bila menjadi Sersan saja tidak becus, maka ia tidak pantas menjadi
Jenderal. Pemimpin gereja yang baik
dengan demikian berasal dari anggota jemaat yang baik pula, sebab dengan
menundukkan diri itulah yang bersangkutan telah membuktikan kesungguhan dan
ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri.
Bila seseorang bisa menundukkan diri sendiri maka ia bisa menundukkan
diri kepada Kristus dan kepada Pemimpin gereja-Nya.
Tetapi, bisakah manusia menundukkan
diri kepada Kristus? Manusia adalah manusia berdosa. Surat Roma 3:23
menjelaskan bahwa semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah dan
berkecenderungan untuk berbuat dosa. Oleh sebab itu manusia tidak akan memakai
hidupnya untuk kebenaran. Karena anugerahNya saja maka seseorang bisa menundukkan
diri kepada Kristus. Semua terjadi karena anugerah. Maka langkah pertama agar
dapat dipergunakan sebagai alatNya, seseorang harus menyerahkan dirinya kepada
Kristus. Ia harus mengalami kelahiran
baru. Si “aku” yang lama harus lenyap, barulah ia dapat memakai hidupnya
untuk kebenaran. Rasul Paulus menegaskan
bahwa, “dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa
untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah
sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan
serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata
kebenaran.”[7] Bukan hanya setiap orang kristen dipanggil menjadi ciptaan baru, tetapi gereja
juga. Menjadi ciptaan baru merupakan perjuangan terus menerus sepanjang hidup.
Ciptaan baru berarti yang lama yang usang sudah ditinggalkan, yang baru yang
lebih efektif dikerjakan. Meskipun setiap orang kristen harus menjadi ciptaan
baru dengan spiritualitas baru, tetapi manifestasi spiritualitas bergantung
pada tingkat kematangan pribadi setiap individu. [8]
Octavianus mengatakan bahwa “tugas seorang pemimpin rohani tidak hanya
mewariskan pengetahuannya, melainkan mewariskan seluruh kehidupannya,
kepribadiannya dan teladannya.[9] Apa
yang dikatakannya itu senada dengan kesaksian rasul Paulus yang mengatakan,
“Dan apa yang telah kamu pelajari dan yang telah kamu terima, dan apa yang
telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu.”[10]
Pemimpin harus memiliki
spiritualitas yang baik. Kepemimpinan yang diberlakukan di gereja adalah
kepemimpinan yang meneladan pada, dan menerapkan kehendak Tuhan Yesus Kristus.
Kepemimpinan gereja haruslah merupakan kepemimpinan yang melayani dengan cara
memberi teladan, rela berkorban, menginspirasi dan memberdayakan.[11]
Semua pemimpin kristen harus menerapkan kepemimpinan kristen. Tetapi banyak orang berputus asa menerapkan
kepemimpinan ini dan memilih pola pikir kepemimpinan populer. Hal ini bukan
hanya terjadi di dunia kerja tetapi juga dalam hidup organisasi atau komunitas
kristen seperti persekutuan, sekolah, rumah sakit dan gereja. Misalnya dalam
mengembangkan orang-orang yang menjadi pengikutnya, pemimpin Kristen cenderung
mempraktikkan cara kepemimpinan populer dalam dunia kerja, yaitu kepemimpinan
yang umumnya menghasilkan pencapaian sasaran walaupun mutu prosesnya tidak
memadai. Padahal dalam kepemimpinan kristen, baik proses maupun hasil harus
berjalan selaras. [12]
Krisis
Kepemimpinan Sebagai Penolakan Prinsip Pokok Bahwa Hanya Ada Satu Pemimpin
Dunia
kepemimpinan Kristen menganut prinsip pokok : hanya ada satu Pemimpin. Siapa
Satu Pemimpin itu amat jelas. Pemimpin satu-satunya tersebut adalah Tuhan
sendiri. PEMIMPIN dalam huruf besar. Tuhan adalah Sang Pemimpin, bukan sekedar
salah satu pemimpin.[13] Alkitab menyebutkan, bahwa Allah memberi
kuasa kepada manusia untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di
udara dan atas segala binatang ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang
melata yang merayap di bumi.[14] Manusia
juga diberi hak untuk mengusahakan dan memelihara taman di mana mereka
hidup.[15]
Tetapi dalam hubungan antar manusia, Allah tidak pernah memberi wewenang kepada
manusia untuk berkuasa atas manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan
antar manusia yang terjadi adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang
sepadan. Tidak saling mendominasi.[16]
Kepemimpinan
dalam suatu kehidupan bersama adalah tak terelakkan. Namun kepemimpinan itu
harus mengacu kepada mandat dan penugasan Allah, Sang Pemimpin satu-satunya,
yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling tolong-menolong dalam kesepadanan,
kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah gambar Allah dan bukan Allah. Oleh
karenanya, kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah.[17]
Yesus
Kristus telah dengan sempurna mempresentasikan kepemimpinan Allah itu. Dialah
model Pemimpin kristen yang sejati.[18] Tetapi, bukankah terbentang jarak yang jauh
antara manusia biasa dengan Yesus Kristus ? Umumnya, orang Kristen mengatakan
bahwa apa yang dilakukan Yesus Kristus tidak mungkin dilakukan pengikutNya.
mengenai hal ini Henry J.M. Nouwen mengatakan, “segala milik Yesus diberikan
kepada kita untuk kita terima. Segala
yang dikerjakan Yesus dapat kita lakukan juga. Yesus tidak menganggap kita
sebagai warga kelas dua. Ia tidak menyembunyikan sesuatupun kepada kita.”[19] Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah
memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti
yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang
hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada
dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu,
jika kamu melakukannya.”[20] Dengan menggali dan belajar dari kepemimpinan
Yesus Kristus, kita akan menemukan prinsip-prinsip kepemimpinan Kristen yang
berguna bagi pengembangan kepemimpinan gereja pada masa kini.
PASAL
2
DASAR
TEOLOGIS KEPEMIMPINAN KRISTEN
Dari sudut pandang iman Kristen,
kepemimpinan memiliki dasar teologis yang kokoh. Allah menganugerahkan
karunia-karunia rohani termasuk karunia kepemimpinan kepada gerejaNya.[21] Umat
Kristen berusaha hidup suci, benar, punya komitmen terhadap Kristus, atau patuh
secara mutlak kepada Tuhan. Untuk hal-hal di atas diperlukan pemimpin-pemimpin
yang akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk membantu umat manusia yang
berkecenderungan berbuat dosa, mementingkan diri sendiri dan sesat ini sehingga
melalui kepemimpinan Kristen mereka dapat memiliki sifat-sifat seperti Kristus.[22]
Kepemimpinan Kristen sebagaimana
dipaparkan oleh Robby E Chandra dapat dijelaskan melalui dua metafor. Pertama,
kepemimpinan digambarkan sebagai sebagai sebuah perjalanan dan kepemimpinan
digambarkan sebagai suatu api.[23] Dengan mengibaratkan kepemimpinan sebagai
perjalanan, proses kepemimpinan dimengerti sebagai dinamika atau gerak.
Artinya, dalam perjalanan kepemimpinannya, pemimpin harus tahu tujuan
perjalanan, mengerti seberapa jauh mereka sudah menempuh perjalanan mereka,
kerelaan meninggalkan masa lalu yang telah ditempuh dan menghadapkan
pandangannya jauh ke depan, yaitu kepada tujuan ke mana mereka pergi.
Sementara metafor api dalam kepemimpinan Kristen, merupakan gambaran
bahwa dalam kepemimpinan itu, pemimpin dapat memberikan terang atau kejelasan
arah. Dengan daya itu pemimpin dapat menghangatkan hati anak buah atau
pengikutnya. Ia juga dapat membuat mereka semakin matang dalam kualitas keterampilan dan karakter mereka. Pemimpin
dapat membakar semangat yang dipimpinnya sehingga dapat mencapai hal-hal yang
istimewa. Api atau semangat itu didapat sang pemimpin dari Tuhan yang
dilayaninya.
Dasar-dasar teologis kepemimpinan
Kristen menurut Penulis sebagai berikut: Pertama, kepemimpinan Kristen sebagai hakikat manusia
sebagai gambar Allah. Kedua, kepemimpinan Kristen sebagai sarana memuliakan Allah. Ketiga,
kepemimpinan Kristen sebagai sarana bersyukur kepada Allah dan keempat,
kepemimpinan Kristen sebagai sarana pertanggungjawaban atas anugerah Allah.
Pemahaman yang benar atas dasar-dasar teologis ini akan menjadi sumber motivasi
internal para pemimpin gereja.
Kepemimpinan
Sebagai Hakikat Manusia Sebagai Gambar
Allah
Sebagai makhluk ciptaan Allah yang
diciptakan secara khusus sebagai gambar-Nya, manusia menerima hakikatnya
sebagai pemimpin. Dalam Kejadian 1:26 dinarasikan, berfirmanlah Allah :
“Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka
berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan
atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.” Manusia sejak mulanya diciptakan Allah dengan
membawa hakikat kepemimpinan di dalam dirinya. Eka Darmaputera melihat ayat di
atas sebagai petunjuk bahwa semua manusia tanpa terkecuali sama-sama adalah
pemimpin.[24] Semua orang ditentukan dan dipanggil Allah
untuk memimpin.
Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Of Leadership mengatakan
bahwa manusia diciptakan Allah masing-masing untuk mengatur, memerintah,
mengendalikan, menguasai, mengelola, dan memimpin lingkungan mereka. Tidak
peduli siapapun dia, manusia memiliki sifat dan kapasitas untuk memimpin.
Seperti burung memiliki naluri untuk terbang, dan ikan untuk berenang,
demikianlah manusia memiliki kapasitas untuk memimpin dan memegang kendali
kehidupan.[25]
Alkitab menyebutkan, bahwa Allah
memberi kuasa kepada manusia untuk berkuasa atas segala makhluk tetapi dalam
hubungan antar manusia, Allah tidak pernah memberi wewenang untuk berkuasa atas
manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan antar manusia yang terjadi
adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang sepadan. Tidak saling mendominasi.[26]
Kepemimpinan harus mengacu kepada
mandat dan penugasan Allah; Sang
Pemimpin satu-satunya, yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling
tolong-menolong dalam kesepadanan, kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah
gambar Allah dan bukan Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan manusia haruslah
mencerminkan kepemimpinan Allah.[27]
Yesus Kristus adalah model Pemimpin
Kristen yang sejati.[28] Dalam setiap kitab Injil, baik secara
keseluruhan maupun secara terpisah dapat dilihat keberadaan Tuhan Yesus dari
berbagai sisi tetapi selalu berpusatkan pada keberadaan-Nya, perkataan maupun
perbuatan-Nya. Yesus Kristus adalah tema utamanya.[29] Dia
menjadi model bagi pengikut-Nya termasuk dalam bidang kepemimpinan. Tuhan Yesus
Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu,
supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku
berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada
tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu
tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.”[30] Dengan ini maka dalam kepemimpinan
Kristen berlaku kepemimpinan seperti
yang diteladankan oleh Yesus yaitu kepemimpinan yang melayani.
Manusia sebagai gambar Allah adalah
para pemimpin. Dalam relasi antar manusia ia dipanggil untuk melaksanakan
kepemimpinan yang mencerminkan
kepemimpinan Allah, dengan kata lain mencerminkan kepemimpinan Yesus Kristus.
Kepemimpinan Kristen tidak mengenal cara mengeksploitasi manusia lain tapi
melayani mereka dengan kasih.
Kepemimpinan
Kristen Sebagai Sarana Untuk Memuliakan Allah
Kepemimpinan Kristen harus dimulai
dari Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan untuk kemuliaan Allah,
termasuk kepemimpinan. Surat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose menyebutkan,
“Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala
sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang
tidak kelihatan......... segala sesuatu
diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.”[31]
Allah tidak hanya menciptakan planet, matahari, lautan, tanah, udara, air,
bebatuan, marga satwa, tumbuh-tumbuhan, hukum-hukum alam, manusia dan seluruh
semesta yang dapat dilihat oleh mata jasmani manusia. Tetapi termasuk di
dalamnya segala yang tak terlihat. Maka segala potensi yang ada di dalam diri
manusia termasuk potensi kepemimpinan adalah ciptaan-Nya.
Senada dengan hal di atas, Rick
Warren dalam bukunya The Purpose Driven
Life mengatakan dengan tegas bahwa
segala sesuatu harus diawali dengan Allah.[32]
Demikian pula dengan kepemimpinan. Kepemimpinan Kristen ada pertama-tama untuk
Allah yaitu untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya. Tuhan Yesus memahami dengan
sempurna bahwa itulah tujuan misi-Nya di bumi, sehingga Ia berkata kepada Bapa,
“Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan
yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.”[33] Bagi seorang Kristen, kepemimpinan menjadi
sarana untuk mempermuliakan Allah.
Kepemimpinan
Kristen Sebagai Sarana Untuk Mengucap
Syukur Kepada Allah
Kepemimpinan juga dapat dijadikan
sarana bersyukur kepada Allah. Seorang Kristen yang sungguh mengenal dan
mengasihi Tuhan Yesus pasti menjadikan hidupnya sebagai tanda syukur kepada
Allah. Salah satunya adalah melalui apa yang dilakukan, termasuk kepemimpinan.
Rasul Paulus berkata, “Apapun juga yang
kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan
untuk manusia.”[34] Menjalankan kepemimpinan dengan mengingat
Tuhan, dilakukan sebagai ungkapan syukur
menjadikan kepemimpinan Kristen berfokus pertama-tama kepada Tuhan baru
kemudian kepada manusia. Pemimpin Kristen menjalankan kepemimpinannya harus
dengan semangat, sebaik dan segiat mungkin, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia saja.
Kepemimpinan
Kristen Merupakan Tanggung Jawab Atas Anugerah yang Telah Diterima Dari Allah
Alkitab menunjukkan bahwa setiap
orang yang menerima Yesus Kristus mendapat anugerah kepemimpinan, yakni
memperoleh kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.[35]
Dengan menerima kuasa, berarti setiap pengikut Tuhan Yesus Kristus memiliki
hak, kekuatan, kapasitas, kompetensi, kemampuan, pengaruh atau otoritas untuk
memimpin.[36]
Setiap murid Yesus Kristus diberi kuasa untuk meraih orang-orang di sekitarnya
yang belum mengenal kasih Yesus Kristus. Dengan kuasa yang sudah diberikan
Tuhan ini, maka setiap orang Kristen adalah pemimpin. Pemimpin Kristen adalah
seorang yang sudah menerima Yesus Kristus dan telah diubahkan untuk kemudian
menggerakkan orang lain melalui visi yang Tuhan berikan kepadanya. Kelebihan pemimpin Kristen dengan demikian
tidak bersumber di dalam dirinya, tetapi berada di dalam keintimannya dengan
Tuhan. Selebihnya adalah pemberian atau anugerah Tuhan. Seorang pemimpin
Kristen bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kepada kelebihan pribadi
yang ada padanya, maka ia menjadi peka pada suara-Nya, mengetahui visi-Nya,
lebih patuh kepada-Nya dan makin bertumbuh terus di dalam Tuhan. Pertumbuhan
itu mencakup aspek pengetahuan, emosi dan perilakunya.[37]
Anugerah kepemimpinan dalam diri manusia
tidak boleh dibiarkan tertidur selama-lamanya. Karena Allah memberikan anugerah
untuk dipergunakan. Sebuah kapal yang berlabuh itu aman, tetapi bukan untuk itu
kapal dibuat.[38]
Demikian pula anugerah kepemimpinan harus dipergunakan dan sekaligus dipertanggungjawabkan
kepada Allah, bukan untuk dipendam. Yesus Kristus menjelaskan hal penggunaan
talenta dan karunia ini dalam perumpamaan tentang uang mina. Terdapat sepuluh
hamba yang diberi sepuluh mina untuk
dikembangkan. Hamba yang pertama berhasil mengembangkannya menjadi sepuluh
mina, hamba kedua mengembangkannya menjadi lima mina dan hamba yang ketiga
menyimpan uang mina itu dalam sapu tangan dan tidak mengembangkannya. Hamba pertama dan kedua mendapat pujian dan
hadiah untuk memimpin masing-masing sepuluh kota dan lima kota. Sementara itu,
hamba yang tidak mengembangkan mina itu mendapatkan celaan dan hukuman.[39]
Anugerah harus dikembangkan, bukan untuk disimpan atau dipendam. Kepemimpinan
Kristen adalah perwujudan tanggungjawab atas anugerah yang Tuhan telah berikan.
PASAL 3
KEKUATAN VISI DALAM KEPEMIMPINAN
KRISTEN
Visi adalah kemampuan untuk melihat
pada inti persoalan, pandangan luas, apa yang tampak pada khayal, penglihatan
atau pengamatan.[40]
Visi atau vision berasal dari kata
Latin videre yang berarti
penglihatan,[41] yakni kemampuan melihat apa yang orang pada
umumnya tidak dapat melihat.
Visi bagaikan sasaran tembak yang
akan dibidik. Tanpanya, sebuah organisasi tidak akan bisa memobilisasi segala
aset dan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai sesuatu, karena visi
menentukan arah dan tujuan organisasi. Visi juga merupakan impian yang hendak
dicapai dalam periodesasi tertentu.
Gereja yang berhasil digerakkan oleh
visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat.[42] Rick Warren mengatakan bahwa visi adalah
kemampuan menilai dengan tepat perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini dan
menarik manfaat dari perubahan-perubahan tersebut. Visi adalah perasaan peka
terhadap setiap kesempatan.[43]
Dengan demikian, visi bukan sekedar gambaran terhadap sesuatu yang akan datang
berdasarkan mimpi saja, tapi berdasarkan situasi dulu dan kini yang digabungkan
dan dinilai dengan tepat sehingga diperoleh gambaran yang jelas terhadap masa
depan yag diharapkan. Tetapi visi tak bisa dicapai sendiri.[44]
Pemimpin memerlukan kerjasama dengan orang lain dalam satu tim kepemimpinan.
Oleh karenanya, pemimpin harus mampu untuk bersikap peka terhadap perubahan
yang terjadi, memobilisasi anggota tim dan pengikut serta menyusun skenario
dengan menarik manfaat dari perubahan itu untuk masa depan yang lebih baik.
Visi adalah masa depan yang
dirancang dan diharapkan. Pemimpin adalah orang yang memiliki gambaran masa
depan seperti apa yang diinginkan dan percaya bahwa ia ada untuk mencapainya.
Visi yang kuat akan membakar semangat pemimpin sehingga ia berani menerjang
segala tantangan dan melupakan ratusan jam kerja yang melelahkan.[45]
Karena Visi, maka Thomas Alva Edison bekerja tanpa kenal kata menyerah untuk
membuat lampu pijar yang bertahan lama. Karena visi maka Lumy SS memimpikan
keluarga-keluarga menampung para gelandangan dan memelihara serta membesarkan
anak-anak mereka dan itu dipraktikkan dalam keluarganya sendiri. Apa yang biasa
kita lihat, dengar dan alami mungkin sesuatu yang tidak terlalu istimewa, namun
orang-orang yang memiliki visi berani membayangkan hadirnya sesuatu yang lebih
baik, lebih bermakna, lebih bermanfaat dan lebih berguna bagi banyak orang.
Semua terjadi karena mereka memiliki impian. Visi itulah yang membuat mereka
memfokuskan impian mereka dan mewujudkannya. Visi membuat mereka terdorong
bekerja keras dan pantang mundur untuk mengejarnya. Mereka membuat dunia
menjadi lebih baik.
Visi bukanlah impian yang tidak
mendasar. Bagi orang Kristen, visi merupakan lompatan iman. Saat ia memiliki
visi, ia percaya bahwa itu akan terjadi. Keyakinannya itu berasal dari
kedekatannya dengan Tuhan. Ia kemudian memainkan peran tertentu agar situasi
yang diimpikan terwujud. Situasi memang berubah dan diwarnai dengan
berbagai ketidakpastian. Tetapi pemimpin hebat dengan visi yang jelas memandang
perubahan-perubahan dan ketidakpastian yang
ada di dunia dengan kacamata harapan,
memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk
mengubah mimpi menjadi kenyataan.[46]
Visi berbeda dengan misi. Pertama,
visi adalah gambaran mental. Kedua, visi adalah sesuatu yang akan ada di masa
mendatang. Karena kedua aspek ini, maka visi bersifat umum dan cenderung
abstrak. Misi adalah perwujudan dari visi. Bila visi adalah impian, maka misi
adalah wujud atau bentuk dari impian. Misi merupakan rumusan nyata usaha
seseorang untuk mencapai visi.[47]
Robby I Chandra menjelaskan hal ini dengan suatu contoh. Misalnya impian kita
adalah memiliki sebuah pusat pembelajaran yang ikut membangun bangsa serta
meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Maka misi bisa berupa mewujudkan
lembaga pelatihan kewiraswastaan. Dapat juga berupa membentuk akademi yang
khusus mendidik orang menjadi manager profesional.[48]
Menurut Robby I. Chandra, ada lima
tipe pemimpin dalam berurusan dengan visi dan misi. Pertama, adalah tipe
pemimpin yang mengetahui bahwa visi dan misi adalah penting. Mereka menyibukkan
diri dengan tugas dan kegiatan rutin. Hidupnya merupakan rangkaian dari satu
akktivitas ke aktivitas lain tanpa didasari arah yang jelas. Mereka hidup dan
bekerja tanpa desain dasar. Bagaikan tukang bangunan yang sibuk mendirikan
rumah tanpa kejelasan gambar rumah yang akan dihasilkan. Mereka bagai komandan
tentara yang berulang kali menerjunkan pasukan ke tempat yang sama tanpa
memperhitungkan akan lebih mudah bila di tempat itu didirikan landasan pesawat. Tipe kedua adalah pemimpin yang tahu
bahwa visi dan misi adalah hal penting untuk menuju sukses, tapi mereka tidak
menyediakan diri dan waktu mereka untuk merumuskan visi dan misi mereka ataupun
visi dan misi organisasi mereka. Segala sesuatu berjalan tanpa arah. Tipe
ketiga adalah orang yang menyadari pentingnya visi dan misi, telah menyusun dan
merumuskannya. Namun metodenya keliru dan pemahamannya terbatas sehingga visi
dan misi itu tidak menghasilkan hal bermanfaat apapun bagi orang banyak. Tipe
keempat, merupakan tipe pemimpin yang menyadari, mengupayakan, serta memiliki
metode yang benar sehingga rumusan visi da misinya baik. Namun mereka tidak
memiiki bekal yang cukup dan cocok untuk mewujudkan visi dan misi mereka.
Sementara tipe terakhir yakni pemimpin dengan tipe kelima adalah pemimpin
yang menyadari pentingnya visi dan misi,
merumuskannya, menggunakan metode yang benar untuk mewujudkannya.[49]
Bagi pemimpin gereja, visi dan misi
yang dimilikinya harus sesuai dengan visi dan misi Allah. Hal ini disebabkan
oleh kepemilikan gereja ada pada Allah. Allah adalah Raja dan Pemilik gereja.
Dengan demikian, visi dan misi yang
diharapkan terjadi harus sesuai dengan visi dan misi yang diemban atau Allah
mandatkan kepadanya. Misi gereja merupakan alasan mengapa organisasi gereja
ada. Merupakan alasan mengapa gereja diutus Allah di dunia kini dan di sini.
Secara prinsip, Gereja ada di dunia untuk mengerjakan missio
Dei. Mengerjakan misi Allah yang dimandatkan kepada gereja, sehingga visi
Allah tercapai dan terwujud.
Misi gereja secara garis besar
adalah diutus ke dalam dunia untuk melaksanakan tiga tugas yang dikenal sebagai
tri tugas gereja yakni bersekutu (koinonia),
bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia). Penjabaran misi gereja pada
umumnya berasal dari tri tugas gereja di atas.
Gereja melaksanakan tugas
bersekutu dengan menyelenggarakan ibadah Minggu, Ibadah pada hari-hari raya
gerejawi[50], ibadah
khusus[51],
studi pemahaman Alkitab, Kebaktian Kebangunan Rohani, Ibadah Anak (Sekolah
Minggu), retret, katekisasi, dsb. Gereja melaksanakan tugas kesaksian dengan
melaksanakan pemberitaan Injil, bersaksi kepada sesama melalui peran hidup,
dialog antar agama[52],
konseling pastoral, penyelenggaraan fasilitas kesehatan (mendirikan rumah
sakit), penyelenggaraan pendidikan (mendirikan sekolah), pemberitaan firman
pada saat ibadah yang dihadiri anggota masyarakat seperti bidstond, ibadah
pemakaman, ibadah penghiburan, dsb.
Gereja melaksanakan tugas
berdiakonia dengan memberikan bantuan bagi orang sakit, tertimpa musibah
bencana alam, pendampingan pastoral, pemberdayaan masyarakat, penyadaran hak,
dsb. Pelayanan diakonia ini dapat digolongkan kepada diakonia karitatif,
reformatif dan transformatif.
PASAL 4
PEMIMPIN
DALAM PERAN HIDUP DAN PEMIMPIN ORGANISASI
Setiap orang Kristen adalah pemimpin.[53]
Kepemimpinan adalah hakikat, mandat dan berkat Allah. Hakikat kemanusiaan
seseorang tercermin dari kepemimpinannya. Sebagai mandat, kepemimpinan diyakini
sebagai penugasan Allah sehingga harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan
kepada Allah. Dan akhirnya, kepemimpinan sebagai berkat, kepemimpinan harus
disyukuri karena merupakan karunia Allah yang sangat unik. Sesuatu yang tidak
dimiliki makhluk lain.[54]
Semua orang Kristen diberi kapasitas yang beragam
untuk memimpin oleh Tuhan dan harus
menyediakan diri dipimpin Tuhan Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Dalam hal ini,
setiap orang Kristen sebagaimana dikatakan Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam
bukunya Lead Like Jesus, dalam perspektif kepemimpinan dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai pemimpin dalam peran hidup dan
pemimpin dalam organisasi.[55]
Setiap
orang adalah pemimpin karena mereka memengaruhi
orang lain, baik secara positif maupun negatif. Setiap orang adalah
pemimpin dalam peran hidup. Pemimpin Kristen
menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam
rangka dilayani. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam
organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang
diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan
kebudayaan organisasi.[56]
Perbedaan
dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi
adalah dalam hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh memengaruhi.
Pemimpin dalam peran hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka
panjang, sedangkan pemimpin dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam
suatu lingkungan hubungan dan perubahan yang temporer.[57]
Hampir selalu, pemimpin dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi calon
pemimpin dalam organisasi.
Pemimpin Gereja termasuk kategori
pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Oswald
Sanders mengatakan bahwa pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki
perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen.
Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk
melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya
menyebabkan ia sanggup memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk mentaati
dan memuliakan Allah. Henry dan Richard Blackaby menyebutkan pemimpin Kristen
menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. George Barna mengatakan
bahwa pemimpin Kristen yaitu seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan
dan melalui karakter seperti Kristus.[58]
Sementara itu, Jerry Rumahlatu
mengatakan bahwa pemimpin Kristen adalah orang yang dipanggil dan ditetapkan
Allah untuk memimpin orang lain kepada tujuan Allah. [59]
Lebih lanjut Jerry Rumahlatu mendorong setiap pemimpin Kristen untuk
mengembangkan kecakapannya dalam memimpin, antara lain : 1). Memiliki
sifat-sifat alamiah dan spiritualitas Kristen yang baik. 2). Memiliki kesadaran diri sendiri 3).
Memiliki integritas dalam kata dan perbuatan. 4). Memiliki pengetahuan yang
benar tentang Allah dan tentang manusia.
5). Seorang yang kompeten, bertindak berdasarkan penalaran dan prinsip-prinsip
moral Kristen. 6). Seorang yang visioner. Memiliki visi dari Tuhan. 7). Seorang
yang imajinatif. Memiliki inovasi dan kreativitas untuk membuat perubahan
positif.[60]
Menurut
J. Robert Clinton, pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah
sebagai pemimpin yang ditandai oleh kapasitas memimpin dan tanggungjawab
pemberian Allah untuk memimpin sekelompok umat Allah untuk mencapai tujuannya bagi serta melalui
kelompok.[61] Penulis mengartikan
pemimpin sebagai orang yang memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya
melalui kerja tim dengan mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk
mencapai visi bersama dengan tetap memperhatikan kepentingan yang dipimpinnya.
Pemimpin
Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Gereja dalam hal ini termasuk kategori
pemimpin dalam organisasi. Menurut Penulis, ciri khas yang
membedakan pemimpin Gereja dengan pemimpin pada umumnya adalah persoalan
motivasi, tujuan dan jalan yang ditempuh.
Motivasi dan tujuan pemimpin Gereja
adalah untuk melayani bukan untuk dilayani. Jalan yang ditempuh para pemimpin
Gereja juga dengan jalan melayani. Motivasi,
tujuan dan jalan yang ditempuh oleh pemimpin
Gereja harus meneladan pada motivasi melayani, tujuan melayani dan jalan melayani seperti dalam kepemimpinan Yesus
Kristus.
Otoritas kepemimpinan pemimpin
Gereja didapatkan dari Yesus Kristus, Sang Pemilik Gereja. Tanpa kepemimpinan
maka Gereja bagai anak panah tanpa busur. Mustahil Gereja dapat melaksanakan
fungsinya bila tidak ada kepemimpinan yang kuat dan efektif.
Sebagaimana definisi Penulis, bahwa
kepemimpinan adalah proses memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya
melalui kerja tim mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk
mencapai visi bersama. Dengan demikian, kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan
oleh tim kepemimpinan Gereja yang disebut Majelis Jemaat. Mereka bekerjasama dengan mengoptimalkan
segenap potensi dan sumber daya yang dimiliki dalam rangka mencapai visi
bersama. Dalam kepemimpinan Kristen,
visi bersama yang dimaksud haruslah merupakan visi yang berasal dari Tuhan dan
bukan sekedar visi yang disepakati bersama.
Kepemimpinan pemimpin Gereja
dijalankan dengan motivasi melayani, dengan jalan melayani untuk kemuliaan nama
Tuhan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roma 11:36, “sebab segala sesuatu
adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya.”
Hal yang penting dalam kepemimpinan
Kristen adalah tentang kaitan erat antara prestasi dan kerendahan hati
pemimpin. Hal itu diwujudkan oleh
pemimpin dengan melakukan tugas seorang “pelayan” atau “hamba” terhadap
orang-orang yang dipimpinnya dengan semangat berprestasi setinggi-tinginya.
Kehormatan yang diterima pemimpin tidak didasarkan atas status formal seseorang
sebagai pemimpin, tetapi justru oleh pelayanan yang diberikan secara baik.
Itulah bentuk pelayanan yang menurut Meno Soebagjo sebagai model
keteladanan yang mendatangkan
kehormatan.[62]
Pendapat Meno Soebagjo didasarkan atas cerita
tentang permintaan ibu Yakobus dan Yohanes yang meminta agar kedua anaknya
diberi tempat / posisi penting dalam Kerajaan Allah. Pada kesempatan itu Yesus
mengajar bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar/terkemuka, hendaklah ia
menjadi pelayan dan hamba bagi lainnya. [63]
Yesus tidak melarang orang untuk menjadi yang terkemuka, dan Yesus
memberitahukan caranya yaitu dengan menjadi pelayan yang melayani, sebagaimana
yang Yesus terapkan.
Menurut A.T. Hanson, Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3:18-4:16;
9:1-2; 12:24-30, dan 2 Korintus 3-6 menjelaskan bahwa pelayanan Yesus Kristus
telah menjadi dasar bagi pelayanan para rasul yang mengakibatkan berdirinya
gereja. Setelah gereja berdiri, maka pelayanan para rasul dikerjakan dengan
mengajak seluruh warga gereja untuk memberikan pelayanan.[64]
Dengan demikian, gereja harus melayani
sebagaimana Kristus dan para rasul melayani.
Sewaktu ada di dunia, Tuhan Yesus Kristus menyadari sepenuhnya bahwa
kedatanganNya ke dunia ini tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani.[65]
Secara jelas hal ini diungkapkan di dalam perkataanNya : “Anak Manusia datang
bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya
menjadi tebusan bagi banyak orang”.[66] Pelayanan dalam kepemimpinan Yesus Kristus,
dengan demikian harus dipahami dan dipraktikkan oleh para pemimpin Gereja agar
dalam kepemimpinannya sungguh-sungguh meneladan kepada kepemimpinan Yesus
Kristus, Sang Pemimpin Gereja yang sesungguhnya.
PASAL 5
PEMIMPIN
SEBAGAI TELADAN
Pemimpin harus menjadi teladan bagi
para pengikutnya. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mendefinisikan teladan sebagai
berikut : suatu perbuatan atau sikap, tingkah laku dan sebagainya yang patut
ditiru.[67] Bagi pengikut suatu agama, pemimpin mereka adalah
teladan dalam hidup mereka. Perbuatan
atau sikap pemimpin memiliki dampak besar bagi pengikutnya. Bahkan bukan hanya
perbuatan tapi kata-kata pemimpin patut disadari dapat memberi dampak bagi
pengikut mereka.
Laurie Beth Jones mengatakan bahwa
pengikut mudah belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka
dengar. Panduan-panduan kebijaksanaan dan buku-buku instruksi bisa saja
mencapai sesuatu tujuan, tetapi semua itu tidak membangun kultur kelompok atau
organisasi. Pemimpin menetapkan teladan dengan apa yang mereka lakukan. [68]
Tuhan Yesus menjadikan diriNya
sebagai teladan bagi murid-murid-Nya. Teladan dalam hal berdoa, rela berkorban,
kasih-Nya kepada umat manusia, ketegasan-Nya, ketaatan-Nya kepada Allah,
pengampunan-Nya, karakter-Nya, dan seluruh hidup-Nya. Yesus sendiri mengatakan bahwa diri-Nya
adalah teladan itu. Pada suatu hari, sesudah Dia membasuh kaki para murid-Nya,
Yesus mengenakan pakaian-Nya dan kembali duduk. Yesus bertanya kepada para
murid, “Mengertikah kamu apa yang telah Aku perbuat kepadamu?” Tanpa menunggu komentar dari para muridNya
yang diliputi rasa heran dan malu, kemudian Yesus berkata :
“Kamu
menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan
Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu,
Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku
telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama
seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya
seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan
dari pada dia yang mengutusnya.”[69]
Beberapa tahun kemudian Rasul Paulus,
ketika menulis surat kepada Gereja di Filipi menasihatkan agar mereka menaruh
pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.[70]
Yesus Kristus menjadi contoh sempurna untuk diikuti oleh semua orang Kristen.
Standar-Nya yang tinggi tidak diberikan untuk membuat pengikut-Nya frustrasi
melainkan untuk mengungkapkan bidang-bidang kehidupan yang memerlukan
peningkatan.[71]
Kepemimpinan Yesus Kristus bagi
pemimpin gereja bukan salah satu alternatif tetapi satu-satunya pilihan dalam
praktik kepemimpinan mereka. Gagasan tentang model kepemimpinan melayani
sebenarnya sudah ditulis cukup panjang
sejak tahun 1970 oleh Robert K. Greenleaf, pengarang dan pendiri Greenleaf
Center for Servant-Leadership.[72] Menurut Robert K. Greenleaf, para pengikut
yang dilayani oleh para pemimpin pelayan akan menjadi sehat, bijaksana, bebas,
lebih swatantra, dan menyerupai diri
merekalah yaitu para pengikut, yang menjadi pemimpin.[73]
Orang Kristen diutus oleh Tuhan
Yesus Kristus pertama-tama bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mengakui
bakat dan talenta yang dimiliki dalam rangka melayani.[74] Setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani
seperti Yesus dan untuk mengasihi satu sama lain dengan kualitas kasih seperti
Yesus.
“Aku
memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu
demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan
tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku,
yaitu jikalau kamu saling mengasihi."[75]
Dengan
hidup saling mengasihi, kualitas sebagai murid-murid Yesus Kristus akan
nampak. Inilah yang menjadi ciri khas
murid Yesus di segala masa dan tempat. Mereka harus saling mengasihi, termasuk
dalam relasi di kepemimpinan mereka. Pola kepemimpinan Yesus Kristus tak pernah
mati. Para murid-Nya di segala tempat dan masa diberi-Nya kuasa untuk
menghidupkannya. Kepemimpinan yang melayani telah dan harus menjadi pola tetap dalam kepemimpinan Kristen.
A.B Susanto mengatakan bahwa
kehandalan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh adanya integritas
intelektual dan integritas moral semata, melainkan harus juga dilengkapi dengan
integritas religius, yaitu sifat dan sikap dasar seorang pemimpin berdasarkan
iman kepercayaannya.[76] Bagi pemimpin-pemimpin Kristen dengan demikian, harus menjalankan
kepemimpinan mereka meneladan pada kepemimpinan Yesus Kristus.
Salah satu peranan utama seorang
pemimpin yang berhasil guna adalah menunjukkan teladan yang baik dan kemudian
melatih orang lain cara untuk mengikutinya. Rasul Paulus, pemimpin besar dari
gereja perdana menulis : “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi
pengikut Kristus.”[77] Kitab Injil mengisahkan bagaimana Yesus
Kristus memusatkan perhatian-Nya dalam melatih para murid-Nya, dan Paulus
melakukan hal serupa. Ia ingin agar para pengikutnya melakukan apa yang
dikerjakannya. Paulus mengetahui bahwa
itulah rahasia kepemimpinan yang berhasil guna.[78]
Yesus Kristus bukan hanya memberi
teladan. Dia melatih para muridNya untuk mengerjakan apa yang Dia kerjakan.
Bahkan hal-hal yang lebih besar daripada apa yang Dia sudah kerjakan.
“Aku
berkata kepadamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan juga
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang
lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.”[79]
Yesus
bukan hanya melatih para pengikutNya untuk meniru apa-apa yang Dia sudah
lakukan, tujuan-Nya adalah agar mereka mengerjakan hal-hal yang lebih besar
daripada yang sedang dilakukan-Nya. Inilah tanda pemimpin sejati. Inilah tanda
pemimpin yang berhasil guna. Tugas pemimpin Kristen (termasuk pemimpin gereja)
adalah bukan hanya melatih pengikut mereka untuk melakukan apa yang sudah atau
sedang dikerjakan tetapi juga mendorong
semangat mereka untuk melakukannya bahkan dengan cara yang lebih baik.[80]
Kepemimpinan gereja selalu
berhubungan dengan spiritualitas pemimpin gereja. Ada kontras yang tajam antara pemimpin dengan
spiritualitas baik dengan yang buruk. Demikian pula dampak kepemimpinannya.
Kitab Injil mencatat bahwa Yesus Kristus sering menarik kontras yang tajam
antara standar spiritualitas pengikut-Nya dengan standar spiritualitas non
pengikut-Nya. Kadang-kadang kontras itu diambil Yesus antara orang non Yahudi
atau bangsa-bangsa kafir dan pengikut-pengikut-Nya. Pada kesempatan lain, Yesus
menarik kontras itu antara murid-murid-Nya dengan orang-orang yang religius,
khususnya para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. [81]
Tokoh Yesus dari Nasaret sangat
kontroversial. Sejak kemunculan-Nya sebagai Pemimpin di muka umum pada sekitar
tahun 27, banyak yang bertanya-tanya tentang identitas-Nya : Siapakah Anak
Manusia itu ? Dan jawabannya beraneka
ragam. Ada yang mengatakan : Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia
dan ada pula yang mengatakan Yeremia, atau salah seorang dari para nabi.[82]
Lalu, pada masa selanjutnya, ada yang memandang-Nya sebagai tokoh revolusi,
nabi eskhatologis, nabi sosial, orang suci kharismatis, guru hikmat, filsuf
yang sinis, dsb.[83]
Tetapi pengakuan iman Kristen ortodoks menyatakan bahwa Yesus dari Nasaret
sesungguhnya adalah Allah yang menjadi manusia. “Yesus adalah Tuhan” merupakan
bunyi pengakuan iman Kristen yang pertama.[84]
Pokok pengakuan iman ini secara mutlak membedakan agama Kristen dengan agama
Yudaisme dan Islam.[85] Dengan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan
yang berkuasa di sorga dan di bumi, sudah sewajarnya gereja sebagai milik-Nya
mengakui dan tunduk kepada otoritas kepemimpinan-Nya.
Kepemimpinan Yesus Kristus menjadi
sumber kepemimpinan gereja. Kepemimpinan gereja harus meneladan kepada
kepemimpinan Yesus Kristus karena Dialah Guru dalam kepemimpinan para murid-Nya
sepanjang masa. Pemimpin gereja memiliki kelebihan pertama-tama bukan karena
keunggulannya dibandingkan pengikutnya, tetapi karena keintimannya dengan Tuhan
Yesus Kristus. Pemimpin gereja memperoleh kuasa dan kemampuan karena anugerah
Tuhan, bergantung pada Tuhan dan tidak bersandar pada kelebihan pribadi yang
dimiliki. Di situlah terletak kelebihannya sebagai pemimpin.
PASAL 6
KEKHASAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
Dari hasil penelitian Rick Warren,
saat ini, Yesus Kristus adalah Pemimpin terbesar di dunia. Pengikutnya ada 2,1
miliar orang. Tak seorangpun yang menyamainya.[86]
Warren mempercayai bahwa kepemimpinan melayani yang dilakukan Yesus adalah
jenis kepemimpinan terbaik. Lee Brase berkata, “Jika anda melatih seseorang
maka ia akan menjadi seperti anda tetapi jika anda melayaninya, langit adalah
batas dari perkembangannya.”[87]
Melalui seluruh masa hidup dan
kepemimpinanNya, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mencari pemimpin tetapi
pelayan yang membiarkan Allah menjadi Pemimpinnya dan berfokus pertama-tama
pada kerajaan Allah.[88]
Pemimpin dalam perspektif Yesus, harus mampu memberikan pelayanan yang baik
demi kepentingan pengikut yang dipimpinnya. Pemimpin dipanggil untuk melayani,
yaitu memperhatikan, menolong dan mempedulikan orang-orang yang dipimpin.
Itulah fungsinya, dan tanpa adanya kesungguhan dan kemampuan itu, pemimpin
tidak diperlukan.[89]
Yakob Tomatala juga menyimpulkan bahwa
keunikan kepemimpinan Kristen terletak di sini, pemimpin harus memelihara sikap
melayani.[90]
Kenneth O. Gangel menguraikan empat hal yang membedakan kepemimpinan Kristen
dengan kepemimpinan secara umum. Perbedaan pertama terletak pada sumber kekuasaan kepemimpinan
Kristen adalah dari Allah. Kedua,
kepemimpinan Kristen memiliki preseden historis dari contoh-contoh
kepemimpinan para tokoh pemimpin di dalam Alkitab. Ketiga, keunikan dinamika rohani dalam kepemimpinan
yakni : penerimaan akan tanggungjawab, lemah lembut dalam memimpin, kesediaan
diajar dan perhatian kepada pengikutnya.
Dan keunikan yang keempat tentang analisis birokrasi dalam kepemimpinan
Alkitabiah dimaknai sebagai alat yang baik tetapi tuan yang buruk.[91] Menurut Gangel, inilah empat keunikan
kepemimpinan yang melayani.
Alasan Yesus menitikberatkan unsur
pelayanan dalam kepemimpinan sebenarnya disebabkan akan adanya bahaya utama
yang terkandung dalam kepemimpinan yaitu keangkuhan. Tetapi itu bukan alasan
yang terutama. Menurut John Stott, hal ini lebih disebabkan dalam kepemimpinan
yang melayani terdapat pengakuan akan harkat dan martabat orang-orang sebagai
manusia.[92]
Manusia adalah gambar Allah. Dan sebagai gambar Allah, mereka seharusnya
dilayani dan bukan dieksploitasi, dihormati dan bukan dimanipulasi.
Kepemimpinan yang melayani menuntut kepemimpinan yang menanggalkan jubah,
berlutut, mengambil sebuah handuk dan membasuh kaki para pengikutnya seperti
yang telah dilakukan oleh Yesus.[93]
Sungguh kontras dengan kepemimpinan yang disertai keangkuhan karena
kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang mengakui begitu tinggi
harkat dan martabat pengikutnya sebagai manusia.
J. Oswald Sanders mengemukakan enam sifat yang
harus dimiliki seorang pemimpin Kristen yang melayani, yaitu : memiliki
disiplin, punya penglihatan akan masa depan, berhikmat, mampu mengambil
keputusan, berani dan rendah hati.[94]
Dari hasil penelitian yang dilakukan
Sanjaya, seorang Indonesia yang tinggal di Melbourne, Australia ada enam aspek
atau indikator yang menunjukkan kehadiran pemimpin Kristen yang melayani yaitu
: Pemimpin merendahkan diri dengan sadar, ia memiliki diri yang otentik,
menghidupkan spiritualitas transenden, memberikan penekanan pada moralitas,
menjalin hubungan persaudaraan dan menggunakan pengaruhnya untuk menghasilkan
transformasi pada pengikutnya.[95]
John Stott menyimpulkan bahwa
terdapat lima unsur pokok sebagai ciri khas kepemimpinan yang melayani, yaitu :
visi yang jelas, kerja keras, ketekunan yang penuh ketabahan, pelayanan dengan
rendah hati dan disiplin baja.[96]
PASAL 7
9 PRINSIP MEMIMPIN DAN MELAYANI
SEPERTI YESUS
Kepemimpinan yang melayani memiliki sembilan
ciri khas. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten
dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang pelayanan-Nya kepada dan bersama
para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani seharusnya diterapkan oleh semua pemimpin
Kristen.
PRINSIP PERTAMA : Melayani dengan
Visi yang Berasal Dari Tuhan
Pemimpin yang baik digerakkan oleh
visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat.[97]
Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang mampu untuk melihat serta memahami
sesuatu yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang. Bill Hybels mendefinisikan
visi sebagai “suatu gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”.[98] Visi
membuat seorang pemimpin dimampukan memandang masa depan yang lebih baik. Hal
ini menimbulkan semangat, gairah yang menyala-nyala untuk mencapainya. Visi
inilah yang membuat seorang pemimpin mampu bertahan dalam kesulitan.
Bagi seorang pemimpin, visi dengan
demikian bukanlah suatu pilihan. Visi
adalah bagian perlengkapan standar untuk seorang pemimpin sejati. Kepemimpinan
pada umumnya mensyaratkan pemimpin harus memiliki visi pribadi yang dibagikan
menjadi visi bersama.[99]
Pemimpin harus mampu melihat the big
picture atau visi pribadi ini sebagai fokus.[100]
Visi tersebut harus singkat, merupakan
hasil konsensus bersama, menjadi deskripsi situasi yang akan diharapkan dan
menarik bagi karyawan, pelanggan dan stakeholders.[101]
Berbeda dengan kepemimpinan pada
umumnya, bagi pemimpin Kristen, visi yang dipakai olehnya untuk memimpin
bukanlah visi yang dibuat sendiri atau hasil dari konsensus bersama melainkan
harus merupakan visi yang Tuhan berikan kepadanya. Hal ini juga dikatakan oleh
George Barna. Menurutnya visi sejati berasal dari Tuhan. Bila seorang pemimpin
Kristen memunculkan suatu visi tentang masa depan, visinya bisa keliru, kurang
dan terbatas. Visi Tuhanlah yang sempurna dalam segala hal.[102] Dan
Tuhan memberikan visi itu kepada para pemimpin Kristen. Allah adalah Sumber,
Pemberi visi serta Subjek yang mengimpartasikan visi itu kepada pemimpin yang
dipilih-Nya.[103]
Karena visi itu berasal dari Tuhan,
maka orang-orang yang ingin memimpin karena memiliki karunia, karena
pengalaman, karena mereka menikmati kekuasaan, karena memiliki ide-ide untuk
membangun, karena mereka mencintai perhatian, atau mereka telah diatur untuk
melakukan itu adalah orang-orang yang berbahaya bila menjadi pemimpin. motivasi
mereka tidak tepat. Pemimpin adalah pelayan. Mereka yang mencari posisi
kepemimpinan karena alasan-alasan selain memenuhi visi yang diberikan Tuhan,
bukanlah pemimpin yang sejati.[104]
Kisah Yesus yang berpuasa empat
puluh hari lamanya dan kemudian mengalami pencobaan di padang gurun pada
awal-awal pelayanan-Nya hendak menampilkan fakta sejarah bagaimana perjuangan
dan pertarungan spiritual Yesus pada awal Dia mencari visi dan menemukan
panggilan hidup-Nya.[105] Puasa
yang dilakukan Yesus juga merupakan gejala umum lintas budaya yang juga biasa ditempuh para pemimpin
kharismatis pada masa dulu hingga sekarang.[106]
Begitu pentingnya visi bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus mendapatkan visi
dari Allah agar kepemimpinannya berhasil.
Setelah mendapatkan visi dari Tuhan,
pemimpin harus menjaga pikiran tetap pada satu jalur. Hal ini tidak mudah. Disiplinlah kuncinya. Bila tidak disiplin,
menurut Billy Arcement, pemimpin akan menjadi seperti anak bungsu dalam
perumpamaan anak yang hilang. Ia mengalami banyak penderitaan sampai akhirnya
ia kembali kepada tujuannya yang sebenarnya.
Bila terjadi demikian, kembali kepada visi yang diberikan Tuhan adalah
jawabannya.[107]
PRINSIP KEDUA: Melayani dengan
Pengurapan Roh Kudus
Dalam Perjanjian Baru, Roh disebut
hampir 300 kali dan hampir selalu dihubungkan
dengan “kekuasaan”.[108] Saat Yesus akan pergi ke Surga, para
pengikutNya gentar menghadapi masa depan mereka. Dalam Injil Yohanes 16:1-16,
Yesus mengatakan bahwa para muridNya memerlukan Penolong yaitu Roh Kudus dalam
pelayanan mereka.
"Semuanya
ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan
dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu
akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian,
karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini
Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah
mengatakannya kepadamu. Hal ini tidak Kukatakan kepadamu dari semula, karena
selama ini Aku masih bersama-sama dengan kamu, tetapi sekarang Aku pergi kepada
Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya
kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi? Tetapi karena Aku mengatakan hal itu kepadamu,
sebab itu hatimu berdukacita. Namun
benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku
pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu,
tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. Dan kalau Ia datang,
Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa,
karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku; akan kebenaran, karena Aku pergi
kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan penghakiman, karena penguasa
dunia ini telah dihukum. Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi
sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh
Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak
akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang
didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu
hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan
kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya,
adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang
diterima-Nya dari pada-Ku. Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi
dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku."
Kenaikan Yesus Kristus ke surga
adalah agar Roh Kudus dikirimkan kepada para muridNya. Itu jauh lebih baik.
Bahkan, Yesus berkata bahwa para murid akan menerima kuasa kalau Roh Kudus itu
turun atas mereka, sehingga mereka memiliki keberanian menjadi saksi-saksi
Kristus sampai ke ujung bumi.[109]
Yesus sendiri memulai pelayanan-Nya
dengan pengurapan Roh Kudus. Dia dibaptis oleh Yohanes dan Roh Kudus turun
atas-Nya dalam rupa seperti burung merpati.
Dalam kuasa dan pimpinan Roh Kudus,
Yesus menang atas setiap pencobaan yang dilakukan iblis di padang gurun.[110] Tim
kepemimpinan yang melayani akan saling mengenal satu sama lain, saling
menghormati dan bekerja sama mencapai sasaran bersama. Jika pelayanan itu dilakukan bersama-sama
dengan Roh Kudus maka keefektifan menjadi berlipat ganda.[111]
PRINSIP KETIGA: Melayani dengan
Kerendahan Hati dan Kepercayaan Diri
Menurut Henri Nouwen, salah satu
godaan para pemimpin adalah godaan ingin menjadi populer, hebat dan berkuasa.[112]
Popularitas dan kekuasaan membuat pemimpin kehilangan salah satu norma kebaikan
seorang pemimpin yaitu kerendahhatian.
Pemimpin yang baik sebagaimana
dituliskan Daniel Goleman, bukanlah bintang tunggal yang memercikkan serbuk
keajaiban kepada orang lain.[113]
Pemimpin sejati memahami bahwa mereka juga sedang dipimpin dan kepemimpinan
merupakan sesuatu yang bersifat timbal
balik. Setiap pemimpin harus mampu mendengar dan menyesuaikan diri dengan orang
lain agar mampu menangkap isyarat yang dapat membantu semua orang terlibat
untuk berjalan sejajar di sepanjang jalan. Pemimpin terbaik tahu bahwa semua
harus terlibat bersama-sama. Saat pemimpin gagal mendengarkan, mereka
menciptakan ketidakpedulian, permusuhan, dan miskomunikasi di antara
pengikut-pengikutnya. Orang-orang yang dipimpinnya lambat laun tapi pasti akan
berhenti berkomunikasi dengannya. Sebaliknya, pemimpin yang terampil
mendengarkan adalah pembujuk yang baik, sebagaimana Dean Rusk tuliskan, “salah
satu jalan terbaik untuk membujuk orang lain adalah dengan telinga anda -
dengan mendengarkan mereka”.[114]
Melayani dengan kerendahan hati
hanya dapat dilakukan ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah
dan mengerjakan misi Allah. Kerendahan hati adalah sikap hati yang menunjukkan
pemahaman mendalam atas keterbatasan dirinya untuk menyelesaikan segala sesuatu
sehingga terdapat pengakuan atas keberhasilan bukan semata-mata berasal dari
kemampuannya sendiri yang terbatas.
Pemimpin yang rendah hati mengamini dengan sungguh perkataan Tuhan Yesus
dalam Injil Yohanes 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya.
Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab
di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”.
Pada pihak lain, pemimpin yang
rendah hati juga harus memiliki kepercayaan diri. Mereka tidak menyangkal
kekuatan, kecerdasan dan kelebihan mereka tetapi mereka mengakui bahwa semua
yang ada padanya itu anugerah. Tuhan memakai mereka. Tuhan yang memiliki kuasa
kepemimpinan dan melalui mereka kuasa kepemimpinan itu dinyatakan.
Kerendahan hati adalah kualifikasi
pemimpin yang dicari Allah. Allah menginginkan seorang yang setia, bukan
seorang pejuang yang mengandalkan kekuatannya sendiri. [115]
Pemimpin yang mengandalkan Tuhan atau pemimpin yang rendah hati akan menjadi
pemimpin yang melayani.
Kerendahan hati yang diperlihatkan
Yesus tidak muncul dari ketiadaan harga diri. Kerendahan hatiNya berasal dari
kenyataan bahwa Dia tahu siapa Dia sebenarnya, dari mana asal-Nya, ke mana Dia
akan pergi dan milik siapakah diri-Nya. Kenyataan ini memungkinkan-Nya untuk
memperlakukan orang lain dengan cinta dan hormat. Kerendahan hati menyadari dan
menekankan pentingnya orang lain tanpa merendahkan diri sendiri. Kerendahan
hati berbicara kepada diri sendiri dan berbicara juga kepada orang lain, “Saya
sangat berharga di mata Allah, demikian pula anda !”[116]
Kepemimpinan yang melayani bukan
hanya berhenti kepada kerendahan hati tapi juga kepercayaan diri yaitu
kepercayaan diri yang bersandar pada Allah. Yesus tahu bahwa Allah
mencintai-Nya tanpa batas. Demikian pula pemimpin Kristen seharusnya memahami
diri mereka.
PRINSIP KEEMPAT: Melayani dengan
Karakter Kuat
Integritas dan kepribadian adalah
dua hal yang membentuk karakter seseorang.[117]
Integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Setiap janji ditepati. Itulah
integritas. Sementara itu, kepribadian merupakan sifat-sifat hati yang baik,
misalnya sopan santun, kejujuran, kebaikan hati, dsb yang memudahkan proses
komunikasi.
Karakter lebih dari sekedar
perkataan. Karakter seseorang menentukan siapa ia sesungguhnya. Jika
perbuatannya bertentangan dengan apa yang ia katakan, maka karakter orang
tersebut tidak baik. Tetapi karakter berbeda dengan talenta. Talenta adalah
karunia, tetapi karakter adalah pilihan. Setiap orang bisa memilih karakternya
sendiri dan dapat dikembangkan. Jack W. Hayford mengatakan bahwa perkembangan
karakter kepemimpinan memerlukan lebih dari sekedar praktik disiplin lahiriah,
karena hal itu melibatkan hati dan bukan hanya kebiasaan. Karakter bukan hanya
berhubungan dengan pengabdian, karena hal itu melibatkan transformasi bukan
sekedar inspirasi. Juga bukan sekedar kepatuhan pada peraturan karena
melibatkan Roh Kudus yang berkarya dalam batin seseorang. Karakter juga bukan
hanya soal kekudusan hidup pribadi tetapi hidup yang transparan di hadapan
orang lain yang didorong hati yang penuh ketulusan.[118]
Karakter yang kuat akan menghasilkan
reputasi di hadapan para pihak. Stephen
R. Covey berpendapat bahwa karakter pada dasarnya adalah gabungan dari
kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Pepatah mengatakan,
“Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah berbuatan, tuailah kebiasaan.
Taburlah kebiasaan, tuailah karakter. Taburkan karakter, tuailah nasib.”[119]
Tuhan Yesus melayani dengan karakter
kuat. Apa yang dikatakanNya selalu diakukanNya. Yesus adalah Pemimpin
berintegritas. Kepribadian-Nya tak tercela.
Yesus menjadikan diri dan
kehidupan-Nya sebagai bukti dari segala pengajaran-Nya.
PRINSIP KELIMA: Melayani dengan
Menjaga Kehidupan Doa
Seorang pemimpin harus mampu
mendengarkan suara Tuhan. Ia tidak tergesa-gesa membuat keputusan. Ia menunggu
suara-Nya. Ada saat di mana keputusan cepat dan tepat harus diambil tetapi
keputusan dipertimbangkan sedemikian rupa dengan mempergumulkannya dalam doa.
Meskipun pemimpin-pemimpin dunia dan pemimpin-pemimpin Kristen dapat memimpin
dengan atau tanpa doa,[120]
tetapi pemimpin-pemimpin besar dalam Alkitab adalah para pemimpin yang berdoa.[121]
Pemimpin harus menjaga relasinya
dengan Tuhan, menghormati-Nya dan
menjaga kekudusan hidupnya.[122]
Pemimpin adalah seorang yang panca
indera rohaninya peka dan terlatih dengan baik. Disiplin rohani dan komunikasi
yang intim dengan Tuhan adalah kuncinya. Ia adalah seorang pemimpin, sekaligus
pendoa.
Setelah menerima baptisan Yohanes
Pembaptis, Yesus mengawali pelayanan-Nya dengan berdoa dan berpuasa di padang
gurun. Di tengah-tengah pelayanan-Nya, Alkitab mengisahkan kebiasaan Tuhan
Yesus untuk berdoa dalam kesendirian atau bersama para murid-Nya. Suatu kali,
Tuhan Yesus bersama Petrus, Yakobus dan Yohanes menyendiri di gunung yang
tinggi untuk berdoa. Pada saat Yesus berdoa, Ia bertransfigurasi sehingga
pakaian-Nya berkilau-kilauan. Yesus berhubungan langsung dengan alam roh yang
tak kasat mata.[123] Yesus berhubungan langsung dengan Allah yang
mengutus-Nya. Contoh yang paling jelas dan penting mengenai urgensi doa dalam
keheningan digambarkan dalam Yohanes 6:14-15, saat Yesus diperhadapkan dengan
godaan kekuasaan, Dia membutuhkan saat hening untuk memurnikan panggilan-Nya.
Yesus mengetahui bahwa orang banyak sekitar lima ribu orang laki-laki yang
mengalami mujizat lima roti dan dua ikan hendak menjadikan Dia raja.
Ketika
orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata : “Dia
ini adalah benar-benar Nabi yang akan datang ke dalam dunia.” Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang
dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir
pula ke gunung, seorang diri.
Keberhasilan dan pujian orang banyak
bisa menjadi racun bagi seorang pemimpin, khususnya para pemimpin yang memiliki
pemikiran bahwa harga diri merupakan kombinasi dari kinerja yang bagus dan
pendapat orang lain.[124]
Mengambil waktu seorang diri bersama Tuhan merupakan kebiasaan penting untuk
memurnikan panggilan pelayanan.
PRINSIP KEENAM: Melayani dengan
Belas Kasihan
Pemimpin harus memiliki belas
kasihan terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ia memiliki empati dan mengerti kebutuhan
orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus memiliki hubungan hati dengan pengikutnya, saling mengenal dan
memiliki kepedulian. Hal ini ditunjukkan
Musa tatkala Tuhan berencana memusnahkan bangsa Israel karena ketidakaatan
mereka kepada Tuhan dan beribadah kepada patung lembu emas. Tuhan berencana
akan membentuk umat baru melalui keturunan Musa, tetapi Musa menolak rencana
pemusnahan bangsa Israel dan memohonkan pengampunan bagi Israel jika tidak Musa
meminta namanya dihapuskan saja dalam Kitab Kehidupan.[125]
Musa bertindak demikian karena belas kasihannya kepada umat Israel yang
dipimpinnya.
Kepedulian adalah tindakan
dijalankannya empati dan perhatian. Empati memungkinkan seseorang untuk membina
hubungan dan ikatan dengan orang lain. Empati membuat dihindarkannya “korban”
dalam kepemimpinan. Untuk itu harus dimulai dari sifat ingin tahu dari pemimpin
kepada pengalaman-pengalaman anggotanya dan mempelajari kebutuhan dan hidup
mereka. Menurut Richard Boyatziz dan Annie McKee, dalam buku mereka Resonant Leadership kepedulian memiliki
tiga komponen pokok, yaitu pemahaman dan empati kepada perasaan dan pengalaman
orang lain, kesadaran kepada orang lain dan kemampuan bertindak berdasarkan
perasaan tersebut dengan perhatian dan empati.[126]
Dalam Kitab Injil digambarkan
bagaimana Yesus Kristus yang penuh belas kasihan. Sesudah Yesus menyembuhkan orang lumpuh dan mengampuni
dosanya, disaksikan orang banyak Yesus pergi dan menjumpai Matius yang
berprofesi sebagai pemungut cukai. Matius sangat dibenci oleh orang Yahudi
karena dipandang sebagai orang berdosa. Tetapi didorong belas kasihan-Nya,
Yesus mendekati rumah cukai itu tanpa risih, tidak peduli apa komentar orang
perihal tindakan-Nya yang tak lazim dan
mengajak Matius untuk menjadi salah seorang murid-Nya.
“Setelah
Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah
cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah
Matius lalu mengikut Dia. Kemudian
ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang
berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang
Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus:
"Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang
berdosa?" Yesus mendengarnya dan
berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit. Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini:
Yang Kukehendaki ialah belas kasihan
dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar,
melainkan orang berdosa."[127]
Pribadi Yesus yang berbelas kasihan
dikisahkan oleh penulis Injil. Enam belas kali Yesus dikisahkan oleh Matius,
Markus dan Lukas menunjukkan belas kasihan dan mengajarkan pentingnya belas
kasihan. Yesus menaruh belas kasihan kepada orang banyak,[128]
menyembuhkan orang buta,[129]
menyembuhkan orang kusta,[130]
membangkitkan orang mati di kota Nain dan juga Lazarus,[131] semua dilakukan-Nya didorong oleh belas
kasihan.
PRINSIP
KETUJUH: Melayani dengan Kerelaan Berkorban
Di dunia ini tidak ada olahragawan
yang sukses dari sejak lahirnya. Mereka harus melalui pengorbanan demi
pengorbanan dalam bentuk latihan yang tidak ada hentinya. Demikian pula
pemimpin berpengalaman bukan karena terjadi demikian saja tetapi hasil
perjalanan panjang melalui banyak kerikil-kerikil tajam.[132]
Pemimpin harus berkorban, bukan hanya berkorban waktu, tenaga dan pemikiran
tetapi juga untuk berkorban meninggalkan kenyamanan demi meningkatkan kapasitas
dirinya.
Pemimpin juga tidak takut untuk
mengupayakan peningkatan kapasitas pengikutnya. Berbeda dengan kepemimpinan
secara umum yang memiliki prinsip: pemimpin agar dihormati harus menciptakan ketergantungan
pengikut kepada pemimpinnya,[133] dalam kepemimpinan melayani, pemimpin tidak
mengupayakan ketergantungan pengikut melainkan mengupayakan pertumbuhan dan
kemerdekaan mereka sehingga semua bisa mengeksplorasi dan mengimplementasikan
talenta dan karunia yang dimiliki untuk kemajuan organisasi. Pemimpin yang melayani bersedia “disamai”
oleh pengikutnya. Bahkan mengijinkan pengikutnya untuk bisa mengerjakan hal-hal
yang lebih besar daripada dirinya. Tuhan
Yesus berkata,
Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan
yang Aku lakukan, bahkan
pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa; dan apa juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa
dipermuliakan di dalam Anak.[134]
Pemimpin yang melayani tidak
menggunakan pendekatan kekuasaan melainkan memberi dan membagi wewenang. Ia
tidak mencari atau mementingkan rasa hormat dari pengikutnya tapi mengedepankan
hubungan dan komunikasi dengan mereka.
Pemimpin yang melayani akan rela
berkorban untuk kepentingan pengikutnya. Yesus Kristus mengajarkan hal ini
dalam Injil Yohanes 10:11-15 :
Akulah
gembala yang baik. Gembala yang baik
memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang
bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat
serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu
menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang
upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan
Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa
mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku
memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.[135]
Yesus menjalankan ajaran-Nya itu
melalui hidup dan kematian-Nya di kayu salib. Kerelaan pemimpin untuk berkorban
bagi kepentingan pengikutnya menjadikan pemimpin dihormati dan sekaligus
dikasihi oleh para pengikutnya. Dalam dunia kepemimpinan, satu pengorbanan saja
belumlah cukup untuk membawa sukses. Pengorbanan adalah sesuatu yang konstan
dalam kepemimpinan. Pengorbanan adalah proses yang berkelanjutan, bukan suatu
pengorbanan yang sekali bayar. Biasanya, semakin tinggi kepemimpinannya, semakin
besar pengorbanan yang telah diberikan.[136] Tak ada sukses tanpa pengorbanan. Pemimpin
harus rela berkorban.
PRINSIP
KEDELAPAN: Melayani dengan Memberdayakan, Mengkader dan Membangun Tim
Kepemimpinan
Sepintas lalu, tampaknya Yesus
melakukan apa yang dilakukan pemimpin-pemimpin besar lainnya, yaitu menuntun
para pengikut-Nya di sepanjang jalan yang harus ditempuh mereka. Tetapi itu
bukan tujuan utama Yesus Kristus sebagai seorang pemimpin. Tujuan utama-Nya
sebagai seorang pemimpin bukanlah menuntun para murid-Nya ke kayu salib,
meskipun itu juga dilakukan-Nya. Tujuan utama-Nya adalah membina para pemimpin
yang berasal dari pengikut-Nya.[137] Itulah
sebabnya, Yesus sangat berhasil dalam kepemimpinan-Nya. Demikian pula gereja
pada abad pertama.
Terbentuknya tim kepemimpinan Yesus
Kristus sangat unik. Yesuslah yang berprakarsa memilih dan memanggil para
murid-Nya, bukan berawal dari kehendak mereka sendiri yang datang kepada Yesus.
Yesus memanggil calon-calon murid-Nya,[138]
bila mereka bersedia maka mereka menjadi
murid-murid-Nya.[139]
Baru sesudah kesediaan dinyatakan, Yesus memberdayakan mereka. Yesus membangun tim pelayanan yang terus diberdayakan
oleh-Nya. Pemberdayaan ini dilakukan, mengingat kepemimpinan itu harus
dialihgenerasikan secara terencana. Tantangan terus berubah dan pemberdayaan
harus dilakukan demi serah terima tongkat estafet kepemimpinan akan dilakukan.[140] Sebelum kenaikan-Nya ke Surga, para murid
Yesus telah menerima pemberdayaan dari Yesus Guru mereka setiap hari. Yesus
menjadikan diri-Nya sendiri teladan yang hidup. Yesus menunjukkan ketaatan-Nya
pada Bapa, kesetiaan-Nya terhadap misi, kerendahhatian-Nya dalam relasi antar
manusia, cinta dan pengorbanan dalam kematian-Nya di kayu salib.
Seluruh gaya kepemimpinan Yesus
selama tiga tahun pelayanan-Nya adalah untuk mencari, memilih dan melatih dua
belas pengganti-Nya. Menjelang Ia disalibkan, agama Kristen baru sedikit
penganutnya. Yesus menetapkan pola untuk apa yang disebut menjadikan semua
bangsa murid-Nya ketika Ia mengutus murid-murid-Nya untuk pergi dan memenuhi
apa yang telah dimulai-Nya. Yesus tidak mengembangkan agama Kristen menjadi
gerakan seluruh dunia, namun para pengikut-Nyalah yang melakukannya. Yesus
memilih untuk tidak menuntaskan kehendak-Nya tanpa mereka yang meneruskannya.[141]
Pada zaman modern ini kepemimpinan
Kristen berkembang bukan hanya melalui gereja Tuhan tetapi juga dalam
Lembaga-lembaga Penginjilan. Bahkan bukan pemberdayaan yang dilakukan
berjenjang dan bukan hanya satu lapis saja. Tom Philips, salah satu pemimpin
dalam tim pelayanan Billy Graham menjelaskan prinsip-prinsip dalam membangun
suatu tim pelayanan Kristen, yang Penulis rangkum sebagai berikut: Suatu tim harus mempunyai seorang pemimpin
yang memiliki karunia dan komitmen. Tim terdiri dari pria dan wanita yang memiliki
hati yang sudah dijamah oleh Allah. Mereka merupakan sekelompok orang yang
bersatu di bawah ketuhanan Yesus
Kristus. Tiap anggota tim harus berfokus pada visi, ditempatkan secara tepat
dalam bidang pelayanan tertentu, dalam
komunikasi dengan sesama anggota tim yang terjaga baik. Tim harus selalu
dilatih dan diberdayakan. Setiap anggota tim memahami dan menghormati otoritas
yang ada. Mereka memiliki prinsip melayani lebih penting daripada kedudukan.
Bila mengalami kegagalan, tim harus menyadari bahwa hal itu bisa menjadi suatu
langkah menuju sukses. Suasana hubungan tiap anggota tim harus mencapai tingkat kenyamanan seperti
suasana rumah. Tim harus mampu merespons perubahan dengan tetap fleksibel.
Anggota tim menerima pendelegasian, tetapi tidak dilepaskan dan transparan.
Kepemimpinan merupakan kepemimpinan berjenjang, seperti kepemimpinan Musa.
Menjaga kesatuan tim. Setiap pemimpin tim merupakan pelatih bagi mereka yang
dibawah otoritasnya, setiap anggota tim yang tidak berpartisipasi diganti dan setiap
anggota tim selalu terfokus dalam tujuan.[142]
Kepemimpinan yang melayani dengan
demikian adalah kepemimpinan yang membangun tim, memberdayakan dan mengkader
pengikutnya untuk menjadi pemimpin besar di kemudian hari dan mengabdi bagi
kerajaan Allah. Kepemimpinan dalam tim sangat dimengerti di dunia olah raga.
Seorang pelatih basket Duke University tahun 2001 bernama Mike Krzyzewsky
mengatakan bahwa membangun tim merupakan keharusan untuk mencapai apa yang tak
dapat dicapai sendirian. Semua orang lemah saat mereka sendirian, pada umumnya,
daripada jika mereka bersatu.[143]
Pemimpin Kristen yang menghormati
Tuhan Yesus sudah seharusnya tidak menuntun pengikutnya kepada diri mereka
sendiri tetapi mengupayakan agar melalui kepemimpinan tim, orang-orang yang dipimpinnya
menjadi pemimpin. Kepemimpinan tim sangat mengenal pendelegasian. Pendelegasian
adalah pembagian berkat keterlibatan kepada sebanyak mungkin orang. Tanpa pendelegasian, anggota tim kepemimpinan
mengalami kelumpuhan kreativitas dan terhambat pertumbuhannya.[144]
Meskipun tim kepemimpinan banyak
sisi positifnya, tapi tetap saja ada sisi yang harus diwaspadai yaitu yang
disebut bahaya tirani kelompok.[145]
Sekelompok pemimpin dapat sama tiraniknya seperti diktator paling otokratik.
Tekanan sosial bisa memaksa orang untuk mau tidak mau menyesuaikan pendapatnya
dengan suara mayoritas. Pemimpin yang efektif harus berusaha menjamin bahwa
setiap orang menerima kesempatan yang sama untuk mengutarakan pandangannya
tanpa ditekan oleh pemikiran kelompok.
Dengan berorientasi mewujudkan visi
yang dari Allah, pemimpin yang membangun tim juga akan membuka diri terhadap
inovasi. Ia terbuka terhadap pendekatan dan cara-cara baru tetapi tetap
berfokus pada tujuan atau visi yang telah diterimanya. Menurut Jansen H.
Sinamo, untuk menjadi pemimpin yang inovatif, seseorang harus menjalankan
paling tidak empat langkah praktis menuju pemimpin inovatif, sebagai berikut :
Pertama, ia harus memiliki sikap positif. Baik sikap positif terhadap dirinya
sendiri, tim maupun orang-orang yang dipimpinnya. Kedua, ia harus berimajinasi
secara kreatif dengan jalan membayangkan dan menciptakan dalam bentuk
bayangan-bayangan visual dalam otak tentang situasi yang hendak diciptakan.
Ketiga, ia harus mengkonseptualisasikannya dalam bentuk tulisan, gambar,
hitung-hitungan, maket, prototipe, dsb. Dan keempat, ia harus memiliki etos inovatif. Etos
inovatif ini penting karena tanpanya,
seorang kreatifpun akan berhenti dalam gagasan.
Etos inovatif membuat seseorang tidak putus asa, tidak mudah menyerah
dan memiliki semangat juang tinggi.[146]
PRINSIP
KESEMBILAN: Melayani dengan Keberanian Menempuh Risiko
Keberanian menyulut kepemimpinan.
Keberanian mendorong seorang pemimpin bertanya, apa sebenarnya yang sedang
terjadi? Keberanian memancarkan energi untuk mengeksplorasi bersama tentang
masa depan.[147]
Pada pihak lain, rasa takut adalah kebalikan dari keberanian. Perasaan ini
berhubungan dengan hal-hal yang tidak diketahui. Rasa takut membuat seseorang
tidak mau mengambil risiko. Padahal hidup selalu mengandung risiko. Menyeberang
jalan adalah risiko. Demikian pula membuka hubungan baru, mendirikan
perusahaan, menanam, dst mengandung risiko. Tetapi risiko paling besar adalah
tidak melakukan apa-apa. Tidak melakukan apa-apa membawa seseorang kepada
entropi, penyebab terjadinya pengecilan otot, terhambatnya aliran oksigen dalam
tubuh dan membawa kematian.[148] Rasa takut
mengambil risiko berhubungan erat dengan tiadanya pengetahuan yang cukup
mengenai sesuatu hal. Pada saat mulai
mendapatkan pengetahuan mengenai suatu bidang, situasi, keadaan atau seseorang,
rasa takut tersebut biasanya akan menghilang.[149]
Tokoh dalam Perjanjian Lama bernama
Musa adalah pemimpin yang pemberani. Tanpa pengawal dan tanpa senjata, ia
menghadap Raja Mesir dan meminta agar bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan.[150]
Musa duabelas kali menghadap Firaun ditemani Harun. Pemimpin harus berani mengambil keputusan,
termasuk keputusan yang tidak populer tetapi dalam rangka pencapaian tujuan
bersama. Dan untuk mengambil keputusan yang demikian, pemimpin haruslah seorang
pemberani.
Menurut David Ben-Gurion, keberanian
adalah suatu pengetahuan khusus yaitu pengetahuan akan bagaimana takut kepada
apa yang seharusnya ditakuti, dan bagaimana tidak takut pada apa yang
seharusnya tidak ditakuti. Dari pengetahuan ini muncul kekuatan batin yang
mengilhami pemimpin untuk berjalan menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Dengan
keberanian, apa yang tampaknya tidak mungkin terkadang menjadi mungkin.[151]
Keberanian pemimpin akan menular
kepada pengikutnya. karena keberaniannya, orang-orang yang melihatnya akan
dengan rela mau menjadi pengikutnya.[152] Keberanian akan membuka pintu, dan itulah
salah satu keuntungannya.[153]
Dalam kamus pemimpin, sifat puas diri dan mengambil posisi defensif akan
berdampak pada kemunduran organisasi. Pemimpin harus berani untuk terus meraih
tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan tetap memperhatikan
visi dan misi pokok lembaga.[154]
Pemimpin juga harus berani
menegakkan disiplin. Ada saat pemimpin bersifat lemah lembut dan baik tapi ada saat harus berlaku keras dan tegas.[155] Tanpa
keberanian menegakkan disiplin maka akan tercipta situasi kerja yang tidak
suportif bagi kemajuan organisasi. Ketidakdisiplinan yang dibiarkan akan mudah
menular bahkan juga kepada anggota yang berdisiplin.
Pada lain pihak, pemimpin yang
berani adalah pemimpin yang juga memiliki keberanian untuk mengakui
kesalahannya. Hal ini dituturkan oleh John C. Maxwell. Pada saat ia membiarkan
kemarahan melandanya, sebagai Pendeta senior ia mengambil 3 keputusan jalan
pintas sebelum pesta natal 1989. Dalam
waktu seminggu ia mengambil tiga keputusan besar : mengubah beberapa unsur
pertunjukan Natal yang sudah dilatih, menghentikan pelayanan ibadah hari Minggu
dan memecat seorang staf. Keputusan itu sebenarnya dinilai tepat oleh jemaat,
tetapi karena Maxwell tidak mempergunakan proses kepemimpinan yang sudah
berjalan selama ini, yaitu mendiskusikannya dalam rapat para pemimpin gereja,
maka hal ini menimbulkan keresahan. Dengan berani, Maxwell meminta maaf karena
telah mengambil jalan pintas. Keberanian meminta maaf di depan umum ini
mengembalikan kepercayaan pengikutnya.[156] Maxwell adalah seorang pemimpin yang
berani. Keberanian mengakui kesalahan
bukan merupakan kelemahan dan kejatuhan seorang pemimpin tetapi bahkan
menimbulkan rasa hormat di hati para pengikut. Yesus
melayani dengan berani. Dia tidak bisa digertak oleh siapapun. Setiap hari
Yesus menempuh risiko dalam pelayanan-Nya di dunia. Bahkan risiko kematian
dihadapi-Nya dengan gagah. Hal ini menginspirasi para murid-Nya untuk memiliki
keberanian yang sama. Para murid-Nya berani menempuh risiko mati syahid dalam
pelayanan. Dalam kepemimpinan yang melayani, risiko bukan untuk dihindari
tetapi untuk dihadapi.
PASAL 8
KESIMPULAN
Kepemimpinan adalah konsep yang
dipakai baik oleh gereja maupun dunia. Namun paham kepemimpinan Kristen dan
paham kepemimpinan dunia pada umumnya tidak identik. Setiap orang adalah
pemimpin karena mereka memengaruhi orang lain, baik secara positif maupun
negatif. Semua orang adalah pemimpin
dalam peran hidup. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin
dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang
diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan
kebudayaan organisasi.
Perbedaan
dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi
adalah dalam hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh memengaruhi.
Pemimpin dalam peran hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka
panjang, sedangkan pemimpin dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam
suatu lingkungan hubungan dan perubahan yang temporer. Hampir selalu, pemimpin
dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi calon pemimpin dalam
organisasi.
Pemimpin Gereja termasuk kategori
pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin
Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan
sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas
tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan
sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup memengaruhi
orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Pemimpin
Kristen menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. ia adalah seorang
yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti
Kristus. Pemimpin Kristen
menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam
rangka dilayani.
Alkitab menjelaskan bahwa
kepemimpinan Yesus Kristus tidak sama dengan kepemimpinan pada umumnya. Yesus Kristus sendiri menyatakan perbedaan
itu.
Bagi Yesus, menjadi pemimpin itu
tidak sinonim dengan menjadi tuan. Menjadi pemimpin berarti melayani, bukan
menguasai. Pemimpin dipanggil untuk menjadi hamba, bukan raja di raja. Meskipun
pemimpin adalah pelayan, tetapi kepemimpinan mustahil dapat berjalan tanpa
otoritas tertentu. Otoritas yang ada pada pemimpin harus dipergunakan bukan
untuk menguasai tapi untuk melayani, bukan dengan jalan kekerasan tapi dengan
jalan memberi teladan, bukan dengan paksaan melainkan persuasi.
Kepemimpinan secara umum dengan
kepemimpinan Yesus Kristus memang berbeda. Kepemimpinan Yesus disebut dengan
kepemimpinan yang melayani. Ada sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani
yang Yesus Kristus peragakan dalam kepemimpinan-Nya. Yesus Kristus melayani
dengan visi yang berasal dari Allah, melayani dengan pengurapan dari Roh Kudus,
melayani dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri, melayani dengan
integritas dan karakter kuat, melayani dengan menjaga kehidupan dalam doa,
melayani dengan belas kasihan, melayani dengan kerelaan berkorban, melayani
dengan memberdayakan, mengkader dan membangun tim kepemimpinan, dan melayani
dengan keberanian menempuh risiko. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang
melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang
pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani
menjadi ciri khas kepemimpinan Yesus Kristus.
Kepemimpinan gereja bersumber dari
Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Pemilik dan Raja Gereja. Dengan demikian,
model kepemimpinan melayani menjadi model kepemimpinan pemimpin gereja untuk mewujudkan tri tugas gereja
yakni bersekutu, bersaksi dan melayani di dalam dunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Arcement, Billy. Searching for Success. Diterjemahkan
oleh Elia Erlina Simamora. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2005.
Asare, Charles Agyin. Dari Orang Biasa Menjadi Luar Biasa. Diterjemahkan oleh Yan Iskandar.
Cetakan pertama. Yogyakarta : Penerbit
Andi, 2008.
Barna, George. Turning Vision into Action. California: Regal Books, 1999.
_____________. “Hal Yang Berkaitan
Dengan Visi” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang
Kepemimpinan. Diedit oleh
George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.
______________. “Tidak Ada Yang
Lebih Penting Daripada Kepemimpinan”
Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin
Tentang Kepemimpinan. Diedit oleh
George Barna. Malang: Penerbit
Gandum Mas, 2002.
Blanchard, Ken dan Phil Hodges, Lead like Jesus (Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang
Zaman.Diterjemahkan oleh
Dionisius Pare. Cet. Kedua. Jakarta: Visimedia, 2007.
Bliss, Edwin C. Sukses Anda Terletak pada Putaran Waktu.
Diterjemahkan oleh Budi. Jakarta:
Binarupa Aksara, 1989.
Borg, Marcus J. Kali
Pertama Jumpa Yesus Kembali : Yesus Sejarah dan Hakikat Iman Kristen Masa Kini. Diterjemahkan oleh Ioanes Rakhmat. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997.
Boyatziz, Richard dan Annie McKee. Resonant Leadership. Diterjemahkan oleh Hikmat Gumelar. Diedit oleh F. Budi
Hardiman. T.k.: Esensi divisi
Penerbit Erlangga, 2010.
Chandra, Robby I. Kamu Juga Bisa ! Disunting oleh Dyhni
Adrawersthi dan lainnya. T.k.: Young
Leader Institute, 2009.
_____________. Kamu Juga Bisa Kenal ! Cara memimpin Di Wilayah Diri. Disunting oleh Lisa Suroso dan Emmanuella. T.k.: Young Leader
Institute, 2009.
______________. Kamu Juga Bisa Meraih ! Cara Meraih Mitra dan Menghasilkan Kerja Sama. Disunting
oleh Dyhni Adrawersthi dan Rudi
Juan Sipahutar. T.k. : Young Leader Institute, 2011.
_______________. Ketika pemimpin Harus Menghadapi Perubahan. Diedit oleh Jason Lase. Bandung: Bina Media
Informasi, 2005.
Cole, Neil. Organic Leadership. Diterjemahkan oleh Tanto Handoko. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011.
Covey, Stephen R. The 7 Habits of Highly Effective People (7
Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif).
Diterjemahkan oleh Budijanto. Cetakan
pertama. Jakarta Barat: Binarupa Aksara, 1997.
Dale, Robert D. Pelayan Sebagai Pemimpin. Cet. kedua.
Malang: Penerbit Gandum Mas,
1997.
Damazo, Frank. Kunci-Kunci efektif Bagi Kepemimpinan Yang Sukses. Diterjemahkan oleh Maya Suganda, diedit
oleh Hosea S. Litaniwan. Cetakan kedua. Jakarta : Yayasan Pelayanan Tuaian Indonesia,
1996.
Darmaputera, Eka. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab. Yogyakarta: Kairos Books, 2005.
__________________. “Kepemimpinan
Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT
Jakarta, 2001.
Eckardt, A. Roy. Menggali Ulang Yesus Sejarah : Kristologi
Masa Kini. Diterjemahkan oleh Ioanes
Rakhmat. Jakarta : BPK Gunung Mulia,
1996.
Eims, Leroy. 12 Ciri Kepemimpinan Yang Efektif. Diterjemahkan oleh C.Th. Enni Sasanti. Diredaksi oleh
Pauline Tiendas. Cet. Ke-7. Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2003.
Ferguson, Sinclair B. Khotbah Di Bukit Cermin Kehidupan Sorgawi Di
Tengah Dunia Berdosa. Diterjemahkan
oleh Shirley Liz M.T.M. Diedit
oleh Hendry Ongkowidjojo. Surabaya: Momentum, 2009.
Finzel, Hans. Sepuluh Kesalahan yang Dibuat Para Pemimpin. Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Diedit oleh Lyndon
Saputra. Batam : Interaksara, 2002.
Gangel, Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen. Diterjemahkan oleh Yayasan Penerbit Gandum Mas. Cetakan
kedua. Malang : Yayasan Penerbit
Gandum Mas, 2001.
Gasperz, Vincent. GE Way And Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (Mengungkap 25
Rahasia Kepemimpinan Jack Welch,
Mantan CEO General Electric yang Menjadikan GE Perusahaan
Nomor Satu Dunia yang Paling Kompetitif). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Geisler, Norman & Peter
Bocchino, Unshakable Foundations. Minneapolis : Bethany House, 2001.
Hall, Brian P. Panggilan Akan Pelayanan, Citra Pemimpin Jemaat. Diterjemahkan oleh J. Drost.
Terbitan bersama. Yogyakarta : Kanisius
dan BPK gunung Mulia Jakarta, 1992.
Hayford, Jack W. “Karakter Seorang Pemimpin” Leaders On Leadership,
Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan. Diedit
oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.
Hybels, Bill. Courageous Leadership. Grand Rapids : Zondervan, 2002.
Jones, Laurie Beth. Yesus : Chief Executive Officer. Diterjemahkan
oleh Bern. Hidayat. Jakarta: Mitra Utama,
1997.
Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Dengan Kidung Jemaat. Jakarta: LAI, 2005.
Lowney, Chris. Heroic Leadership. Diterjemahkan oleh Alfons Taryadi. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Lung, Wilfred Su Weng. Seni Kepemimpinan Gereja I. Diterjemahkan
oleh Paulus Daun. Manado: Yayasan
Daun Family, 2003.
Manz, Charles C. The Leadership Wisdom of Jesus, diterjemahkan
oleh Rene Johanes. Diedit oleh
Methodeus Eko Yulianto. ed kedua. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2004.
_______________. Karen P. Manz,
Robert D. Marx, dan Christopher P. Neck.
The Wisdom Of Solomon at Work. Diterjemahkan
oleh Paulus Herlambang. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Maxwell, John C. The
Choice Is Yours : Pilihan Ada Di Tangan
Anda. Diterjemahkan oleh Elin
Rosalin. Disunting oleh Hidayat Saleh dan Sofian
Gunawan. Bandung : Penerbit Pioneer Jaya, 2009.
_______________. The 21
Irrefutable Laws Of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan
Sejati). Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam
: Interaksara, 2001.
_______________. The 21 Indispensable Qualities Of A
Leader (21 Kualitas Kepemimpinan Sejati). Diterjemahkan oleh Arvin
Saputra. Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam
: Interaksara, 2001.
_______________. Kekuatan Kepemimpinan. Diterjemahkan
oleh Arvin Saputra. Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam : Interaksara,
2002.
_______________. Mengembangkan Sikap Pemenang, Jalur Menuju Kesuksesan. Diterjemahkan oleh
Anton Adiwiyoto. Diedit oleh Lyndon
Saputra. Jakarta : Binarupa Aksara, 1996.
Munroe, Miles. The Spirit Of Leadership, Diterjemahkan oleh Budijanto. Disunting oleh Paula Allo. Cetakan kedua.
Jakarta: Immanuel Publishing House, 2008
Nelson, Alan E. Spiritual Intelligence Meraih Kecerdasan
Spiritual dengan Metode Yesus.
Diterjemahkan oleh Tanto Handoko. Yogyakarta: Andi, 2011.
Nolan, Albert. Jesus Today. Diterjemahkan oleh Eko Riyadi. Diedit oleh Satriyo. Yogyakarta: Kanisius,
2009.
Nurhayati, Tria Kurnia. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan Ejaan yang Disempurnakan. Disunting
oleh Tim Redaksi Eska Media. Cetakan
Kesepuluh. Jakarta: Eska Media, 2012.
Nouwen, Hendri J.M. Cakrawala Hidup Baru. Yogyakarta:
Kanisius, 1986.
___________________. Dalam Nama Yesus, Permenungan tentang Kepemimpinan Kristiani.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Oentoro, Jimmy. “Pemimpin Rohani
Abad XXI” Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Cetakan
Pertama. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Oktavianus, P. Manajemen dan kepemimpinan Menurut Wahyu Allah. Cetakan Keempat. Malang: Yayasan
pekabaran Injil Indonesia dan Gandum
Mas, 1991.
Parkinson, C. Northcote dan M.K.
Rustomji. Realitas dalam Manajemen. Diterjemahkan oleh
Agus Maulana. Jakarta: Binarupa Aksara,
1990.
Pekerti, Anugerah dan Jansen H.
Sinamo, “Kompetensi Etis dan Spiritual,
Keniscayaan Pemimpin Abad Ke-21” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT
Jakarta, 2001.
Powell, Mark Allan. Jesus As A Figure in History : How Modern Historians
View the Man from Galilea. Louisville : Westminster John Knox,1998.
Prijosaksono, Aribowo., dan Roy
Sembel. If You Want to be Rich and Happy, Maximize Your Strength. Cetakan
kedua. Jakarta: Elex Media komputindo,
2003.
Pue, Carson. Mentoring Leaders. Diterjemahkan oleh Agustinus Arvin Saputra. Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010.
Rakhmat, Ioanes. Memandang Wajah Yesus. Jakarta Utara:
Pustaka Surya Daun, 2012.
Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis. Cetakan ketiga. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Robbins, Stephen P. The Truth about Managing People. Diterjemahkan
oleh Dian Rahardyanto Basuki. Diedit
oleh Audina Furi Nirukti dan Daniel P.
Purba. Jakarta : Penerbit Esensi, 2009.
Rumahlatu, Jerry. Psikologi Kepemimpinan. T.k.: CV Cipta
Varia Sarana,2011
Rush, Myron. Pemimpin Baru. diterjemahkan oleh A.J. Syauta. Cetakan
ketiga. Jakarta : YPI Immnuel,
1993.
Salindeho, Benny. “Mengelola
Perubahan Di Era Reformasi” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit
Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.
Sanders, J. Oswald. Kepemimpinan Rohani. Diterjemahkan oleh
Chris J. Samuel dan Ganda Wargasetia.
Cetakan kesepuluh. Bandung : Yayasan
Kalam Hidup, 1999.
Saragih, Jahenos. Manajemen Kepemimpinan Gereja. Jakarta:
Suara GKYE Peduli Bangsa, 2009.
Sastrodiningrat, Soebagio. Kapita Selekta Managemen dan Kepemimpinan. Jakarta:
Ind-Hilco, 2002.
Sia, Adam. The Chinese Art Of Leadership (Kepemimpinan). Diberi ilustrasi oleh Yaohai. ed. Kedua. Jakarta: Elex Media
Komputindo, 1999.
Siagian, Sondang P. Teori dan Praktik Kepemimpinan. Jakarta:
Rineka Cipta, 2003.
Sinamo, Jansen H., “Kreativitas dan
Inovasi, Keterampilan Untuk Memecahkan
Masalah kehidupan” Kepemimpinan Kristiani.
Jakarta: Unit Publikasi dan
Informasi STT Jakarta, 2001.
Siregar, Soen, “Motivasi
Pelayanan” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta:
Unit Publikasi dan Informasi
STT Jakarta, 2001.
Susabda, Yakub B. Kaum Injili, Membangkitkan Kembali Iman
Kristen Ortodoks. Malang:
Penerbit Gandum Mas, 1991.
Soebagjo, Meno. “Esensi Dasar Pelayanan
Gereja.” Dalam Pelayanan Gereja. Yogyakarta: Jurnal Teologi
Gema Duta Wacana, 2001.
Stanley, Andy. Visioneering. Oregon:
Multnomah Publishers Siater, 1999.
Stassen, Glen H., dan David P.
Gushee. Etika Kerajaan Allah, Mengikut Yesus Dalam
Konteks Masa Kini. Diterjemahkan oleh Peter Suwandi Wong. Diedit
oleh Irwan Tjulianto. Surabaya: Penerbit Momentum,
2008.
Stott, John. Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani. Diterjemahkan oleh G.M.A. Nainggolan.
Cetakan kedua. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 1994.
_______. Khotbah Di Bukit jilid 1, diterjemahkan oleh G.M.A. Nainggolan. Jakarta: Yayasan komunikasi Bina
Kasih/OMF, 1988.
Suhartanto, Eko., Anton W.
Sumarlin, Ronni Sofrani, Joy Kartika dan Asrini
Suhita. Breakthrough Thingking, Bagaimana
Cara Para Inovator Berpikir. Jakarta:
Elex Media Komputindo, 2009.
Susanto, A.B. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin. Jakarta : Grasindo, 1997.
Terry, Robert W. Kepemimpinan Autentik, Keberanian Untuk
Bertindak. Diterjemahkan oleh Hari
Suminto. Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam
: Interaksara, 2002.
Tomatala, Yakob. Penatalayanan Gereja Yang Efektif di Dunia Modern. Malang:
Gandum Mas, 1993.
______________. Kepemimpinan Yang Dinamis. Jakarta: YT Leadership
Foundation dan Malang: Gandum Mas, 1997.
______________. Pemimpin Yang Handal . Jakarta: Penerbit YT Leadership
Foundation, 2003.
Tong, Caleb, “Pemimpin Rohani Yang
Kompeten.” Dalam Kepemimpinan dan Pembinaan
Warga Gereja. Cetakan Pertama. Jakarta
: Pustaka Sinar Harapan, 1998.
Towns, Elmer L., “Peran Pembaharuan
Dalam kepemimpinan” Leaders On
Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan,
diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.
Tridarmanto, Yusak. “Yesus dan
Pelayanan.” Dalam Pelayanan Gereja. Yogyakarta: Jurnal Teologi Gema Duta
Wacana, 2001.
Wagner, C. Peter, “Pentingnya Doa
Dalam Memimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin
Tentang Kepemimpinan, ed. George
Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.
Waitley, Denis. Dahulukan Yang Perlu Didahulukan. Diterjemahkan
oleh Samuel Siahaan. Diedit oleh
Anton Adiwiyoto. Jakarta: Binarupa Aksara, 1995.
Warren, Rick. The Purpose Driven Church, Pertumbuhan Gereja Masa Kini. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003.
TENTANG
PENULIS

Bambang
Nugroho Hadi lahir di Kotabumi, 7 November 1974. Ia berprofesi
sebagai seorang Pendeta. Sesudah menjalani masa vikariat selama dua tahun, ia ditahbiskan sebagai Pendeta pada 24
Januari 2001 dan sekarang melayani di Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS)
Jemaat Mawar Saron, Seputih Raman, Lampung Tengah. Ia seorang pecinta alam
pegunungan. Studi teologi ditempuh di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, STT Jaffray Jakarta dan STT
Syalom Lampung. Di sela-sela kesibukannya sebagai Pendeta Jemaat, ia aktif di lingkungan Sinode GKSBS sebagai
fasilitator pembinaan-pembinaan di Jemaat dan Klasis, pemateri dalam berbagai
seminar di Sumatera Bagian Selatan, Ketua Departemen Peningkatan Kapasitas
Sinode GKSBS, anggota dewan Pembina Yayasan Pendidikan Kristen Lampung, Puket
III di STT Syalom Lampung dan kontributor tetap materi kotbah terbitan Sinode
GKSBS. Ia tinggal di pasthori GKSBS Mawar Saron bersama Lilik Nurharyani,
isterinya dan dua bidadari kecil bernama Gabriella Gita Diani Putri dan
Christofera Gracia Diani Putri. Pdt. Dr.
Bambang Nugroho Hadi,M.Th sangat menikmati hidup dan profesinya sebagai Pendeta
di pedesaan. Ini adalah bukunya yang kedua.
[1]
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT
Jakarta, 2001), 1.
[2]
Myles Munroe, The Spirit Of Leadership,
pen. Budijanto, peny. Paula Allo (Jakarta: Immanuel Publishing
House, cet kedua 2008), 17.
[3]
Ibid, 18.
[4]
Richard Boyatziz dan Annie McKee. Resonant Leadership, pen.Hikmat Gumelar,
ed. F. Budi Hardiman (T.k.: Esensi divisi Penerbit Erlangga, 2010),1-4.
[5]
Caleb Tong, “Pemimpin Rohani Yang Kompeten”
Kepemimpinan dan Pembinaan Warga
Gereja (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998), 168-169. Pendapat Caleb Tong
ini didasarkan sabda Tuhan Yesus, “Barang siapa setia dalam perkara-perkara
kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.”
[6]
Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam
Perspektif Alkitab (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), 22.
[7]
Rm 6:13.
[8]
Yakub B. Susabda, Kaum Injili,
Membangkitkan Kembali Iman Kristen Ortodoks (Malang: Penerbit Gandum Mas,
1991), 79-80.
[9]
P. Octavianus, Manajemen dan kepemimpinan
Menurut Wahyu Allah, ed keempat (Malang:
Yayasan Pekabaran Injil Indonesia dan Gandum Mas, 1991), 16.
[10]
Flp 4:9.
[11]
Bdk Bambang Mulyatno dan lainnya, “Kepemimpinan Gereja Dalam Mengelola Keesaan
Dan Konflik Studi Kasus GKJ” Kepemimpinan
dan Pembinaan Warga Gereja, ed. Pertama (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1998), 152-159. Mereka menguraikan tiga prinsip kepemimpinan gereja yaitu :
kepemimpinan pelayanan, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan reformis
(yang membebaskan).
[12]
Robby I. Chandra, Kamu Juga Bisa Kenal !
Cara Memimpin Di Wilayah Diri, peny.
Lisa Suroso dan Emmanuella (T.k.: Young Leader Institute, 2009), 22-23.
[13]
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani, 3.
[14]
Kej. 1: 26.
[15]
Kej. 2:15.
[16]
Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani, 5.
[17]
Ibid, 6.
[18]
Andrias Harefa, “Visi Dan Misi Kepemimpinan Kristiani” Kepemimpinan Kristiani (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT
Jakarta, 2001), 32.
[19]
Hendry J.M. Nouwen, Cakrawala Hidup Baru (Yogyakarta:
Penerbit Kanisius, 1986), 29.
[20]
Yoh. 13:15-17.
[23]
Robby I. Chandra, Kamu Juga Bisa !, peny. Dyhni Adrawersthi dan lainnya (T.k.: Young Leader Institute, 2009), 11.
Robby I Chandra memandang kepemimpinan sebagai metafor perjalanan dan metafor
api yang merupakan pengembangan Robby I Chandra atas pendapat Rauch C.F. dan
Behling O. Bdk Rauch C.F. and Behling O, “Functionalism : Basis for An
Alternate Approach to The Study of Leadership” Leader and Managers : International Perspectives on Managerial Behavior
and Leadership, (Elmsfords : NY, Pergamon Press, 1984), 45-62.
[24]
Eka Darmaputera, Kepemimpinan Dalam
perspektif Alkitab, 24-25. Menurut Eka Darmaputera, Kej. 1:26 menunjukkan
bahwa setiap manusia mendapatkan 3 at : hakikat, mandat, berkat untuk memimpin.
Meskipun semua orang sama-sama pemimpin, bukan berarti bahwa semua manusia
kepemimpinannya sama dan setara. “Sama-sama” berbeda dengan “sama saja”.
Perbedaan mereka terletak dalam kualitas kepemimpinannya.
[51]
Yang dimaksud ibadah-ibadah khusus antara lain: ibadah pada malam akhir tahun,
tahun baru, peresmian calon jemaat,
peresmian jemaat, pendewasaan jemaat, penerimaan jemaat yang menggabungkan
diri, penahbisan Pendeta, peneguhan Pendeta, Pengutusan Pendeta, emiritasi
Pendeta, ibadah dalam rangka persidangan gerejawi, ibadah oikumene, ibadah
pemberkatan nikah, pemakaman dan ibadah peringatan hari raya nasional.
[52]
Yang dimaksud dialog antar agama adalah dialog antar umat yang berbeda agama
dan dapat diaksanakan dengan dialog kehidupan, dialog pengalaman religius,
dialog aksi dan dialog teologis. Lih. Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai (Yogyakarta:
Smart Writing, 2013), 79-82.
[72]
Charles C. Manz, The Leadership Wisdom of
Jesus, pen. Rene Johanes, ed. Methodeus Eko Yulianto, ed kedua (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2004), 106. Robert K. Greenleaf membuat dalil bahwa
pemimpin yang benar adalah mereka yang memimpin dengan melayani orang lain.
Uraian Robert K Greenleaf dapat dibaca dalam buku-bukunya antara lain : On Becoming a Servant-Leader (San
Fransisco : Joosef Bass, 1997), Seeker
and a Servant (San Fransisco :
Joosef Bass, 1997), dan The Leader
as Servant (Newton Center, Mas : The
Robert K. Greenleaf Center, 1970).
[140]
Pada masa kini, gereja harus dengan sengaja mempersiapkan kader-kader pemimpin
masa depan karena pemimpin yang ada akan menjadi tua, pensiun, meninggal atau
pindah karena mutasi pekerjaan. Pelatihan dan pemberdayaan adalah jawaban demi
penyerahterimaan tongkat estafet kepada pemimpin berikutnya. Bdk. Frank Damazo,
Pemimpin Barisan Depan, pen. Maya
Suganda dan Widyawati Dharmasurya, ed. Hosea S. Litaniwan (Jakarta: Harvest
Publication House, 1995), 303.
[147]
Robert W. Terry, Kepemimpinan Autentik,
Keberanian Untuk Bertindak, pen. Hari Suminto, ed. Lyndon Saputra (Batam :
Interaksara, 2002), 341.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar