Selasa, 06 Desember 2016

9 Prinsip Memimpin Seperti Yesus

9 PRINSIP MEMIMPIN SEPERTI YESUS
Oleh : Dr. Bambang Nugroho Hadi, MTh


PASAL 1
KRISIS KEPEMIMPINAN

            Kepemimpinan selalu berhubungan dengan kemampuan memengaruhi. Dalam kepemimpinan berlaku prinsip bahwa orang hanya dapat memimpin orang lain sejauh ia dapat memengaruhi mereka.
            Kepemimpinan yang baik merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan, kestabilan dan kemajuan kelompok apapun. Ini berlaku bagi kelompok skala raksasa, seperti sebuah bangsa atau negara, sampai kelompok skala kecil misalnya klub sepak bola.[1] Kita memerlukan pemimpin sejati dalam bidang pemerintahan, bisnis, sekolah, lembaga masyarakat, komunitas kaum muda, organisasi keagamaan, rumah tangga, dan semua arena kehidupan – termasuk disiplin hukum, kedokteran, ilmu pengetahuan, olahraga, dan media.[2] Saat ini berbagai bidang kehidupan mengalami krisis kepemimpinan.  Kebutuhan akan kepemimpinan yang efektif begitu mendesak.  Pertanyaan-pertanyaan tentang integritas moral, kehormatan, nilai-nilai, teladan, dan standar yang layak dihormati adalah topik-topik diskusi pada masa kini. Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Leadership percaya bahwa krisis kepemimpinan terjadi karena kepemimpinan lebih dimaknai sebagai tindakan dan bukan panggilan.[3]  Oleh sebab itu kita sering mendengar para pemimpin yang terlibat dalam petualangan-petualangan seks, tokoh bisnis jatuh dalam korupsi, politisi dan pemimpin daerah dan nasional diadili karena kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal di atas disebabkan standar ganda  yang dijalani pemimpin. Di kantor dan pelayanan bertindak dengan cara tertentu, tetapi saat mereka di luar tugas menjalani kehidupan yang kontradiksi.
            Dunia kita adalah jagad baru yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang baru.  Hampir semua yang kita anggap benar selama ratusan bahkan mungkin ribuan tahun, kini mengalami transformasi yang amat besar. Iklim planet yang berubah berdampak pada flora, fauna, hasil pertanian dan kehidupan laut. Terjadi kekuatan dahsyat di planet bumi yang nampak dalam bencana alam, baik topan, banjir, tsunami ataupun kemarau. Berbagai penyakit baru bermunculan. Sistem sosial banyak berubah, berbagai konflik yang dulu dalam lingkup lokal kini menjadi masalah global. Dalam situasi yang berubah, pemimpin hebat memandang perubahan-perubahan  dan ketidakpastian yang ada di dunia dengan kacamata harapan, memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk mengubah mimpi menjadi kenyataan.[4] Kepemimpinan yang menginspirasi  memang selalu diharapkan.

Krisis Kepemimpinan Dalam Gereja
            Tuhan Yesus Kristus adalah Pemilik dan sekaligus Kepala Gereja. Tuhan Yesus Kristus juga menjadi teladan bagi seluruh pengikutNya. Termasuk dalam persoalan kepemimpinan. Apakah gereja steril terhadap krisis kepemimpinan ? Kita melihat bahwa ternyata gereja juga mengalaminya. Hal ini nampak bahwa di berbagai tempat terjadi konflik dalam gereja, kesulitan mengoptimalkan anggota jemaat untuk melayani pekerjaan Tuhan dan regenerasi yang tidak berjalan baik sehingga tidak banyaknya orang yang mau menjadi pemimpin dalam gereja. Kita menyaksikan banyak pos-pos pelayanan yang diisi hanya orang itu-itu saja, pelayanan dipahami sebagai kegiatan sukarela sebagian umat yang terpanggil dan bukan panggilan dari semua umat percaya. Pada pihak lain, banyak orang merasa tidak layak ataupun tidak pantas melayani dengan dalih tidak punya karunia yang bisa dibanggakan. Padahal dalam 1 Korintus 12:4-12 jelas-jelas setiap orang kristen diperlengkapi dengan karunia masing-masing. Menjadi pemimpin bukanlah menjadi orang yang sempurna yang mempunyai semua talenta dan dan bisa melakukan apa saja. Seorang pemimpin kristen melayani dengan talenta yang Tuhan berikan kepadanya. Kepemimpinan juga tidak bergantung pada penampilan fisik seseorang. Dalam 1 Samuel 16:7 mengajarkan kepada kita bahwa bukan apa yang dilihat dari luar yang menentukan dia pantas menjadi pemimpin atau bukan, tetapi Tuhan melihat hatinya. Jadi, selain karunia yang sudah pasti ada dalam setiap diri manusia, hati yang bersedia  melayani menjadikannya layak untuk memimpin gerejaNya.
            Pemimpin gereja memang memiliki tugas dan persyaratan yang sama dengan manajemen pada umumnya yaitu harus mampu menyalurkan aspirasi dan mengatur, mempersatukan serta menggerakkan. Mereka juga harus memiliki kepercayaan diri, punya kecakapan dan diterima oleh anggota jemaatnya. Syarat-syarat yang kita baca dalam 1 Timotius 3 : 1-13 sebenarnya tidak bertentangan dengan apa yang kita  lihat dalam manajemen umum. Hanya memang, dalam 1 Timotius 3 : 1-13 ada ciri khasnya yaitu ciri kegerejaan. Syarat-syarat manajerial ini sudah tentu perlu diperhatikan juga dalam pemilihan pemimpin gereja. Begitu pentingnya kepemimpinan dalam gereja agar gereja dapat melaksanakan tugas pangilannya, sehingga Tuhan Yesus Kristus mempergunakan sebagian besar waktu-Nya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin gereja.

Krisis Kepemimpinan dan Penundukan Diri
            Caleb Tong saat menguraikan tentang pemimpin rohani yang kompeten, ia menjelaskan bahwa seorang pemimpin berasal dari pengikut yang baik.   Seorang jenderal dapat muncul dari dasar prajurit, perdana menteri dapat pula hanya seorang pemimpin daerah pada mulanya, harapan itu selalu ada pada orang yang mau setia dan tekun dalam hal kecil dan rendah.[5] Memang, seorang pemimpin yang baik pasti berasal dari seorang pengikut yang baik.[6] Bila menjadi Sersan saja tidak becus, maka ia tidak pantas menjadi Jenderal.  Pemimpin gereja yang baik dengan demikian berasal dari anggota jemaat yang baik pula, sebab dengan menundukkan diri itulah yang bersangkutan telah membuktikan kesungguhan dan ketangguhannya dalam menundukkan diri sendiri.  Bila seseorang bisa menundukkan diri sendiri maka ia bisa menundukkan diri kepada Kristus dan kepada Pemimpin gereja-Nya.
            Tetapi, bisakah manusia menundukkan diri kepada Kristus? Manusia adalah manusia berdosa. Surat Roma 3:23 menjelaskan bahwa semua orang telah kehilangan kemuliaan Allah dan berkecenderungan untuk berbuat dosa. Oleh sebab itu manusia tidak akan memakai hidupnya untuk kebenaran. Karena anugerahNya saja maka seseorang bisa menundukkan diri kepada Kristus. Semua terjadi karena anugerah. Maka langkah pertama agar dapat dipergunakan sebagai alatNya, seseorang harus menyerahkan dirinya kepada Kristus. Ia harus mengalami kelahiran baru. Si “aku” yang lama harus lenyap, barulah ia dapat memakai hidupnya untuk kebenaran.  Rasul Paulus menegaskan bahwa, “dan janganlah kamu menyerahkan anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu kepada Allah sebagai orang-orang, yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota-anggota tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran.”[7]  Bukan hanya setiap orang kristen dipanggil menjadi ciptaan baru, tetapi gereja juga. Menjadi ciptaan baru merupakan perjuangan terus menerus sepanjang hidup. Ciptaan baru berarti yang lama yang usang sudah ditinggalkan, yang baru yang lebih efektif dikerjakan. Meskipun setiap orang kristen harus menjadi ciptaan baru dengan spiritualitas baru, tetapi manifestasi spiritualitas bergantung pada tingkat kematangan pribadi setiap individu. [8] Octavianus mengatakan bahwa “tugas seorang pemimpin rohani tidak hanya mewariskan pengetahuannya, melainkan mewariskan seluruh kehidupannya, kepribadiannya dan teladannya.[9] Apa yang dikatakannya itu senada dengan kesaksian rasul Paulus yang mengatakan, “Dan apa yang telah kamu pelajari dan yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu.”[10]
            Pemimpin harus memiliki spiritualitas yang baik. Kepemimpinan yang diberlakukan di gereja adalah kepemimpinan yang meneladan pada, dan menerapkan kehendak Tuhan Yesus Kristus. Kepemimpinan gereja haruslah merupakan kepemimpinan yang melayani dengan cara memberi teladan, rela berkorban, menginspirasi dan memberdayakan.[11]
            Semua pemimpin kristen  harus menerapkan kepemimpinan kristen.  Tetapi banyak orang berputus asa menerapkan kepemimpinan ini dan memilih pola pikir kepemimpinan populer. Hal ini bukan hanya terjadi di dunia kerja tetapi juga dalam hidup organisasi atau komunitas kristen seperti persekutuan, sekolah, rumah sakit dan gereja. Misalnya dalam mengembangkan orang-orang yang menjadi pengikutnya, pemimpin Kristen cenderung mempraktikkan cara kepemimpinan populer dalam dunia kerja, yaitu kepemimpinan yang umumnya menghasilkan pencapaian sasaran walaupun mutu prosesnya tidak memadai. Padahal dalam kepemimpinan kristen, baik proses maupun hasil harus berjalan selaras. [12]

Krisis Kepemimpinan Sebagai Penolakan Prinsip Pokok Bahwa Hanya Ada Satu Pemimpin
            Dunia kepemimpinan Kristen menganut prinsip pokok : hanya ada satu Pemimpin. Siapa Satu Pemimpin itu amat jelas. Pemimpin satu-satunya tersebut adalah Tuhan sendiri. PEMIMPIN dalam huruf besar. Tuhan adalah Sang Pemimpin, bukan sekedar salah satu pemimpin.[13]  Alkitab menyebutkan, bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia untuk berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.[14]  Manusia  juga diberi hak untuk mengusahakan dan memelihara taman di mana mereka hidup.[15] Tetapi dalam hubungan antar manusia, Allah tidak pernah memberi wewenang kepada manusia untuk berkuasa atas manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan antar manusia yang terjadi adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang sepadan.  Tidak saling mendominasi.[16]
            Kepemimpinan dalam suatu kehidupan bersama adalah tak terelakkan. Namun kepemimpinan itu harus mengacu kepada mandat dan penugasan Allah, Sang Pemimpin satu-satunya, yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling tolong-menolong dalam kesepadanan, kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah gambar Allah dan bukan Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah.[17]
            Yesus Kristus telah dengan sempurna mempresentasikan kepemimpinan Allah itu. Dialah model Pemimpin kristen yang sejati.[18]   Tetapi, bukankah terbentang jarak yang jauh antara manusia biasa dengan Yesus Kristus ? Umumnya, orang Kristen mengatakan bahwa apa yang dilakukan Yesus Kristus tidak mungkin dilakukan pengikutNya. mengenai hal ini Henry J.M. Nouwen mengatakan, “segala milik Yesus diberikan kepada kita  untuk kita terima. Segala yang dikerjakan Yesus dapat kita lakukan juga. Yesus tidak menganggap kita sebagai warga kelas dua. Ia tidak menyembunyikan sesuatupun kepada kita.”[19]  Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.”[20]  Dengan menggali dan belajar dari kepemimpinan Yesus Kristus, kita akan menemukan prinsip-prinsip kepemimpinan Kristen yang berguna bagi pengembangan kepemimpinan gereja pada masa kini.










PASAL 2
DASAR TEOLOGIS KEPEMIMPINAN KRISTEN

            Dari sudut pandang iman Kristen, kepemimpinan memiliki dasar teologis yang kokoh. Allah menganugerahkan karunia-karunia rohani termasuk karunia kepemimpinan kepada gerejaNya.[21] Umat Kristen berusaha hidup suci, benar, punya komitmen terhadap Kristus, atau patuh secara mutlak kepada Tuhan. Untuk hal-hal di atas diperlukan pemimpin-pemimpin yang akan melakukan apa saja yang diperlukan untuk membantu umat manusia yang berkecenderungan berbuat dosa, mementingkan diri sendiri dan sesat ini sehingga melalui kepemimpinan Kristen mereka dapat memiliki sifat-sifat seperti Kristus.[22]
            Kepemimpinan Kristen sebagaimana dipaparkan oleh Robby E Chandra dapat dijelaskan melalui dua metafor. Pertama, kepemimpinan digambarkan sebagai sebagai sebuah perjalanan dan kepemimpinan digambarkan sebagai suatu api.[23]  Dengan mengibaratkan kepemimpinan sebagai perjalanan, proses kepemimpinan dimengerti sebagai dinamika atau gerak. Artinya, dalam perjalanan kepemimpinannya, pemimpin harus tahu tujuan perjalanan, mengerti seberapa jauh mereka sudah menempuh perjalanan mereka, kerelaan meninggalkan masa lalu yang telah ditempuh dan menghadapkan pandangannya jauh ke depan, yaitu kepada tujuan ke mana  mereka pergi.  Sementara metafor api dalam kepemimpinan Kristen, merupakan gambaran bahwa dalam kepemimpinan itu, pemimpin dapat memberikan terang atau kejelasan arah. Dengan daya itu pemimpin dapat menghangatkan hati anak buah atau pengikutnya. Ia juga dapat membuat mereka semakin matang dalam kualitas  keterampilan dan karakter mereka. Pemimpin dapat membakar semangat yang dipimpinnya sehingga dapat mencapai hal-hal yang istimewa. Api atau semangat itu didapat sang pemimpin dari Tuhan yang dilayaninya.
            Dasar-dasar teologis kepemimpinan Kristen menurut Penulis sebagai berikut: Pertama,  kepemimpinan Kristen sebagai hakikat manusia sebagai gambar Allah. Kedua, kepemimpinan Kristen  sebagai sarana memuliakan Allah. Ketiga, kepemimpinan Kristen sebagai sarana bersyukur kepada Allah dan keempat, kepemimpinan Kristen sebagai sarana pertanggungjawaban atas anugerah Allah. Pemahaman yang benar atas dasar-dasar teologis ini akan menjadi sumber motivasi internal para pemimpin gereja.

Kepemimpinan Sebagai  Hakikat Manusia Sebagai Gambar Allah
            Sebagai makhluk ciptaan Allah yang diciptakan secara khusus sebagai gambar-Nya, manusia menerima hakikatnya sebagai pemimpin. Dalam Kejadian 1:26 dinarasikan, berfirmanlah Allah : “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”  Manusia sejak mulanya diciptakan Allah dengan membawa hakikat kepemimpinan di dalam dirinya. Eka Darmaputera melihat ayat di atas sebagai petunjuk bahwa semua manusia tanpa terkecuali sama-sama adalah pemimpin.[24]  Semua orang ditentukan dan dipanggil Allah untuk memimpin.
            Myles Munroe dalam bukunya The Spirit Of Leadership mengatakan bahwa manusia diciptakan Allah masing-masing untuk mengatur, memerintah, mengendalikan, menguasai, mengelola, dan memimpin lingkungan mereka. Tidak peduli siapapun dia, manusia memiliki sifat dan kapasitas untuk memimpin. Seperti burung memiliki naluri untuk terbang, dan ikan untuk berenang, demikianlah manusia memiliki kapasitas untuk memimpin dan memegang kendali kehidupan.[25]
            Alkitab menyebutkan, bahwa Allah memberi kuasa kepada manusia untuk berkuasa atas segala makhluk tetapi dalam hubungan antar manusia, Allah tidak pernah memberi wewenang untuk berkuasa atas manusia lain. Allah menghendaki dalam hubungan antar manusia yang terjadi adalah saling menolong. Saling menjadi penolong yang sepadan.  Tidak saling mendominasi.[26]
            Kepemimpinan harus mengacu kepada mandat dan penugasan Allah;  Sang Pemimpin satu-satunya, yaitu untuk mengembangkan kemungkinan saling tolong-menolong dalam kesepadanan, kesetarafan dan kesetaraan. Manusia adalah gambar Allah dan bukan Allah. Oleh karenanya, kepemimpinan manusia haruslah mencerminkan kepemimpinan Allah.[27]
            Yesus Kristus adalah model Pemimpin Kristen yang sejati.[28]   Dalam setiap kitab Injil, baik secara keseluruhan maupun secara terpisah dapat dilihat keberadaan Tuhan Yesus dari berbagai sisi tetapi selalu berpusatkan pada keberadaan-Nya, perkataan maupun perbuatan-Nya. Yesus Kristus adalah tema utamanya.[29] Dia menjadi model bagi pengikut-Nya termasuk dalam bidang kepemimpinan. Tuhan Yesus Kristus sendiri berkata, “Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu : sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi daripada tuannya, ataupun seorang utusan daripada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.”[30]  Dengan ini maka dalam kepemimpinan Kristen  berlaku kepemimpinan seperti yang diteladankan oleh Yesus yaitu kepemimpinan yang melayani.
            Manusia sebagai gambar Allah adalah para pemimpin. Dalam relasi antar manusia ia dipanggil untuk melaksanakan kepemimpinan yang  mencerminkan kepemimpinan Allah, dengan kata lain mencerminkan kepemimpinan Yesus Kristus. Kepemimpinan Kristen tidak mengenal cara mengeksploitasi manusia lain tapi melayani mereka dengan kasih.

Kepemimpinan Kristen Sebagai Sarana Untuk Memuliakan Allah
            Kepemimpinan Kristen harus dimulai dari Allah. Segala sesuatu diciptakan oleh Allah dan untuk kemuliaan Allah, termasuk kepemimpinan. Surat rasul Paulus kepada jemaat di Kolose menyebutkan, “Karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan......... segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.”[31] Allah tidak hanya menciptakan planet, matahari, lautan, tanah, udara, air, bebatuan, marga satwa, tumbuh-tumbuhan, hukum-hukum alam, manusia dan seluruh semesta yang dapat dilihat oleh mata jasmani manusia. Tetapi termasuk di dalamnya segala yang tak terlihat. Maka segala potensi yang ada di dalam diri manusia termasuk potensi kepemimpinan adalah ciptaan-Nya.
            Senada dengan hal di atas, Rick Warren dalam bukunya The Purpose Driven Life  mengatakan dengan tegas bahwa segala sesuatu harus diawali dengan Allah.[32] Demikian pula dengan kepemimpinan. Kepemimpinan Kristen ada pertama-tama untuk Allah yaitu untuk mendatangkan kemuliaan bagi-Nya. Tuhan Yesus memahami dengan sempurna bahwa itulah tujuan misi-Nya di bumi, sehingga Ia berkata kepada Bapa, “Aku telah mempermuliakan Engkau di bumi dengan jalan menyelesaikan pekerjaan yang Engkau berikan kepada-Ku untuk melakukannya.”[33]  Bagi seorang Kristen, kepemimpinan menjadi sarana untuk mempermuliakan Allah.

Kepemimpinan Kristen Sebagai  Sarana Untuk Mengucap Syukur Kepada Allah
            Kepemimpinan juga dapat dijadikan sarana bersyukur kepada Allah. Seorang Kristen yang sungguh mengenal dan mengasihi Tuhan Yesus pasti menjadikan hidupnya sebagai tanda syukur kepada Allah. Salah satunya adalah melalui apa yang dilakukan, termasuk kepemimpinan. Rasul Paulus berkata, “Apapun juga  yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”[34]  Menjalankan kepemimpinan dengan mengingat Tuhan, dilakukan sebagai ungkapan syukur   menjadikan kepemimpinan Kristen berfokus pertama-tama kepada Tuhan baru kemudian kepada manusia. Pemimpin Kristen menjalankan kepemimpinannya harus dengan semangat, sebaik dan segiat mungkin, seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia saja.

Kepemimpinan Kristen Merupakan Tanggung Jawab Atas Anugerah yang Telah Diterima Dari Allah
            Alkitab menunjukkan bahwa setiap orang yang menerima Yesus Kristus mendapat anugerah kepemimpinan, yakni memperoleh kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.[35] Dengan menerima kuasa, berarti setiap pengikut Tuhan Yesus Kristus memiliki hak, kekuatan, kapasitas, kompetensi, kemampuan, pengaruh atau otoritas untuk memimpin.[36] Setiap murid Yesus Kristus diberi kuasa untuk meraih orang-orang di sekitarnya yang belum mengenal kasih Yesus Kristus. Dengan kuasa yang sudah diberikan Tuhan ini, maka setiap orang Kristen adalah pemimpin. Pemimpin Kristen adalah seorang yang sudah menerima Yesus Kristus dan telah diubahkan untuk kemudian menggerakkan orang lain melalui visi yang Tuhan berikan kepadanya.  Kelebihan pemimpin Kristen dengan demikian tidak bersumber di dalam dirinya, tetapi berada di dalam keintimannya dengan Tuhan. Selebihnya adalah pemberian atau anugerah Tuhan. Seorang pemimpin Kristen bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dan tidak kepada kelebihan pribadi yang ada padanya, maka ia menjadi peka pada suara-Nya, mengetahui visi-Nya, lebih patuh kepada-Nya dan makin bertumbuh terus di dalam Tuhan. Pertumbuhan itu mencakup aspek pengetahuan, emosi dan perilakunya.[37]
            Anugerah kepemimpinan dalam diri manusia tidak boleh dibiarkan tertidur selama-lamanya. Karena Allah memberikan anugerah untuk dipergunakan. Sebuah kapal yang berlabuh itu aman, tetapi bukan untuk itu kapal dibuat.[38] Demikian pula anugerah kepemimpinan harus dipergunakan dan sekaligus dipertanggungjawabkan kepada Allah, bukan untuk dipendam. Yesus Kristus menjelaskan hal penggunaan talenta dan karunia ini dalam perumpamaan tentang uang mina. Terdapat sepuluh hamba yang diberi sepuluh  mina untuk dikembangkan. Hamba yang pertama berhasil mengembangkannya menjadi sepuluh mina, hamba kedua mengembangkannya menjadi lima mina dan hamba yang ketiga menyimpan uang mina itu dalam sapu tangan dan tidak mengembangkannya.   Hamba pertama dan kedua mendapat pujian dan hadiah untuk memimpin masing-masing sepuluh kota dan lima kota. Sementara itu, hamba yang tidak mengembangkan mina itu mendapatkan celaan dan hukuman.[39] Anugerah harus dikembangkan, bukan untuk disimpan atau dipendam. Kepemimpinan Kristen adalah perwujudan tanggungjawab atas anugerah yang Tuhan telah berikan.



















PASAL 3
KEKUATAN VISI DALAM KEPEMIMPINAN KRISTEN

            Visi adalah kemampuan untuk melihat pada inti persoalan, pandangan luas, apa yang tampak pada khayal, penglihatan atau pengamatan.[40] Visi atau vision berasal dari kata Latin videre yang berarti penglihatan,[41]  yakni kemampuan melihat apa yang orang pada umumnya tidak dapat melihat.
            Visi bagaikan sasaran tembak yang akan dibidik. Tanpanya, sebuah organisasi tidak akan bisa memobilisasi segala aset dan sumber daya yang dimilikinya untuk mencapai sesuatu, karena visi menentukan arah dan tujuan organisasi. Visi juga merupakan impian yang hendak dicapai dalam periodesasi tertentu.
            Gereja yang berhasil digerakkan oleh visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat.[42]  Rick Warren mengatakan bahwa visi adalah kemampuan menilai dengan tepat perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini dan menarik manfaat dari perubahan-perubahan tersebut. Visi adalah perasaan peka terhadap setiap kesempatan.[43] Dengan demikian, visi bukan sekedar gambaran terhadap sesuatu yang akan datang berdasarkan mimpi saja, tapi berdasarkan situasi dulu dan kini yang digabungkan dan dinilai dengan tepat sehingga diperoleh gambaran yang jelas terhadap masa depan yag diharapkan. Tetapi visi tak bisa dicapai sendiri.[44] Pemimpin memerlukan kerjasama dengan orang lain dalam satu tim kepemimpinan. Oleh karenanya, pemimpin harus mampu untuk bersikap peka terhadap perubahan yang terjadi, memobilisasi anggota tim dan pengikut serta menyusun skenario dengan menarik manfaat dari perubahan itu untuk masa depan yang lebih baik.
            Visi adalah masa depan yang dirancang dan diharapkan. Pemimpin adalah orang yang memiliki gambaran masa depan seperti apa yang diinginkan dan percaya bahwa ia ada untuk mencapainya. Visi yang kuat akan membakar semangat pemimpin sehingga ia berani menerjang segala tantangan dan melupakan ratusan jam kerja yang melelahkan.[45] Karena Visi, maka Thomas Alva Edison bekerja tanpa kenal kata menyerah untuk membuat lampu pijar yang bertahan lama. Karena visi maka Lumy SS memimpikan keluarga-keluarga menampung para gelandangan dan memelihara serta membesarkan anak-anak mereka dan itu dipraktikkan dalam keluarganya sendiri. Apa yang biasa kita lihat, dengar dan alami mungkin sesuatu yang tidak terlalu istimewa, namun orang-orang yang memiliki visi berani membayangkan hadirnya sesuatu yang lebih baik, lebih bermakna, lebih bermanfaat dan lebih berguna bagi banyak orang. Semua terjadi karena mereka memiliki impian. Visi itulah yang membuat mereka memfokuskan impian mereka dan mewujudkannya. Visi membuat mereka terdorong bekerja keras dan pantang mundur untuk mengejarnya. Mereka membuat dunia menjadi lebih baik.
            Visi bukanlah impian yang tidak mendasar. Bagi orang Kristen, visi merupakan lompatan iman. Saat ia memiliki visi, ia percaya bahwa itu akan terjadi. Keyakinannya itu berasal dari kedekatannya dengan Tuhan. Ia kemudian memainkan peran tertentu agar situasi yang diimpikan terwujud. Situasi memang berubah dan diwarnai dengan berbagai ketidakpastian. Tetapi pemimpin hebat dengan visi yang jelas memandang perubahan-perubahan  dan ketidakpastian yang ada di dunia dengan kacamata harapan, memberikan inspirasi melalui visi yang jelas, optimisme dan percaya diri untuk mengubah mimpi menjadi kenyataan.[46]  
            Visi berbeda dengan misi. Pertama, visi adalah gambaran mental. Kedua, visi adalah sesuatu yang akan ada di masa mendatang. Karena kedua aspek ini, maka visi bersifat umum dan cenderung abstrak. Misi adalah perwujudan dari visi. Bila visi adalah impian, maka misi adalah wujud atau bentuk dari impian. Misi merupakan rumusan nyata usaha seseorang untuk mencapai visi.[47] Robby I Chandra menjelaskan hal ini dengan suatu contoh. Misalnya impian kita adalah memiliki sebuah pusat pembelajaran yang ikut membangun bangsa serta meningkatkan kesejahteraan banyak orang. Maka misi bisa berupa mewujudkan lembaga pelatihan kewiraswastaan. Dapat juga berupa membentuk akademi yang khusus mendidik orang menjadi manager profesional.[48]
            Menurut Robby I. Chandra, ada lima tipe pemimpin dalam berurusan dengan visi dan misi. Pertama, adalah tipe pemimpin yang mengetahui bahwa visi dan misi adalah penting. Mereka menyibukkan diri dengan tugas dan kegiatan rutin. Hidupnya merupakan rangkaian dari satu akktivitas ke aktivitas lain tanpa didasari arah yang jelas. Mereka hidup dan bekerja tanpa desain dasar. Bagaikan tukang bangunan yang sibuk mendirikan rumah tanpa kejelasan gambar rumah yang akan dihasilkan. Mereka bagai komandan tentara yang berulang kali menerjunkan pasukan ke tempat yang sama tanpa memperhitungkan akan lebih mudah bila di tempat itu didirikan landasan pesawat.          Tipe kedua adalah pemimpin yang tahu bahwa visi dan misi adalah hal penting untuk menuju sukses, tapi mereka tidak menyediakan diri dan waktu mereka untuk merumuskan visi dan misi mereka ataupun visi dan misi organisasi mereka. Segala sesuatu berjalan tanpa arah. Tipe ketiga adalah orang yang menyadari pentingnya visi dan misi, telah menyusun dan merumuskannya. Namun metodenya keliru dan pemahamannya terbatas sehingga visi dan misi itu tidak menghasilkan hal bermanfaat apapun bagi orang banyak. Tipe keempat, merupakan tipe pemimpin yang menyadari, mengupayakan, serta memiliki metode yang benar sehingga rumusan visi da misinya baik. Namun mereka tidak memiiki bekal yang cukup dan cocok untuk mewujudkan visi dan misi mereka. Sementara tipe terakhir yakni pemimpin dengan tipe kelima adalah pemimpin yang  menyadari pentingnya visi dan misi, merumuskannya, menggunakan metode yang benar untuk mewujudkannya.[49]
            Bagi pemimpin gereja, visi dan misi yang dimilikinya harus sesuai dengan visi dan misi Allah. Hal ini disebabkan oleh kepemilikan gereja ada pada Allah. Allah adalah Raja dan Pemilik gereja. Dengan demikian,  visi dan misi yang diharapkan terjadi harus sesuai dengan visi dan misi yang diemban atau Allah mandatkan kepadanya. Misi gereja merupakan alasan mengapa organisasi gereja ada. Merupakan alasan mengapa gereja diutus Allah di dunia kini dan di sini. Secara prinsip, Gereja ada di dunia untuk mengerjakan  missio Dei. Mengerjakan misi Allah yang dimandatkan kepada gereja, sehingga visi Allah tercapai dan terwujud.
            Misi gereja secara garis besar adalah diutus ke dalam dunia untuk melaksanakan tiga tugas yang dikenal sebagai tri tugas gereja yakni bersekutu (koinonia), bersaksi (marturia) dan melayani (diakonia). Penjabaran misi gereja pada umumnya berasal dari tri tugas gereja di atas.     Gereja melaksanakan tugas bersekutu dengan menyelenggarakan ibadah Minggu, Ibadah pada hari-hari raya gerejawi[50], ibadah khusus[51], studi pemahaman Alkitab, Kebaktian Kebangunan Rohani, Ibadah Anak (Sekolah Minggu), retret, katekisasi, dsb. Gereja melaksanakan tugas kesaksian dengan melaksanakan pemberitaan Injil, bersaksi kepada sesama melalui peran hidup, dialog antar agama[52], konseling pastoral, penyelenggaraan fasilitas kesehatan (mendirikan rumah sakit), penyelenggaraan pendidikan (mendirikan sekolah), pemberitaan firman pada saat ibadah yang dihadiri anggota masyarakat seperti bidstond, ibadah pemakaman, ibadah penghiburan, dsb.  Gereja melaksanakan tugas  berdiakonia dengan memberikan bantuan bagi orang sakit, tertimpa musibah bencana alam, pendampingan pastoral, pemberdayaan masyarakat, penyadaran hak, dsb. Pelayanan diakonia ini dapat digolongkan kepada diakonia karitatif, reformatif dan transformatif.








PASAL 4
PEMIMPIN DALAM PERAN HIDUP DAN PEMIMPIN ORGANISASI

            Setiap orang Kristen adalah pemimpin.[53] Kepemimpinan adalah hakikat, mandat dan berkat Allah. Hakikat kemanusiaan seseorang tercermin dari kepemimpinannya. Sebagai mandat, kepemimpinan diyakini sebagai penugasan Allah sehingga harus dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Dan akhirnya, kepemimpinan sebagai berkat, kepemimpinan harus disyukuri karena merupakan karunia Allah yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lain.[54]
            Semua  orang Kristen diberi kapasitas yang beragam untuk memimpin oleh Tuhan dan  harus menyediakan diri dipimpin Tuhan Sang Pemimpin yang sesungguhnya. Dalam hal ini, setiap orang Kristen sebagaimana dikatakan Ken Blanchard dan Phil Hodges dalam bukunya Lead Like Jesus,  dalam perspektif kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi.[55]
            Setiap orang  adalah pemimpin karena mereka memengaruhi orang lain, baik secara positif maupun negatif. Setiap orang adalah pemimpin  dalam peran hidup. Pemimpin Kristen menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam rangka dilayani. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi.[56]
            Perbedaan dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi adalah dalam hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh memengaruhi. Pemimpin dalam peran hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka panjang, sedangkan pemimpin dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam suatu lingkungan hubungan dan perubahan yang temporer.[57] Hampir selalu, pemimpin dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi calon pemimpin dalam organisasi.
            Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Oswald Sanders mengatakan bahwa pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk mentaati dan memuliakan Allah. Henry dan Richard Blackaby menyebutkan pemimpin Kristen menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. George Barna mengatakan bahwa pemimpin Kristen yaitu seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus.[58]  
            Sementara itu, Jerry Rumahlatu mengatakan bahwa pemimpin Kristen adalah orang yang dipanggil dan ditetapkan Allah untuk memimpin orang lain kepada tujuan Allah. [59] Lebih lanjut Jerry Rumahlatu mendorong setiap pemimpin Kristen untuk mengembangkan kecakapannya dalam memimpin, antara lain : 1). Memiliki sifat-sifat alamiah dan spiritualitas Kristen yang baik.  2). Memiliki kesadaran diri sendiri 3). Memiliki integritas dalam kata dan perbuatan. 4). Memiliki pengetahuan yang benar tentang Allah dan  tentang manusia. 5). Seorang yang kompeten, bertindak berdasarkan penalaran dan prinsip-prinsip moral Kristen. 6). Seorang yang visioner. Memiliki visi dari Tuhan. 7). Seorang yang imajinatif. Memiliki inovasi dan kreativitas untuk membuat perubahan positif.[60]
            Menurut J. Robert Clinton, pemimpin Kristen adalah seseorang yang telah dipanggil Allah sebagai pemimpin yang ditandai oleh kapasitas memimpin dan tanggungjawab pemberian Allah untuk memimpin sekelompok umat Allah untuk  mencapai tujuannya bagi serta melalui kelompok.[61]  Penulis mengartikan pemimpin sebagai orang yang memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja tim dengan mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama dengan tetap memperhatikan kepentingan yang dipimpinnya.
            Pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Gereja dalam hal ini termasuk kategori pemimpin dalam organisasi. Menurut Penulis, ciri khas yang membedakan pemimpin Gereja dengan pemimpin pada umumnya adalah persoalan motivasi,  tujuan dan jalan yang ditempuh. Motivasi dan tujuan  pemimpin Gereja adalah untuk melayani bukan untuk dilayani. Jalan yang ditempuh para pemimpin Gereja  juga dengan jalan melayani. Motivasi,  tujuan dan jalan yang ditempuh oleh pemimpin Gereja harus meneladan pada motivasi melayani, tujuan melayani dan jalan  melayani seperti dalam kepemimpinan Yesus Kristus.
            Otoritas kepemimpinan pemimpin Gereja didapatkan dari Yesus Kristus, Sang Pemilik Gereja. Tanpa kepemimpinan maka Gereja bagai anak panah tanpa busur. Mustahil Gereja dapat melaksanakan fungsinya bila tidak ada kepemimpinan yang kuat dan efektif.
            Sebagaimana definisi Penulis, bahwa kepemimpinan adalah proses memberikan pengaruh positif kepada pengikutnya melalui kerja tim mengefektifkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk mencapai visi bersama. Dengan demikian, kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan oleh tim kepemimpinan Gereja yang disebut Majelis Jemaat.  Mereka bekerjasama dengan mengoptimalkan segenap potensi dan sumber daya yang dimiliki dalam rangka mencapai visi bersama.  Dalam kepemimpinan Kristen, visi bersama yang dimaksud haruslah merupakan visi yang berasal dari Tuhan dan bukan sekedar visi yang disepakati bersama.
            Kepemimpinan pemimpin Gereja dijalankan dengan motivasi melayani, dengan jalan melayani untuk kemuliaan nama Tuhan. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roma 11:36, “sebab segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya.” 
            Hal yang penting dalam kepemimpinan Kristen adalah tentang kaitan erat antara prestasi dan kerendahan hati pemimpin. Hal  itu diwujudkan oleh pemimpin dengan melakukan tugas seorang “pelayan” atau “hamba” terhadap orang-orang yang dipimpinnya dengan semangat berprestasi setinggi-tinginya. Kehormatan yang diterima pemimpin tidak didasarkan atas status formal seseorang sebagai pemimpin, tetapi justru oleh pelayanan yang diberikan secara baik. Itulah bentuk pelayanan yang menurut Meno Soebagjo sebagai model keteladanan  yang mendatangkan kehormatan.[62] Pendapat Meno Soebagjo  didasarkan atas cerita tentang permintaan ibu Yakobus dan Yohanes yang meminta agar kedua anaknya diberi tempat / posisi penting dalam Kerajaan Allah. Pada kesempatan itu Yesus mengajar bahwa barangsiapa ingin menjadi yang terbesar/terkemuka, hendaklah ia menjadi pelayan dan hamba bagi lainnya. [63] Yesus tidak melarang orang untuk menjadi yang terkemuka, dan Yesus memberitahukan caranya yaitu dengan menjadi pelayan yang melayani, sebagaimana yang Yesus terapkan.
            Menurut A.T. Hanson,  Rasul Paulus dalam 1 Korintus 3:18-4:16; 9:1-2; 12:24-30, dan 2 Korintus 3-6 menjelaskan bahwa pelayanan Yesus Kristus telah menjadi dasar bagi pelayanan para rasul yang mengakibatkan berdirinya gereja. Setelah gereja berdiri, maka pelayanan para rasul dikerjakan dengan mengajak seluruh warga gereja untuk memberikan pelayanan.[64]
            Dengan demikian, gereja harus melayani sebagaimana Kristus dan para rasul melayani.  Sewaktu ada di dunia, Tuhan Yesus Kristus menyadari sepenuhnya bahwa kedatanganNya ke dunia ini tidak untuk dilayani melainkan untuk melayani.[65] Secara jelas hal ini diungkapkan di dalam perkataanNya : “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”.[66]   Pelayanan dalam kepemimpinan Yesus Kristus, dengan demikian harus dipahami dan dipraktikkan oleh para pemimpin Gereja agar dalam kepemimpinannya sungguh-sungguh meneladan kepada kepemimpinan Yesus Kristus, Sang Pemimpin Gereja yang sesungguhnya.







PASAL 5
PEMIMPIN SEBAGAI TELADAN

            Pemimpin harus menjadi teladan bagi para pengikutnya. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia mendefinisikan teladan sebagai berikut : suatu perbuatan atau sikap, tingkah laku dan sebagainya yang patut ditiru.[67]  Bagi pengikut suatu agama, pemimpin mereka adalah teladan dalam hidup mereka.  Perbuatan atau sikap pemimpin memiliki dampak besar bagi pengikutnya. Bahkan bukan hanya perbuatan tapi kata-kata pemimpin patut disadari dapat memberi dampak bagi pengikut mereka.
            Laurie Beth Jones mengatakan bahwa pengikut mudah belajar dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Panduan-panduan kebijaksanaan dan buku-buku instruksi bisa saja mencapai sesuatu tujuan, tetapi semua itu tidak membangun kultur kelompok atau organisasi. Pemimpin menetapkan teladan dengan apa yang mereka lakukan. [68]
            Tuhan Yesus menjadikan diriNya sebagai teladan bagi murid-murid-Nya. Teladan dalam hal berdoa, rela berkorban, kasih-Nya kepada umat manusia, ketegasan-Nya, ketaatan-Nya kepada Allah, pengampunan-Nya, karakter-Nya, dan seluruh hidup-Nya.  Yesus sendiri mengatakan bahwa diri-Nya adalah teladan itu. Pada suatu hari, sesudah Dia membasuh kaki para murid-Nya, Yesus mengenakan pakaian-Nya dan kembali duduk. Yesus bertanya kepada para murid, “Mengertikah kamu apa yang telah Aku perbuat kepadamu?”  Tanpa menunggu komentar dari para muridNya yang diliputi rasa heran dan malu, kemudian Yesus berkata : 

“Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.  Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu;  sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.”[69]

            Beberapa tahun kemudian Rasul Paulus, ketika menulis surat kepada Gereja di Filipi menasihatkan agar mereka menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus.[70] Yesus Kristus menjadi contoh sempurna untuk diikuti oleh semua orang Kristen. Standar-Nya yang tinggi tidak diberikan untuk membuat pengikut-Nya frustrasi melainkan untuk mengungkapkan bidang-bidang kehidupan yang memerlukan peningkatan.[71]
            Kepemimpinan Yesus Kristus bagi pemimpin gereja bukan salah satu alternatif tetapi satu-satunya pilihan dalam praktik kepemimpinan mereka. Gagasan tentang model kepemimpinan melayani sebenarnya  sudah ditulis cukup panjang sejak tahun 1970 oleh Robert K. Greenleaf, pengarang dan pendiri Greenleaf Center for Servant-Leadership.[72]  Menurut Robert K. Greenleaf, para pengikut yang dilayani oleh para pemimpin pelayan akan menjadi sehat, bijaksana, bebas, lebih  swatantra, dan menyerupai diri merekalah yaitu para pengikut, yang menjadi pemimpin.[73]
           
            Orang Kristen diutus oleh Tuhan Yesus Kristus pertama-tama bukan untuk menjadi pemimpin tetapi untuk mengakui bakat dan talenta yang dimiliki dalam rangka melayani.[74]  Setiap orang Kristen dipanggil untuk melayani seperti Yesus dan untuk mengasihi satu sama lain dengan kualitas kasih seperti Yesus.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi."[75]

Dengan hidup saling mengasihi, kualitas sebagai murid-murid Yesus Kristus akan nampak.  Inilah yang menjadi ciri khas murid Yesus di segala masa dan tempat. Mereka harus saling mengasihi, termasuk dalam relasi di kepemimpinan mereka. Pola kepemimpinan Yesus Kristus tak pernah mati. Para murid-Nya di segala tempat dan masa diberi-Nya kuasa untuk menghidupkannya. Kepemimpinan yang melayani telah dan harus  menjadi pola tetap dalam kepemimpinan Kristen.
            A.B Susanto mengatakan bahwa kehandalan seorang pemimpin tidak hanya ditentukan oleh adanya integritas intelektual dan integritas moral semata, melainkan harus juga dilengkapi dengan integritas religius, yaitu sifat dan sikap dasar seorang pemimpin berdasarkan iman kepercayaannya.[76]  Bagi pemimpin-pemimpin Kristen  dengan demikian, harus menjalankan kepemimpinan mereka meneladan pada kepemimpinan Yesus Kristus.
            Salah satu peranan utama seorang pemimpin yang berhasil guna adalah menunjukkan teladan yang baik dan kemudian melatih orang lain cara untuk mengikutinya. Rasul Paulus, pemimpin besar dari gereja perdana menulis : “Jadilah pengikutku, sama seperti aku juga menjadi pengikut Kristus.”[77]  Kitab Injil mengisahkan bagaimana Yesus Kristus memusatkan perhatian-Nya dalam melatih para murid-Nya, dan Paulus melakukan hal serupa. Ia ingin agar para pengikutnya melakukan apa yang dikerjakannya. Paulus  mengetahui bahwa itulah rahasia kepemimpinan yang berhasil guna.[78]
            Yesus Kristus bukan hanya memberi teladan. Dia melatih para muridNya untuk mengerjakan apa yang Dia kerjakan. Bahkan hal-hal yang lebih besar daripada apa yang Dia sudah kerjakan.

“Aku berkata kepadamu: sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan juga melakukan pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar daripada itu. Sebab Aku pergi kepada Bapa.”[79]

Yesus bukan hanya melatih para pengikutNya untuk meniru apa-apa yang Dia sudah lakukan, tujuan-Nya adalah agar mereka mengerjakan hal-hal yang lebih besar daripada yang sedang dilakukan-Nya. Inilah tanda pemimpin sejati. Inilah tanda pemimpin yang berhasil guna. Tugas pemimpin Kristen (termasuk pemimpin gereja) adalah bukan hanya melatih pengikut mereka untuk melakukan apa yang sudah atau sedang dikerjakan  tetapi juga mendorong semangat mereka untuk melakukannya bahkan dengan cara yang lebih baik.[80]
            Kepemimpinan gereja selalu berhubungan dengan spiritualitas pemimpin gereja.  Ada kontras yang tajam antara pemimpin dengan spiritualitas baik dengan yang buruk. Demikian pula dampak kepemimpinannya. Kitab Injil mencatat bahwa Yesus Kristus sering menarik kontras yang tajam antara standar spiritualitas pengikut-Nya dengan standar spiritualitas non pengikut-Nya. Kadang-kadang kontras itu diambil Yesus antara orang non Yahudi atau bangsa-bangsa kafir dan pengikut-pengikut-Nya. Pada kesempatan lain, Yesus menarik kontras itu antara murid-murid-Nya dengan orang-orang yang religius, khususnya para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. [81] 
            Tokoh Yesus dari Nasaret sangat kontroversial. Sejak kemunculan-Nya sebagai Pemimpin di muka umum pada sekitar tahun 27, banyak yang bertanya-tanya tentang identitas-Nya : Siapakah Anak Manusia itu ?  Dan jawabannya beraneka ragam. Ada yang mengatakan : Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Elia dan ada pula yang mengatakan Yeremia, atau salah seorang dari para nabi.[82] Lalu, pada masa selanjutnya, ada yang memandang-Nya sebagai tokoh revolusi, nabi eskhatologis, nabi sosial, orang suci kharismatis, guru hikmat, filsuf yang sinis, dsb.[83] Tetapi pengakuan iman Kristen ortodoks menyatakan bahwa Yesus dari Nasaret sesungguhnya adalah Allah yang menjadi manusia. “Yesus adalah Tuhan” merupakan bunyi pengakuan iman Kristen yang pertama.[84] Pokok pengakuan iman ini secara mutlak membedakan agama Kristen dengan agama Yudaisme dan Islam.[85]  Dengan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan yang berkuasa di sorga dan di bumi, sudah sewajarnya gereja sebagai milik-Nya mengakui dan tunduk kepada otoritas kepemimpinan-Nya.
            Kepemimpinan Yesus Kristus menjadi sumber kepemimpinan gereja. Kepemimpinan gereja harus meneladan kepada kepemimpinan Yesus Kristus karena Dialah Guru dalam kepemimpinan para murid-Nya sepanjang masa. Pemimpin gereja memiliki kelebihan pertama-tama bukan karena keunggulannya dibandingkan pengikutnya, tetapi karena keintimannya dengan Tuhan Yesus Kristus. Pemimpin gereja memperoleh kuasa dan kemampuan karena anugerah Tuhan, bergantung pada Tuhan dan tidak bersandar pada kelebihan pribadi yang dimiliki. Di situlah terletak kelebihannya sebagai pemimpin.












PASAL 6
KEKHASAN KEPEMIMPINAN KRISTEN
           
            Dari hasil penelitian Rick Warren, saat ini, Yesus Kristus adalah Pemimpin terbesar di dunia. Pengikutnya ada 2,1 miliar orang. Tak seorangpun yang menyamainya.[86] Warren mempercayai bahwa kepemimpinan melayani yang dilakukan Yesus adalah jenis kepemimpinan terbaik. Lee Brase berkata, “Jika anda melatih seseorang maka ia akan menjadi seperti anda tetapi jika anda melayaninya, langit adalah batas dari perkembangannya.”[87]
            Melalui seluruh masa hidup dan kepemimpinanNya, Yesus menegaskan bahwa Allah tidak mencari pemimpin tetapi pelayan yang membiarkan Allah menjadi Pemimpinnya dan berfokus pertama-tama pada kerajaan Allah.[88] Pemimpin dalam perspektif Yesus, harus mampu memberikan pelayanan yang baik demi kepentingan pengikut yang dipimpinnya. Pemimpin dipanggil untuk melayani, yaitu memperhatikan, menolong dan mempedulikan orang-orang yang dipimpin. Itulah fungsinya, dan tanpa adanya kesungguhan dan kemampuan itu, pemimpin tidak diperlukan.[89] 
            Yakob Tomatala juga menyimpulkan bahwa keunikan kepemimpinan Kristen terletak di sini, pemimpin harus memelihara sikap melayani.[90] Kenneth O. Gangel menguraikan empat hal yang membedakan kepemimpinan Kristen dengan kepemimpinan secara umum. Perbedaan pertama  terletak pada sumber kekuasaan kepemimpinan Kristen adalah dari Allah. Kedua,  kepemimpinan Kristen memiliki preseden historis dari contoh-contoh kepemimpinan para tokoh pemimpin di dalam Alkitab. Ketiga,  keunikan dinamika rohani dalam kepemimpinan yakni : penerimaan akan tanggungjawab, lemah lembut dalam memimpin, kesediaan diajar dan perhatian kepada pengikutnya.  Dan keunikan yang keempat tentang analisis birokrasi dalam kepemimpinan Alkitabiah dimaknai sebagai alat yang baik tetapi tuan yang buruk.[91]  Menurut Gangel, inilah empat keunikan kepemimpinan yang melayani.
            Alasan Yesus menitikberatkan unsur pelayanan dalam kepemimpinan sebenarnya disebabkan akan adanya bahaya utama yang terkandung dalam kepemimpinan yaitu keangkuhan. Tetapi itu bukan alasan yang terutama. Menurut John Stott, hal ini lebih disebabkan dalam kepemimpinan yang melayani terdapat pengakuan akan harkat dan martabat orang-orang sebagai manusia.[92] Manusia adalah gambar Allah. Dan sebagai gambar Allah, mereka seharusnya dilayani dan bukan dieksploitasi, dihormati dan bukan dimanipulasi. Kepemimpinan yang melayani menuntut kepemimpinan yang menanggalkan jubah, berlutut, mengambil sebuah handuk dan membasuh kaki para pengikutnya seperti yang telah dilakukan oleh Yesus.[93] Sungguh kontras dengan kepemimpinan yang disertai keangkuhan karena kepemimpinan yang melayani adalah kepemimpinan yang mengakui begitu tinggi harkat dan martabat pengikutnya sebagai manusia.
             J. Oswald Sanders mengemukakan enam sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin Kristen yang melayani, yaitu : memiliki disiplin, punya penglihatan akan masa depan, berhikmat, mampu mengambil keputusan, berani dan rendah hati.[94]
            Dari hasil penelitian yang dilakukan Sanjaya, seorang Indonesia yang tinggal di Melbourne, Australia ada enam aspek atau indikator yang menunjukkan kehadiran pemimpin Kristen yang melayani yaitu : Pemimpin merendahkan diri dengan sadar, ia memiliki diri yang otentik, menghidupkan spiritualitas transenden, memberikan penekanan pada moralitas, menjalin hubungan persaudaraan dan menggunakan pengaruhnya untuk menghasilkan transformasi pada pengikutnya.[95]
            John Stott menyimpulkan bahwa terdapat lima unsur pokok sebagai ciri khas kepemimpinan yang melayani, yaitu : visi yang jelas, kerja keras, ketekunan yang penuh ketabahan, pelayanan dengan rendah hati dan disiplin baja.[96]

PASAL 7
9 PRINSIP MEMIMPIN DAN MELAYANI SEPERTI YESUS

            Kepemimpinan yang melayani memiliki sembilan ciri khas. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani seharusnya diterapkan oleh semua pemimpin Kristen.

PRINSIP PERTAMA : Melayani dengan Visi yang Berasal Dari Tuhan
            Pemimpin yang baik digerakkan oleh visi. Visi artinya seni atau kemampuan untuk melihat sesuatu yang tak terlihat.[97] Pemimpin yang visioner adalah pemimpin yang mampu untuk melihat serta memahami sesuatu yang tidak terlihat oleh kebanyakan orang. Bill Hybels mendefinisikan visi sebagai “suatu gambaran masa depan yang menghasilkan gairah”.[98] Visi membuat seorang pemimpin dimampukan memandang masa depan yang lebih baik. Hal ini menimbulkan semangat, gairah yang menyala-nyala untuk mencapainya. Visi inilah yang membuat seorang pemimpin mampu bertahan dalam kesulitan.
            Bagi seorang pemimpin, visi dengan demikian  bukanlah suatu pilihan. Visi adalah bagian perlengkapan standar untuk seorang pemimpin sejati. Kepemimpinan pada umumnya mensyaratkan pemimpin harus memiliki visi pribadi yang dibagikan menjadi visi bersama.[99] Pemimpin harus mampu melihat the big picture atau visi pribadi ini sebagai fokus.[100] Visi tersebut harus  singkat, merupakan hasil konsensus bersama, menjadi deskripsi situasi yang akan diharapkan dan menarik bagi karyawan, pelanggan dan stakeholders.[101]
            Berbeda dengan kepemimpinan pada umumnya, bagi pemimpin Kristen, visi yang dipakai olehnya untuk memimpin bukanlah visi yang dibuat sendiri atau hasil dari konsensus bersama melainkan harus merupakan visi yang Tuhan berikan kepadanya. Hal ini juga dikatakan oleh George Barna. Menurutnya visi sejati berasal dari Tuhan. Bila seorang pemimpin Kristen memunculkan suatu visi tentang masa depan, visinya bisa keliru, kurang dan terbatas. Visi Tuhanlah yang sempurna dalam segala hal.[102] Dan Tuhan memberikan visi itu kepada para pemimpin Kristen. Allah adalah Sumber, Pemberi visi serta Subjek yang mengimpartasikan visi itu kepada pemimpin yang dipilih-Nya.[103]
            Karena visi itu berasal dari Tuhan, maka orang-orang yang ingin memimpin karena memiliki karunia, karena pengalaman, karena mereka menikmati kekuasaan, karena memiliki ide-ide untuk membangun, karena mereka mencintai perhatian, atau mereka telah diatur untuk melakukan itu adalah orang-orang yang berbahaya bila menjadi pemimpin. motivasi mereka tidak tepat. Pemimpin adalah pelayan. Mereka yang mencari posisi kepemimpinan karena alasan-alasan selain memenuhi visi yang diberikan Tuhan, bukanlah pemimpin yang sejati.[104]
            Kisah Yesus yang berpuasa empat puluh hari lamanya dan kemudian mengalami pencobaan di padang gurun pada awal-awal pelayanan-Nya hendak menampilkan fakta sejarah bagaimana perjuangan dan pertarungan spiritual Yesus pada awal Dia mencari visi dan menemukan panggilan hidup-Nya.[105]  Puasa  yang dilakukan Yesus juga merupakan gejala umum lintas budaya  yang juga biasa ditempuh para pemimpin kharismatis pada masa dulu hingga sekarang.[106] Begitu pentingnya visi bagi seorang pemimpin. Pemimpin harus mendapatkan visi dari Allah agar kepemimpinannya berhasil.  
            Setelah mendapatkan visi dari Tuhan, pemimpin harus menjaga pikiran tetap pada satu jalur. Hal ini tidak mudah.  Disiplinlah kuncinya. Bila tidak disiplin, menurut Billy Arcement, pemimpin akan menjadi seperti anak bungsu dalam perumpamaan anak yang hilang. Ia mengalami banyak penderitaan sampai akhirnya ia kembali kepada tujuannya yang sebenarnya.  Bila terjadi demikian, kembali kepada visi yang diberikan Tuhan adalah jawabannya.[107]

PRINSIP KEDUA: Melayani dengan Pengurapan Roh Kudus
            Dalam Perjanjian Baru, Roh disebut hampir 300 kali dan hampir selalu dihubungkan  dengan “kekuasaan”.[108]  Saat Yesus akan pergi ke Surga, para pengikutNya gentar menghadapi masa depan mereka. Dalam Injil Yohanes 16:1-16, Yesus mengatakan bahwa para muridNya memerlukan Penolong yaitu Roh Kudus dalam pelayanan mereka.
"Semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya kepadamu. Hal ini tidak Kukatakan kepadamu dari semula, karena selama ini Aku masih bersama-sama dengan kamu, tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi? Tetapi karena Aku mengatakan hal itu kepadamu, sebab itu hatimu berdukacita.  Namun benar yang Kukatakan ini kepadamu: Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu. Dan kalau Ia datang, Ia akan menginsafkan dunia akan dosa, kebenaran dan penghakiman; akan dosa, karena mereka tetap tidak percaya kepada-Ku; akan kebenaran, karena Aku pergi kepada Bapa dan kamu tidak melihat Aku lagi; akan penghakiman, karena penguasa dunia ini telah dihukum. Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya. Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku lagi dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku."

           
            Kenaikan Yesus Kristus ke surga adalah agar Roh Kudus dikirimkan kepada para muridNya. Itu jauh lebih baik. Bahkan, Yesus berkata bahwa para murid akan menerima kuasa kalau Roh Kudus itu turun atas mereka, sehingga mereka memiliki keberanian menjadi saksi-saksi Kristus sampai ke ujung bumi.[109]
            Yesus sendiri memulai pelayanan-Nya dengan pengurapan Roh Kudus. Dia dibaptis oleh Yohanes dan Roh Kudus turun atas-Nya dalam rupa seperti burung merpati.  Dalam kuasa dan pimpinan Roh Kudus,  Yesus menang atas setiap pencobaan yang dilakukan iblis di padang gurun.[110] Tim kepemimpinan yang melayani akan saling mengenal satu sama lain, saling menghormati dan bekerja sama mencapai sasaran bersama.  Jika pelayanan itu dilakukan bersama-sama dengan Roh Kudus maka keefektifan menjadi berlipat ganda.[111] 

PRINSIP KETIGA: Melayani dengan Kerendahan Hati dan Kepercayaan Diri
            Menurut Henri Nouwen, salah satu godaan para pemimpin adalah godaan ingin menjadi populer, hebat dan berkuasa.[112] Popularitas dan kekuasaan membuat pemimpin kehilangan salah satu norma kebaikan seorang pemimpin yaitu kerendahhatian.
            Pemimpin yang baik sebagaimana dituliskan Daniel Goleman, bukanlah bintang tunggal yang memercikkan serbuk keajaiban kepada orang lain.[113] Pemimpin sejati memahami bahwa mereka juga sedang dipimpin dan kepemimpinan merupakan sesuatu yang  bersifat timbal balik. Setiap pemimpin harus mampu mendengar dan menyesuaikan diri dengan orang lain agar mampu menangkap isyarat yang dapat membantu semua orang terlibat untuk berjalan sejajar di sepanjang jalan. Pemimpin terbaik tahu bahwa semua harus terlibat bersama-sama. Saat pemimpin gagal mendengarkan, mereka menciptakan ketidakpedulian, permusuhan, dan miskomunikasi di antara pengikut-pengikutnya. Orang-orang yang dipimpinnya lambat laun tapi pasti akan berhenti berkomunikasi dengannya. Sebaliknya, pemimpin yang terampil mendengarkan adalah pembujuk yang baik, sebagaimana Dean Rusk tuliskan, “salah satu jalan terbaik untuk membujuk orang lain adalah dengan telinga anda - dengan mendengarkan mereka”.[114]
            Melayani dengan kerendahan hati hanya dapat dilakukan ketika seseorang menyadari bahwa dirinya adalah milik Allah dan mengerjakan misi Allah. Kerendahan hati adalah sikap hati yang menunjukkan pemahaman mendalam atas keterbatasan dirinya untuk menyelesaikan segala sesuatu sehingga terdapat pengakuan atas keberhasilan bukan semata-mata berasal dari kemampuannya sendiri yang terbatas.  Pemimpin yang rendah hati mengamini dengan sungguh perkataan Tuhan Yesus dalam Injil Yohanes 15:5, “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa”.
            Pada pihak lain, pemimpin yang rendah hati juga harus memiliki kepercayaan diri. Mereka tidak menyangkal kekuatan, kecerdasan dan kelebihan mereka tetapi mereka mengakui bahwa semua yang ada padanya itu anugerah. Tuhan memakai mereka. Tuhan yang memiliki kuasa kepemimpinan dan melalui mereka kuasa kepemimpinan itu dinyatakan.
            Kerendahan hati adalah kualifikasi pemimpin yang dicari Allah. Allah menginginkan seorang yang setia, bukan seorang pejuang yang mengandalkan kekuatannya sendiri. [115] Pemimpin yang mengandalkan Tuhan atau pemimpin yang rendah hati akan menjadi pemimpin yang melayani.
            Kerendahan hati yang diperlihatkan Yesus tidak muncul dari ketiadaan harga diri. Kerendahan hatiNya berasal dari kenyataan bahwa Dia tahu siapa Dia sebenarnya, dari mana asal-Nya, ke mana Dia akan pergi dan milik siapakah diri-Nya. Kenyataan ini memungkinkan-Nya untuk memperlakukan orang lain dengan cinta dan hormat. Kerendahan hati menyadari dan menekankan pentingnya orang lain tanpa merendahkan diri sendiri. Kerendahan hati berbicara kepada diri sendiri dan berbicara juga kepada orang lain, “Saya sangat berharga di mata Allah, demikian pula anda !”[116]
            Kepemimpinan yang melayani bukan hanya berhenti kepada kerendahan hati tapi juga kepercayaan diri yaitu kepercayaan diri yang bersandar pada Allah. Yesus tahu bahwa Allah mencintai-Nya tanpa batas. Demikian pula pemimpin Kristen seharusnya memahami diri mereka. 

PRINSIP KEEMPAT: Melayani dengan Karakter Kuat
            Integritas dan kepribadian adalah dua hal yang membentuk karakter seseorang.[117] Integritas adalah satunya kata dengan perbuatan. Setiap janji ditepati. Itulah integritas. Sementara itu, kepribadian merupakan sifat-sifat hati yang baik, misalnya sopan santun, kejujuran, kebaikan hati, dsb yang memudahkan proses komunikasi.
            Karakter lebih dari sekedar perkataan. Karakter seseorang menentukan siapa ia sesungguhnya. Jika perbuatannya bertentangan dengan apa yang ia katakan, maka karakter orang tersebut tidak baik. Tetapi karakter berbeda dengan talenta. Talenta adalah karunia, tetapi karakter adalah pilihan. Setiap orang bisa memilih karakternya sendiri dan dapat dikembangkan. Jack W. Hayford mengatakan bahwa perkembangan karakter kepemimpinan memerlukan lebih dari sekedar praktik disiplin lahiriah, karena hal itu melibatkan hati dan bukan hanya kebiasaan. Karakter bukan hanya berhubungan dengan pengabdian, karena hal itu melibatkan transformasi bukan sekedar inspirasi. Juga bukan sekedar kepatuhan pada peraturan karena melibatkan Roh Kudus yang berkarya dalam batin seseorang. Karakter juga bukan hanya soal kekudusan hidup pribadi tetapi hidup yang transparan di hadapan orang lain yang didorong hati yang penuh ketulusan.[118]
            Karakter yang kuat akan menghasilkan reputasi di hadapan para pihak.  Stephen R. Covey berpendapat bahwa karakter pada dasarnya adalah gabungan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Pepatah mengatakan, “Taburlah gagasan, tuailah perbuatan. Taburlah berbuatan, tuailah kebiasaan. Taburlah kebiasaan, tuailah karakter. Taburkan karakter, tuailah nasib.”[119] 
            Tuhan Yesus melayani dengan karakter kuat. Apa yang dikatakanNya selalu diakukanNya. Yesus adalah Pemimpin berintegritas. Kepribadian-Nya tak tercela.  Yesus menjadikan  diri dan kehidupan-Nya sebagai bukti dari segala pengajaran-Nya.

PRINSIP KELIMA: Melayani dengan Menjaga Kehidupan Doa
            Seorang pemimpin harus mampu mendengarkan suara Tuhan. Ia tidak tergesa-gesa membuat keputusan. Ia menunggu suara-Nya. Ada saat di mana keputusan cepat dan tepat harus diambil tetapi keputusan dipertimbangkan sedemikian rupa dengan mempergumulkannya dalam doa. Meskipun pemimpin-pemimpin dunia dan pemimpin-pemimpin Kristen dapat memimpin dengan atau tanpa doa,[120] tetapi pemimpin-pemimpin besar dalam Alkitab adalah para pemimpin yang berdoa.[121]
            Pemimpin harus menjaga relasinya dengan Tuhan, menghormati-Nya dan  menjaga kekudusan hidupnya.[122] Pemimpin adalah seorang yang  panca indera rohaninya peka dan terlatih dengan baik. Disiplin rohani dan komunikasi yang intim dengan Tuhan adalah kuncinya. Ia adalah seorang pemimpin, sekaligus pendoa.
            Setelah menerima baptisan Yohanes Pembaptis, Yesus mengawali pelayanan-Nya dengan berdoa dan berpuasa di padang gurun. Di tengah-tengah pelayanan-Nya, Alkitab mengisahkan kebiasaan Tuhan Yesus untuk berdoa dalam kesendirian atau bersama para murid-Nya. Suatu kali, Tuhan Yesus bersama Petrus, Yakobus dan Yohanes menyendiri di gunung yang tinggi untuk berdoa. Pada saat Yesus berdoa, Ia bertransfigurasi sehingga pakaian-Nya berkilau-kilauan. Yesus berhubungan langsung dengan alam roh yang tak kasat mata.[123]  Yesus berhubungan langsung dengan Allah yang mengutus-Nya. Contoh yang paling jelas dan penting mengenai urgensi doa dalam keheningan digambarkan dalam Yohanes 6:14-15, saat Yesus diperhadapkan dengan godaan kekuasaan, Dia membutuhkan saat hening untuk memurnikan panggilan-Nya. Yesus mengetahui bahwa orang banyak sekitar lima ribu orang laki-laki yang mengalami mujizat lima roti dan dua ikan hendak menjadikan Dia raja. 

Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya, mereka berkata : “Dia ini adalah benar-benar Nabi yang akan datang ke dalam dunia.”  Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri.  

            Keberhasilan dan pujian orang banyak bisa menjadi racun bagi seorang pemimpin, khususnya para pemimpin yang memiliki pemikiran bahwa harga diri merupakan kombinasi dari kinerja yang bagus dan pendapat orang lain.[124] Mengambil waktu seorang diri bersama Tuhan merupakan kebiasaan penting untuk memurnikan panggilan pelayanan.

PRINSIP KEENAM: Melayani dengan Belas Kasihan
            Pemimpin harus memiliki belas kasihan terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Ia  memiliki empati dan mengerti kebutuhan orang-orang yang dipimpinnya. Pemimpin harus memiliki hubungan  hati dengan pengikutnya, saling mengenal dan memiliki kepedulian.  Hal ini ditunjukkan Musa tatkala Tuhan berencana memusnahkan bangsa Israel karena ketidakaatan mereka kepada Tuhan dan beribadah kepada patung lembu emas. Tuhan berencana akan membentuk umat baru melalui keturunan Musa, tetapi Musa menolak rencana pemusnahan bangsa Israel dan memohonkan pengampunan bagi Israel jika tidak Musa meminta namanya dihapuskan saja dalam Kitab Kehidupan.[125] Musa bertindak demikian karena belas kasihannya kepada umat Israel yang dipimpinnya.
            Kepedulian adalah tindakan dijalankannya empati dan perhatian. Empati memungkinkan seseorang untuk membina hubungan dan ikatan dengan orang lain. Empati membuat dihindarkannya “korban” dalam kepemimpinan. Untuk itu harus dimulai dari sifat ingin tahu dari pemimpin kepada pengalaman-pengalaman anggotanya dan mempelajari kebutuhan dan hidup mereka. Menurut Richard Boyatziz dan Annie McKee, dalam buku mereka Resonant Leadership kepedulian memiliki tiga komponen pokok, yaitu pemahaman dan empati kepada perasaan dan pengalaman orang lain, kesadaran kepada orang lain dan kemampuan bertindak berdasarkan perasaan tersebut dengan perhatian dan empati.[126]
            Dalam Kitab Injil digambarkan bagaimana Yesus Kristus yang penuh belas kasihan.  Sesudah Yesus menyembuhkan orang lumpuh dan mengampuni dosanya, disaksikan orang banyak Yesus pergi dan menjumpai Matius yang berprofesi sebagai pemungut cukai. Matius sangat dibenci oleh orang Yahudi karena dipandang sebagai orang berdosa. Tetapi didorong belas kasihan-Nya, Yesus mendekati rumah cukai itu tanpa risih, tidak peduli apa komentar orang perihal tindakan-Nya yang tak lazim dan  mengajak Matius untuk menjadi salah seorang murid-Nya.

“Setelah Yesus pergi dari situ, Ia melihat seorang yang bernama Matius duduk di rumah cukai, lalu Ia berkata kepadanya: "Ikutlah Aku." Maka berdirilah Matius lalu mengikut Dia.  Kemudian ketika Yesus makan di rumah Matius, datanglah banyak pemungut cukai dan orang berdosa dan makan bersama-sama dengan Dia dan murid-murid-Nya. Pada waktu orang Farisi melihat hal itu, berkatalah mereka kepada murid-murid Yesus: "Mengapa gurumu makan bersama-sama dengan pemungut cukai dan orang berdosa?"  Yesus mendengarnya dan berkata: "Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit.  Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa."[127]

            Pribadi Yesus yang berbelas kasihan dikisahkan oleh penulis Injil. Enam belas kali Yesus dikisahkan oleh Matius, Markus dan Lukas menunjukkan belas kasihan dan mengajarkan pentingnya belas kasihan. Yesus menaruh belas kasihan kepada orang banyak,[128] menyembuhkan orang buta,[129] menyembuhkan orang kusta,[130] membangkitkan orang mati di kota Nain dan juga Lazarus,[131]  semua dilakukan-Nya didorong oleh belas kasihan.

PRINSIP KETUJUH: Melayani dengan Kerelaan Berkorban
            Di dunia ini tidak ada olahragawan yang sukses dari sejak lahirnya. Mereka harus melalui pengorbanan demi pengorbanan dalam bentuk latihan yang tidak ada hentinya. Demikian pula pemimpin berpengalaman bukan karena terjadi demikian saja tetapi hasil perjalanan panjang melalui banyak kerikil-kerikil tajam.[132] Pemimpin harus berkorban, bukan hanya berkorban waktu, tenaga dan pemikiran tetapi juga untuk berkorban meninggalkan kenyamanan demi meningkatkan kapasitas dirinya.
            Pemimpin juga tidak takut untuk mengupayakan peningkatan kapasitas pengikutnya. Berbeda dengan kepemimpinan secara umum yang memiliki prinsip: pemimpin agar dihormati harus menciptakan ketergantungan pengikut kepada pemimpinnya,[133]   dalam kepemimpinan melayani, pemimpin tidak mengupayakan ketergantungan pengikut melainkan mengupayakan pertumbuhan dan kemerdekaan mereka sehingga semua bisa mengeksplorasi dan mengimplementasikan talenta dan karunia yang dimiliki untuk kemajuan organisasi.  Pemimpin yang melayani bersedia “disamai” oleh pengikutnya. Bahkan mengijinkan pengikutnya untuk bisa mengerjakan hal-hal yang lebih besar daripada dirinya.  Tuhan Yesus berkata,

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan,         bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu. Sebab Aku            pergi kepada Bapa;  dan apa juga yang kamu minta dalam    nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak.[134]            

            Pemimpin yang melayani tidak menggunakan pendekatan kekuasaan melainkan memberi dan membagi wewenang. Ia tidak mencari atau mementingkan rasa hormat dari pengikutnya tapi mengedepankan hubungan dan komunikasi dengan mereka.
            Pemimpin yang melayani akan rela berkorban untuk kepentingan pengikutnya. Yesus Kristus mengajarkan hal ini dalam Injil Yohanes 10:11-15 :

Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya; sedangkan seorang upahan yang bukan gembala, dan yang bukan pemilik domba-domba itu sendiri, ketika melihat serigala datang, meninggalkan domba-domba itu lalu lari, sehingga serigala itu menerkam dan mencerai-beraikan domba-domba itu. Ia lari karena ia seorang upahan dan tidak memperhatikan domba-domba itu. Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku sama seperti Bapa mengenal Aku dan Aku mengenal Bapa, dan Aku memberikan nyawa-Ku bagi domba-domba-Ku.[135]

     
            Yesus menjalankan ajaran-Nya itu melalui hidup dan kematian-Nya di kayu salib. Kerelaan pemimpin untuk berkorban bagi kepentingan pengikutnya menjadikan pemimpin dihormati dan sekaligus dikasihi oleh para pengikutnya. Dalam dunia kepemimpinan, satu pengorbanan saja belumlah cukup untuk membawa sukses. Pengorbanan adalah sesuatu yang konstan dalam kepemimpinan. Pengorbanan adalah proses yang berkelanjutan, bukan suatu pengorbanan yang sekali bayar. Biasanya, semakin tinggi kepemimpinannya, semakin besar  pengorbanan yang telah diberikan.[136]  Tak ada sukses tanpa pengorbanan. Pemimpin harus rela berkorban.

PRINSIP KEDELAPAN: Melayani dengan Memberdayakan, Mengkader dan Membangun Tim Kepemimpinan
            Sepintas lalu, tampaknya Yesus melakukan apa yang dilakukan pemimpin-pemimpin besar lainnya, yaitu menuntun para pengikut-Nya di sepanjang jalan yang harus ditempuh mereka. Tetapi itu bukan tujuan utama Yesus Kristus sebagai seorang pemimpin. Tujuan utama-Nya sebagai seorang pemimpin bukanlah menuntun para murid-Nya ke kayu salib, meskipun itu juga dilakukan-Nya. Tujuan utama-Nya adalah membina para pemimpin yang berasal dari pengikut-Nya.[137] Itulah sebabnya, Yesus sangat berhasil dalam kepemimpinan-Nya. Demikian pula gereja pada abad pertama.
            Terbentuknya tim kepemimpinan Yesus Kristus sangat unik. Yesuslah yang berprakarsa memilih dan memanggil para murid-Nya, bukan berawal dari kehendak mereka sendiri yang datang kepada Yesus. Yesus memanggil calon-calon murid-Nya,[138] bila mereka bersedia maka mereka  menjadi murid-murid-Nya.[139] Baru sesudah kesediaan dinyatakan, Yesus memberdayakan mereka.  Yesus membangun  tim pelayanan yang terus diberdayakan oleh-Nya. Pemberdayaan ini dilakukan, mengingat kepemimpinan itu harus dialihgenerasikan secara terencana. Tantangan terus berubah dan pemberdayaan harus dilakukan demi serah terima tongkat estafet kepemimpinan akan dilakukan.[140]  Sebelum kenaikan-Nya ke Surga, para murid Yesus telah menerima pemberdayaan dari Yesus Guru mereka setiap hari. Yesus menjadikan diri-Nya sendiri teladan yang hidup. Yesus menunjukkan ketaatan-Nya pada Bapa, kesetiaan-Nya terhadap misi, kerendahhatian-Nya dalam relasi antar manusia, cinta dan pengorbanan dalam kematian-Nya di kayu salib.
            Seluruh gaya kepemimpinan Yesus selama tiga tahun pelayanan-Nya adalah untuk mencari, memilih dan melatih dua belas pengganti-Nya. Menjelang Ia disalibkan, agama Kristen baru sedikit penganutnya. Yesus menetapkan pola untuk apa yang disebut menjadikan semua bangsa murid-Nya ketika Ia mengutus murid-murid-Nya untuk pergi dan memenuhi apa yang telah dimulai-Nya. Yesus tidak mengembangkan agama Kristen menjadi gerakan seluruh dunia, namun para pengikut-Nyalah yang melakukannya. Yesus memilih untuk tidak menuntaskan kehendak-Nya tanpa mereka yang meneruskannya.[141]
            Pada zaman modern ini kepemimpinan Kristen berkembang bukan hanya melalui gereja Tuhan tetapi juga dalam Lembaga-lembaga Penginjilan. Bahkan bukan pemberdayaan yang dilakukan berjenjang dan bukan hanya satu lapis saja. Tom Philips, salah satu pemimpin dalam tim pelayanan Billy Graham menjelaskan prinsip-prinsip dalam membangun suatu tim pelayanan Kristen, yang Penulis rangkum sebagai berikut:   Suatu tim harus mempunyai seorang pemimpin yang memiliki karunia dan komitmen. Tim terdiri dari pria dan wanita yang memiliki hati yang sudah dijamah oleh Allah. Mereka merupakan sekelompok orang yang bersatu  di bawah ketuhanan Yesus Kristus. Tiap anggota tim harus berfokus pada visi, ditempatkan secara tepat dalam bidang pelayanan tertentu, dalam  komunikasi dengan sesama anggota tim yang terjaga baik. Tim harus selalu dilatih dan diberdayakan. Setiap anggota tim memahami dan menghormati otoritas yang ada. Mereka memiliki prinsip melayani lebih penting daripada kedudukan. Bila mengalami kegagalan, tim harus menyadari bahwa hal itu bisa menjadi suatu langkah menuju sukses. Suasana hubungan tiap anggota tim  harus mencapai tingkat kenyamanan seperti suasana rumah. Tim harus mampu merespons perubahan dengan tetap fleksibel. Anggota tim menerima pendelegasian, tetapi tidak dilepaskan dan transparan. Kepemimpinan merupakan kepemimpinan berjenjang, seperti kepemimpinan Musa. Menjaga kesatuan tim. Setiap pemimpin tim merupakan pelatih bagi mereka yang dibawah otoritasnya, setiap anggota tim yang tidak berpartisipasi diganti dan setiap anggota tim selalu terfokus dalam tujuan.[142]
            Kepemimpinan yang melayani dengan demikian adalah kepemimpinan yang membangun tim, memberdayakan dan mengkader pengikutnya untuk menjadi pemimpin besar di kemudian hari dan mengabdi bagi kerajaan Allah. Kepemimpinan dalam tim sangat dimengerti di dunia olah raga. Seorang pelatih basket Duke University tahun 2001 bernama Mike Krzyzewsky mengatakan bahwa membangun tim merupakan keharusan untuk mencapai apa yang tak dapat dicapai sendirian. Semua orang lemah saat mereka sendirian, pada umumnya, daripada jika mereka bersatu.[143]
            Pemimpin Kristen yang menghormati Tuhan Yesus sudah seharusnya tidak menuntun pengikutnya kepada diri mereka sendiri tetapi mengupayakan agar melalui kepemimpinan tim, orang-orang yang dipimpinnya menjadi pemimpin. Kepemimpinan tim sangat mengenal pendelegasian. Pendelegasian adalah pembagian berkat keterlibatan kepada sebanyak mungkin orang.  Tanpa pendelegasian, anggota tim kepemimpinan mengalami kelumpuhan kreativitas dan terhambat pertumbuhannya.[144]
            Meskipun tim kepemimpinan banyak sisi positifnya, tapi tetap saja ada sisi yang harus diwaspadai yaitu yang disebut bahaya tirani kelompok.[145] Sekelompok pemimpin dapat sama tiraniknya seperti diktator paling otokratik. Tekanan sosial bisa memaksa orang untuk mau tidak mau menyesuaikan pendapatnya dengan suara mayoritas. Pemimpin yang efektif harus berusaha menjamin bahwa setiap orang menerima kesempatan yang sama untuk mengutarakan pandangannya tanpa ditekan oleh pemikiran kelompok.
            Dengan berorientasi mewujudkan visi yang dari Allah, pemimpin yang membangun tim juga akan membuka diri terhadap inovasi. Ia terbuka terhadap pendekatan dan cara-cara baru tetapi tetap berfokus pada tujuan atau visi yang telah diterimanya. Menurut Jansen H. Sinamo, untuk menjadi pemimpin yang inovatif, seseorang harus menjalankan paling tidak empat langkah praktis menuju pemimpin inovatif, sebagai berikut : Pertama, ia harus memiliki sikap positif. Baik sikap positif terhadap dirinya sendiri, tim maupun orang-orang yang dipimpinnya. Kedua, ia harus berimajinasi secara kreatif dengan jalan membayangkan dan menciptakan dalam bentuk bayangan-bayangan visual dalam otak tentang situasi yang hendak diciptakan. Ketiga, ia harus mengkonseptualisasikannya dalam bentuk tulisan, gambar, hitung-hitungan, maket, prototipe, dsb. Dan keempat, ia  harus memiliki etos inovatif. Etos inovatif  ini penting karena tanpanya, seorang kreatifpun akan berhenti dalam gagasan.  Etos inovatif membuat seseorang tidak putus asa, tidak mudah menyerah dan memiliki semangat juang tinggi.[146]

PRINSIP KESEMBILAN: Melayani dengan Keberanian Menempuh Risiko
            Keberanian menyulut kepemimpinan. Keberanian mendorong seorang pemimpin bertanya, apa sebenarnya yang sedang terjadi? Keberanian memancarkan energi untuk mengeksplorasi bersama tentang masa depan.[147] Pada pihak lain, rasa takut adalah kebalikan dari keberanian. Perasaan ini berhubungan dengan hal-hal yang tidak diketahui. Rasa takut membuat seseorang tidak mau mengambil risiko. Padahal hidup selalu mengandung risiko. Menyeberang jalan adalah risiko. Demikian pula membuka hubungan baru, mendirikan perusahaan, menanam, dst mengandung risiko. Tetapi risiko paling besar adalah tidak melakukan apa-apa. Tidak melakukan apa-apa membawa seseorang kepada entropi, penyebab terjadinya pengecilan otot, terhambatnya aliran oksigen dalam tubuh dan membawa kematian.[148]  Rasa takut  mengambil risiko berhubungan erat dengan tiadanya pengetahuan yang cukup mengenai sesuatu hal.  Pada saat mulai mendapatkan pengetahuan mengenai suatu bidang, situasi, keadaan atau seseorang, rasa takut tersebut biasanya akan menghilang.[149] 
            Tokoh dalam Perjanjian Lama bernama Musa adalah pemimpin yang pemberani. Tanpa pengawal dan tanpa senjata, ia menghadap Raja Mesir dan meminta agar bangsa Israel dilepaskan dari perbudakan.[150] Musa duabelas kali menghadap Firaun ditemani Harun.  Pemimpin harus berani mengambil keputusan, termasuk keputusan yang tidak populer tetapi dalam rangka pencapaian tujuan bersama. Dan untuk mengambil keputusan yang demikian, pemimpin haruslah seorang pemberani.
            Menurut David Ben-Gurion, keberanian adalah suatu pengetahuan khusus yaitu pengetahuan akan bagaimana takut kepada apa yang seharusnya ditakuti, dan bagaimana tidak takut pada apa yang seharusnya tidak ditakuti. Dari pengetahuan ini muncul kekuatan batin yang mengilhami pemimpin untuk berjalan menghadapi kesulitan-kesulitan besar. Dengan keberanian, apa yang tampaknya tidak mungkin terkadang menjadi mungkin.[151]
            Keberanian pemimpin akan menular kepada pengikutnya. karena keberaniannya, orang-orang yang melihatnya akan dengan rela mau menjadi pengikutnya.[152]  Keberanian akan membuka pintu, dan itulah salah satu keuntungannya.[153] Dalam kamus pemimpin, sifat puas diri dan mengambil posisi defensif akan berdampak pada kemunduran organisasi. Pemimpin harus berani untuk terus meraih tujuan-tujuan yang lebih tinggi yang bisa dicapai dengan tetap memperhatikan visi dan misi pokok lembaga.[154]
            Pemimpin juga harus berani menegakkan disiplin. Ada saat pemimpin bersifat lemah lembut dan baik tapi  ada saat harus berlaku keras dan tegas.[155] Tanpa keberanian menegakkan disiplin maka akan tercipta situasi kerja yang tidak suportif bagi kemajuan organisasi. Ketidakdisiplinan yang dibiarkan akan mudah menular bahkan juga kepada anggota yang berdisiplin.
            Pada lain pihak, pemimpin yang berani adalah pemimpin yang juga memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya. Hal ini dituturkan oleh John C. Maxwell. Pada saat ia membiarkan kemarahan melandanya, sebagai Pendeta senior ia mengambil 3 keputusan jalan pintas sebelum pesta natal 1989.  Dalam waktu seminggu ia mengambil tiga keputusan besar : mengubah beberapa unsur pertunjukan Natal yang sudah dilatih, menghentikan pelayanan ibadah hari Minggu dan memecat seorang staf. Keputusan itu sebenarnya dinilai tepat oleh jemaat, tetapi karena Maxwell tidak mempergunakan proses kepemimpinan yang sudah berjalan selama ini, yaitu mendiskusikannya dalam rapat para pemimpin gereja, maka hal ini menimbulkan keresahan. Dengan berani, Maxwell meminta maaf karena telah mengambil jalan pintas. Keberanian meminta maaf di depan umum ini mengembalikan kepercayaan pengikutnya.[156]  Maxwell adalah seorang pemimpin yang berani.  Keberanian mengakui kesalahan bukan merupakan kelemahan dan kejatuhan seorang pemimpin tetapi bahkan menimbulkan rasa hormat di hati para pengikut.         Yesus melayani dengan berani. Dia tidak bisa digertak oleh siapapun. Setiap hari Yesus menempuh risiko dalam pelayanan-Nya di dunia. Bahkan risiko kematian dihadapi-Nya dengan gagah. Hal ini menginspirasi para murid-Nya untuk memiliki keberanian yang sama. Para murid-Nya berani menempuh risiko mati syahid dalam pelayanan. Dalam kepemimpinan yang melayani, risiko bukan untuk dihindari tetapi untuk dihadapi.


PASAL 8
KESIMPULAN

            Kepemimpinan adalah konsep yang dipakai baik oleh gereja maupun dunia. Namun paham kepemimpinan Kristen dan paham kepemimpinan dunia pada umumnya tidak identik. Setiap orang  adalah pemimpin karena mereka memengaruhi orang lain, baik secara positif maupun negatif. Semua orang adalah pemimpin  dalam peran hidup. Pemimpin dalam peran hidup berbeda dengan pemimpin dalam organisasi. Pemimpin dalam organisasi menyangkut posisi dan jabatan yang diberikan dengan tempat nyaman dalam organisasi untuk melayani kebutuhan dan kebudayaan organisasi.
            Perbedaan dramatis diantara pemimpin dalam peran hidup dan pemimpin dalam organisasi adalah dalam hal lamanya relasi pemimpin dalam memberi pengaruh memengaruhi. Pemimpin dalam peran hidup berfungsi mempertahankan hubungan dalam jangka panjang, sedangkan pemimpin dalam organisasi bekerja untuk satu musim dalam suatu lingkungan hubungan dan perubahan yang temporer. Hampir selalu, pemimpin dalam peran hidup menjadi prasyarat untuk menjadi calon pemimpin dalam organisasi.
            Pemimpin Gereja termasuk kategori pemimpin organisasi dan semua pemimpin Gereja adalah pemimpin Kristen. Pemimpin Kristen adalah pribadi yang memiliki perpaduan antara sifat-sifat alamiah dan sifat-sifat spiritualitas Kristen. Sifat-sifat alamiahnya mencapai efektivitas tinggi karena dipakai untuk melayani dan memuliakan Allah, sedangkan sifat-sifat spiritualitas Kristennya menyebabkan ia sanggup memengaruhi orang-orang yang dipimpinnya untuk menaati dan memuliakan Allah. Pemimpin Kristen menggerakkan orang-orang berdasarkan agenda Allah. ia adalah seorang yang dipanggil Allah untuk memimpin dengan dan melalui karakter seperti Kristus. Pemimpin Kristen menggunakan pengaruhnya dalam rangka untuk melayani orang lain, bukan dalam rangka dilayani.
            Alkitab menjelaskan bahwa kepemimpinan Yesus Kristus tidak sama dengan kepemimpinan pada umumnya.  Yesus Kristus sendiri menyatakan perbedaan itu.     
            Bagi Yesus, menjadi pemimpin itu tidak sinonim dengan menjadi tuan. Menjadi pemimpin berarti melayani, bukan menguasai. Pemimpin dipanggil untuk menjadi hamba, bukan raja di raja. Meskipun pemimpin adalah pelayan, tetapi kepemimpinan mustahil dapat berjalan tanpa otoritas tertentu. Otoritas yang ada pada pemimpin harus dipergunakan bukan untuk menguasai tapi untuk melayani, bukan dengan jalan kekerasan tapi dengan jalan memberi teladan, bukan dengan paksaan melainkan persuasi.
            Kepemimpinan secara umum dengan kepemimpinan Yesus Kristus memang berbeda. Kepemimpinan Yesus disebut dengan kepemimpinan yang melayani. Ada sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani yang Yesus Kristus peragakan dalam kepemimpinan-Nya. Yesus Kristus melayani dengan visi yang berasal dari Allah, melayani dengan pengurapan dari Roh Kudus, melayani dengan kerendahan hati dan kepercayaan diri, melayani dengan integritas dan karakter kuat, melayani dengan menjaga kehidupan dalam doa, melayani dengan belas kasihan, melayani dengan kerelaan berkorban, melayani dengan memberdayakan, mengkader dan membangun tim kepemimpinan, dan melayani dengan keberanian menempuh risiko. Sembilan ciri khas kepemimpinan yang melayani ini secara konsisten dijalani dan dihidupi oleh Yesus sepanjang pelayanan-Nya kepada dan bersama para murid-Nya. Kepemimpinan yang melayani menjadi ciri khas kepemimpinan Yesus Kristus.
            Kepemimpinan gereja bersumber dari Yesus Kristus. Yesus Kristus adalah Pemilik dan Raja Gereja. Dengan demikian, model kepemimpinan melayani menjadi model kepemimpinan pemimpin gereja untuk mewujudkan tri tugas gereja yakni bersekutu, bersaksi dan melayani di dalam dunia.














DAFTAR PUSTAKA



Arcement, Billy. Searching for Success. Diterjemahkan oleh Elia Erlina       Simamora. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005.

Asare, Charles Agyin. Dari Orang Biasa Menjadi Luar Biasa.         Diterjemahkan oleh Yan Iskandar. Cetakan pertama. Yogyakarta :          Penerbit Andi, 2008.

Barna, George. Turning Vision into Action. California: Regal  Books,          1999.

_____________. “Hal Yang Berkaitan Dengan Visi” Leaders On    Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan.         Diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.

______________. “Tidak Ada Yang Lebih Penting Daripada          Kepemimpinan”          Leaders On Leadership, Pandangan Para             Pemimpin Tentang      Kepemimpinan. Diedit oleh George Barna.             Malang: Penerbit Gandum      Mas, 2002.

Blanchard, Ken dan Phil Hodges, Lead like Jesus (Belajar Dari Model        Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman.Diterjemahkan       oleh Dionisius Pare. Cet. Kedua. Jakarta: Visimedia, 2007.

Bliss, Edwin C. Sukses Anda Terletak pada Putaran Waktu.             Diterjemahkan oleh Budi. Jakarta: Binarupa Aksara, 1989.

Borg, Marcus J.  Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali : Yesus Sejarah dan   Hakikat Iman Kristen Masa Kini. Diterjemahkan oleh Ioanes     Rakhmat. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997.

Boyatziz, Richard dan Annie McKee. Resonant Leadership.            Diterjemahkan oleh Hikmat Gumelar. Diedit oleh F. Budi Hardiman.           T.k.: Esensi divisi Penerbit Erlangga, 2010.

Chandra, Robby I. Kamu Juga Bisa ! Disunting oleh Dyhni Adrawersthi    dan      lainnya. T.k.: Young Leader Institute, 2009.

_____________. Kamu Juga Bisa Kenal ! Cara memimpin Di Wilayah       Diri. Disunting oleh Lisa Suroso dan Emmanuella. T.k.: Young            Leader Institute, 2009.

______________. Kamu Juga Bisa Meraih ! Cara Meraih Mitra dan          Menghasilkan Kerja Sama. Disunting oleh Dyhni Adrawersthi dan          Rudi Juan Sipahutar. T.k. : Young Leader Institute, 2011.

_______________. Ketika pemimpin Harus Menghadapi Perubahan.         Diedit  oleh Jason Lase. Bandung: Bina Media Informasi, 2005.

Cole, Neil. Organic Leadership. Diterjemahkan oleh Tanto Handoko.         Yogyakarta: Penerbit Andi, 2011.

Covey, Stephen R. The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan    Manusia Yang Sangat Efektif). Diterjemahkan oleh Budijanto.           Cetakan pertama. Jakarta Barat: Binarupa Aksara, 1997.

Dale, Robert D. Pelayan Sebagai Pemimpin. Cet. kedua. Malang: Penerbit             Gandum Mas, 1997.

Damazo, Frank. Kunci-Kunci efektif Bagi Kepemimpinan Yang Sukses.        Diterjemahkan oleh Maya Suganda, diedit oleh Hosea S. Litaniwan.     Cetakan kedua.  Jakarta : Yayasan Pelayanan Tuaian Indonesia, 1996.

Darmaputera, Eka. Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab.            Yogyakarta: Kairos Books, 2005.

__________________. “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan           Kristiani.  Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.

Eckardt, A. Roy. Menggali Ulang Yesus Sejarah : Kristologi Masa Kini. Diterjemahkan oleh Ioanes Rakhmat. Jakarta : BPK Gunung       Mulia, 1996.

Eims, Leroy. 12 Ciri Kepemimpinan Yang Efektif. Diterjemahkan oleh         C.Th. Enni Sasanti. Diredaksi oleh Pauline Tiendas. Cet. Ke-7.        Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2003.

Ferguson, Sinclair B. Khotbah Di Bukit Cermin Kehidupan Sorgawi Di       Tengah Dunia Berdosa. Diterjemahkan oleh Shirley Liz M.T.M.         Diedit oleh Hendry Ongkowidjojo. Surabaya: Momentum, 2009.

Finzel, Hans. Sepuluh Kesalahan yang Dibuat Para Pemimpin.       Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Diedit oleh Lyndon Saputra.             Batam : Interaksara, 2002.

Gangel,  Kenneth O. Membina Pemimpin Pendidikan Kristen.         Diterjemahkan oleh Yayasan Penerbit Gandum Mas. Cetakan kedua.           Malang : Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001.

Gasperz, Vincent. GE Way And Malcolm Baldrige Criteria For       Performance Excellence (Mengungkap 25 Rahasia Kepemimpinan          Jack Welch, Mantan CEO General Electric yang Menjadikan GE             Perusahaan Nomor Satu Dunia yang Paling Kompetitif). Jakarta :   Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Geisler, Norman & Peter Bocchino, Unshakable Foundations.         Minneapolis : Bethany House, 2001.

Hall, Brian P. Panggilan Akan Pelayanan, Citra Pemimpin Jemaat.             Diterjemahkan oleh J. Drost. Terbitan bersama. Yogyakarta :          Kanisius dan BPK gunung Mulia Jakarta, 1992.

Hayford, Jack W.  “Karakter Seorang Pemimpin” Leaders On         Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan.         Diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.

Hybels, Bill. Courageous Leadership. Grand Rapids : Zondervan,   2002.

Jones, Laurie Beth. Yesus : Chief Executive Officer. Diterjemahkan oleh Bern. Hidayat. Jakarta: Mitra Utama, 1997.

Lembaga Alkitab Indonesia. Alkitab Dengan Kidung Jemaat. Jakarta:         LAI, 2005.

Lowney, Chris. Heroic Leadership. Diterjemahkan oleh Alfons       Taryadi.           Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006.

Lung, Wilfred Su Weng. Seni Kepemimpinan Gereja I. Diterjemahkan        oleh Paulus Daun. Manado: Yayasan Daun Family, 2003.

Manz, Charles C. The Leadership Wisdom of Jesus, diterjemahkan oleh       Rene Johanes. Diedit oleh Methodeus Eko Yulianto. ed kedua. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004.

_______________. Karen P. Manz, Robert D. Marx, dan Christopher P.     Neck. The Wisdom Of Solomon at Work. Diterjemahkan oleh Paulus       Herlambang. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Maxwell, John C. The Choice Is Yours :  Pilihan Ada Di Tangan Anda.       Diterjemahkan oleh Elin Rosalin. Disunting oleh Hidayat Saleh dan      Sofian Gunawan. Bandung : Penerbit Pioneer Jaya, 2009.  
_______________.  The 21 Irrefutable Laws Of Leadership (21 Hukum      Kepemimpinan Sejati). Diterjemahkan oleh Arvin Saputra. Diedit     oleh     Lyndon Saputra. Batam : Interaksara, 2001.

_______________. The 21 Indispensable Qualities Of A Leader  (21           Kualitas Kepemimpinan Sejati). Diterjemahkan oleh Arvin Saputra.    Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam : Interaksara, 2001.

_______________. Kekuatan Kepemimpinan. Diterjemahkan oleh Arvin    Saputra. Diedit  oleh Lyndon Saputra. Batam : Interaksara, 2002.

_______________. Mengembangkan Sikap Pemenang, Jalur Menuju          Kesuksesan. Diterjemahkan oleh Anton Adiwiyoto. Diedit oleh           Lyndon Saputra. Jakarta : Binarupa Aksara, 1996.

Munroe, Miles. The Spirit Of Leadership, Diterjemahkan oleh Budijanto.    Disunting oleh Paula Allo. Cetakan kedua. Jakarta:          Immanuel        Publishing House, 2008

Nelson, Alan E. Spiritual Intelligence Meraih Kecerdasan Spiritual dengan Metode Yesus. Diterjemahkan oleh Tanto Handoko. Yogyakarta:  Andi, 2011.

Nolan, Albert. Jesus Today. Diterjemahkan oleh Eko Riyadi. Diedit            oleh Satriyo. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

Nurhayati, Tria Kurnia. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan             Ejaan yang Disempurnakan. Disunting oleh Tim Redaksi Eska       Media. Cetakan  Kesepuluh. Jakarta: Eska Media, 2012.

Nouwen, Hendri J.M. Cakrawala Hidup Baru. Yogyakarta: Kanisius,         1986.

___________________. Dalam Nama Yesus, Permenungan tentang           Kepemimpinan Kristiani. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Oentoro, Jimmy. “Pemimpin Rohani Abad XXI” Kepemimpinan dan          Pembinaan Warga Gereja. Cetakan Pertama.  Jakarta: Pustaka Sinar       Harapan, 1998.

Oktavianus, P. Manajemen dan kepemimpinan Menurut Wahyu Allah.         Cetakan Keempat. Malang: Yayasan pekabaran Injil Indonesia dan          Gandum Mas, 1991.

Parkinson, C. Northcote dan M.K. Rustomji. Realitas dalam            Manajemen. Diterjemahkan oleh Agus Maulana. Jakarta: Binarupa     Aksara, 1990.

Pekerti, Anugerah dan Jansen H. Sinamo, “Kompetensi Etis dan     Spiritual,          Keniscayaan Pemimpin Abad Ke-21” Kepemimpinan             Kristiani.         Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.

Powell, Mark Allan. Jesus As A Figure in History : How Modern     Historians        View the Man from Galilea.  Louisville : Westminster       John     Knox,1998.

Prijosaksono, Aribowo., dan Roy Sembel. If You Want to be Rich and         Happy, Maximize Your Strength. Cetakan kedua. Jakarta: Elex Media komputindo, 2003.

Pue, Carson. Mentoring Leaders. Diterjemahkan oleh Agustinus Arvin        Saputra. Yogyakarta: Penerbit Andi,  2010. 

Rakhmat, Ioanes. Memandang Wajah Yesus. Jakarta Utara: Pustaka            Surya Daun, 2012. 

Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis. Cetakan ketiga. Jakarta:            BPK Gunung Mulia, 2000.

Robbins, Stephen P. The Truth about Managing People. Diterjemahkan oleh          Dian Rahardyanto Basuki. Diedit oleh Audina Furi Nirukti dan Daniel P. Purba. Jakarta : Penerbit Esensi, 2009.

Rumahlatu, Jerry. Psikologi Kepemimpinan. T.k.: CV Cipta Varia   Sarana,2011

Rush, Myron. Pemimpin Baru. diterjemahkan oleh  A.J. Syauta.      Cetakan           ketiga. Jakarta : YPI Immnuel, 1993.

Salindeho, Benny. “Mengelola Perubahan Di Era Reformasi”           Kepemimpinan Kristiani. Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.

Sanders, J. Oswald. Kepemimpinan Rohani. Diterjemahkan oleh Chris J.    Samuel dan Ganda Wargasetia. Cetakan kesepuluh. Bandung :           Yayasan Kalam Hidup, 1999.

Saragih, Jahenos. Manajemen Kepemimpinan Gereja. Jakarta: Suara           GKYE Peduli Bangsa, 2009.

Sastrodiningrat, Soebagio. Kapita Selekta Managemen dan Kepemimpinan.           Jakarta: Ind-Hilco, 2002.

Sia, Adam. The Chinese Art Of Leadership (Kepemimpinan). Diberi            ilustrasi  oleh Yaohai. ed. Kedua. Jakarta: Elex Media Komputindo,      1999.

Siagian, Sondang P. Teori dan Praktik Kepemimpinan. Jakarta: Rineka       Cipta, 2003.

Sinamo, Jansen H., “Kreativitas dan Inovasi, Keterampilan Untuk   Memecahkan Masalah kehidupan” Kepemimpinan Kristiani. Jakarta:       Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.

Siregar, Soen, “Motivasi Pelayanan”  Kepemimpinan Kristiani.        Jakarta:            Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001.

Susabda, Yakub B. Kaum Injili, Membangkitkan Kembali Iman Kristen      Ortodoks. Malang: Penerbit Gandum Mas, 1991.

Soebagjo, Meno. “Esensi Dasar Pelayanan Gereja.” Dalam Pelayanan         Gereja. Yogyakarta: Jurnal Teologi Gema Duta Wacana, 2001.

Stanley, Andy. Visioneering.  Oregon: Multnomah Publishers Siater,           1999.

Stassen, Glen H., dan David P. Gushee. Etika Kerajaan Allah, Mengikut     Yesus   Dalam Konteks Masa Kini. Diterjemahkan oleh Peter Suwandi        Wong.             Diedit oleh Irwan Tjulianto. Surabaya: Penerbit             Momentum, 2008. 

Stott, John. Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani.      Diterjemahkan oleh G.M.A. Nainggolan. Cetakan kedua. Jakarta:          Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1994.

_______. Khotbah Di Bukit jilid 1, diterjemahkan oleh G.M.A. Nainggolan.            Jakarta: Yayasan komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988.

Suhartanto, Eko., Anton W. Sumarlin, Ronni Sofrani, Joy Kartika dan        Asrini Suhita. Breakthrough Thingking, Bagaimana Cara Para     Inovator Berpikir. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009.

Susanto, A.B. Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin. Jakarta :            Grasindo, 1997.

Terry, Robert W. Kepemimpinan Autentik, Keberanian Untuk Bertindak.     Diterjemahkan oleh Hari Suminto. Diedit oleh Lyndon Saputra. Batam : Interaksara, 2002.

Tomatala, Yakob. Penatalayanan Gereja Yang Efektif di Dunia       Modern.           Malang: Gandum Mas, 1993.

______________. Kepemimpinan Yang Dinamis.  Jakarta: YT         Leadership      Foundation dan Malang:  Gandum Mas, 1997.

______________. Pemimpin Yang Handal . Jakarta:  Penerbit YT   Leadership      Foundation,  2003.


Tong, Caleb, “Pemimpin Rohani Yang Kompeten.” Dalam  Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja. Cetakan Pertama.        Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998.

Towns, Elmer L., “Peran Pembaharuan Dalam kepemimpinan”         Leaders           On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang             Kepemimpinan, diedit oleh George Barna. Malang: Penerbit Gandum          Mas, 2002.

Tridarmanto, Yusak. “Yesus dan Pelayanan.” Dalam  Pelayanan     Gereja.            Yogyakarta: Jurnal Teologi Gema Duta Wacana,  2001.

Wagner, C. Peter, “Pentingnya Doa Dalam Memimpin” Leaders On            Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed.          George Barna. Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002.

Waitley, Denis. Dahulukan Yang Perlu Didahulukan. Diterjemahkan          oleh Samuel Siahaan. Diedit oleh Anton Adiwiyoto. Jakarta:     Binarupa          Aksara, 1995.

Warren, Rick. The Purpose Driven Church, Pertumbuhan Gereja Masa Kini.         Malang: Penerbit Gandum Mas, 2003.




TENTANG PENULIS



Bambang Nugroho Hadi lahir di Kotabumi, 7 November 1974. Ia berprofesi sebagai seorang Pendeta. Sesudah menjalani masa vikariat selama dua tahun, ia ditahbiskan sebagai Pendeta pada 24 Januari 2001 dan sekarang melayani di Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan (GKSBS) Jemaat Mawar Saron, Seputih Raman, Lampung Tengah. Ia seorang pecinta alam pegunungan. Studi  teologi ditempuh di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, STT Jaffray Jakarta dan STT Syalom Lampung. Di sela-sela kesibukannya sebagai Pendeta Jemaat, ia  aktif di lingkungan Sinode GKSBS sebagai fasilitator pembinaan-pembinaan di Jemaat dan Klasis, pemateri dalam berbagai seminar di Sumatera Bagian Selatan, Ketua Departemen Peningkatan Kapasitas Sinode GKSBS, anggota dewan Pembina Yayasan Pendidikan Kristen Lampung, Puket III di STT Syalom Lampung dan kontributor tetap materi kotbah terbitan Sinode GKSBS. Ia tinggal di pasthori GKSBS Mawar Saron bersama Lilik Nurharyani, isterinya dan dua bidadari kecil bernama Gabriella Gita Diani Putri dan Christofera Gracia Diani Putri.  Pdt. Dr. Bambang Nugroho Hadi,M.Th sangat menikmati hidup dan profesinya sebagai Pendeta di pedesaan. Ini adalah bukunya yang kedua.








[1] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani  (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001), 1.
[2] Myles Munroe,  The Spirit Of Leadership,  pen. Budijanto, peny. Paula Allo (Jakarta: Immanuel Publishing House,  cet kedua 2008), 17.
[3] Ibid, 18.
[4] Richard  Boyatziz dan Annie McKee. Resonant Leadership, pen.Hikmat Gumelar, ed. F. Budi Hardiman (T.k.: Esensi divisi Penerbit Erlangga, 2010),1-4.
[5] Caleb Tong, “Pemimpin Rohani Yang Kompeten”  Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja (Jakarta:Pustaka Sinar Harapan, 1998), 168-169. Pendapat Caleb Tong ini didasarkan sabda Tuhan Yesus, “Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.”
[6] Eka Darmaputera, Kepemimpinan dalam Perspektif Alkitab (Yogyakarta: Kairos Books, 2005), 22. 
[7] Rm 6:13.
[8] Yakub B. Susabda, Kaum Injili, Membangkitkan Kembali Iman Kristen Ortodoks (Malang: Penerbit Gandum Mas, 1991), 79-80.
[9] P. Octavianus, Manajemen dan kepemimpinan Menurut Wahyu Allah, ed keempat (Malang: Yayasan Pekabaran Injil Indonesia dan Gandum Mas, 1991), 16.
[10] Flp 4:9.
[11] Bdk Bambang Mulyatno dan lainnya, “Kepemimpinan Gereja Dalam Mengelola Keesaan Dan Konflik Studi Kasus GKJ” Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, ed. Pertama (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), 152-159. Mereka menguraikan tiga prinsip kepemimpinan gereja yaitu : kepemimpinan pelayanan, kepemimpinan partisipatif dan kepemimpinan reformis (yang membebaskan).
[12] Robby I. Chandra, Kamu Juga Bisa Kenal ! Cara Memimpin Di Wilayah Diri, peny. Lisa Suroso dan Emmanuella (T.k.: Young Leader Institute, 2009), 22-23.
[13] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani, 3.
[14] Kej. 1: 26.
[15] Kej. 2:15.
[16] Eka Darmaputera, “Kepemimpinan Perspektif Alkitab” Kepemimpinan Kristiani, 5.
[17] Ibid, 6.
[18] Andrias Harefa, “Visi Dan Misi Kepemimpinan Kristiani” Kepemimpinan Kristiani  (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001), 32.
[19] Hendry J.M. Nouwen, Cakrawala Hidup Baru (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), 29.
[20] Yoh. 13:15-17.
                [21] 1 Kor. 12:28.
                [22] George Barna, “Tidak Ada Yang Lebih Penting Daripada Kepemimpinan” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna  (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), 18. [Terjemahan oleh Penerbit].
                [23] Robby I. Chandra,  Kamu Juga Bisa !, peny. Dyhni Adrawersthi dan lainnya (T.k.: Young Leader Institute, 2009), 11. Robby I Chandra memandang kepemimpinan sebagai metafor perjalanan dan metafor api yang merupakan pengembangan Robby I Chandra atas pendapat Rauch C.F. dan Behling O. Bdk Rauch C.F. and Behling O, “Functionalism : Basis for An Alternate Approach to The Study of Leadership” Leader and Managers : International Perspectives on Managerial Behavior and Leadership, (Elmsfords : NY, Pergamon Press, 1984), 45-62. 
                [24] Eka Darmaputera, Kepemimpinan Dalam perspektif Alkitab, 24-25. Menurut Eka Darmaputera, Kej. 1:26 menunjukkan bahwa setiap manusia mendapatkan 3 at : hakikat, mandat, berkat untuk memimpin. Meskipun semua orang sama-sama pemimpin, bukan berarti bahwa semua manusia kepemimpinannya sama dan setara. “Sama-sama” berbeda dengan “sama saja”. Perbedaan mereka terletak dalam kualitas kepemimpinannya. 
                [25] Myles Munroe, The Spirit Of Leadership, pen. Budijanto, peny. Paula Allo, ed. Kedua (Jakarta: Immanuel Publishing House, 2008), 34-35.
                [26]Ibid, 5.
                [27] Ibid, 6.
                [28] Andrias Harefa, “Visi Dan Misi Kepemimpinan Kristiani” Kepemimpinan Kristiani, 32.
                [29] Sinclair B. Ferguson, Khotbah Di Bukit Cermin Kehidupan Sorgawi Di Tengah Dunia Berdosa, pen. Shirley Liz M.T.M, ed. Hendry Ongkowidjojo (Surabaya: Momentum, 2009), 4.
                [30] Yoh. 13:15-17.
                [31] Kol. 1:16. Cetak miring oleh Penulis.
                [32] Rick Warren, The Purpose Driven Life, pen. Paulus Adiwijaya (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2005), 19.
                [33] Yoh. 17:4.
                [34] Kol. 3:23.
                [35] Yoh. 1:12.
                [36] Robby I. Chandra, Kamu Juga Bisa !, 40-41.
                [37] Ibid, 52-53.
                [38] John C. Maxwell, Kekuatan Kepemimpinan,  pen. Arvin Saputra, ed. Lyndon Saputra (Batam: Interaksara, 2002), 24.
                [39] Luk. 19:11-27.
                [40] Tri Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, peny. Tim Redaksi Eska Media, ed. kesepuluh (Jakarta: Eka Media,2012),918.
                [41] Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan Gereja (Jakarta: Suara GKYE Peduli Bangsa, 2009), 128.
                [42] Andy Stanley,  Visioneering (Oregon: Multnomah Publishers Siater, 1999), 29. [Terjemahan Langsung]. Stanley mengutip pendapat Jonathan Swift yang mengatakan, “Vision is the art of seeing things invisible”.
                [43] Rick Warren, The Purpose Driven Church, Pertumbuhan Gereja Masa Kini,  ed. ketujuh (Malang, Gandum Mas, 2006), 32. [Terjemahan oleh Penerbit].
                [44] Charles Agyin-Asare, Dari Orang Biasa  Menjadi luar Biasa, pen. Yan Iskandar, red. Ester S.W. (Yogyakarta: Andi Offset, 2008), 4.
                [45]Ibid, 206-208.
                [46] Richard  Boyatziz dan Annie McKee, Resonant Leadership, ,1-4.
                [47] Robby I Chandra, Kamu Juga Bisa Kenal, Cara Memimpin Di Wilayah Diri,158.
                [48] Ibid, 158-159.
                [49] Robby I Chandra, Kamu Juga Bisa Kenal, Cara Memimpin Di Wilayah Diri, 159-160.
                [50] Yang dimaksud ibadah pada hari-hari raya gerejawi antara lain: ibadah pada hari raya Natal, Jumat Agung, Paskah, Kenaikan Tuhan Yesus dan Pentakosta.
                [51] Yang dimaksud ibadah-ibadah khusus antara lain: ibadah pada malam akhir tahun, tahun baru,  peresmian calon jemaat, peresmian jemaat, pendewasaan jemaat, penerimaan jemaat yang menggabungkan diri, penahbisan Pendeta, peneguhan Pendeta, Pengutusan Pendeta, emiritasi Pendeta, ibadah dalam rangka persidangan gerejawi, ibadah oikumene, ibadah pemberkatan nikah, pemakaman dan ibadah peringatan  hari raya nasional.
                [52] Yang dimaksud dialog antar agama adalah dialog antar umat yang berbeda agama dan dapat diaksanakan dengan dialog kehidupan, dialog pengalaman religius, dialog aksi dan dialog teologis. Lih. Bambang Nugroho Hadi, Dialog Kristen-Islam Menuju Indonesia Damai (Yogyakarta: Smart Writing, 2013), 79-82.
                [53] Eka Darmaputera, Kepemimpinan Dalam Perspektif Alkitab,22, 25.
                [54] Ibid. 24.
                [55] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead Like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, pen.  Dionisius Pare.  Ed. Kedua (Jakarta: Visimedia, 2007),9-12.
                [56]Ibid,  10.
                [57] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead Like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, 12.
                [58] Jerry Rumahlatu, Psikologi Kepemimpinan (t.k. :  CV Cipta Varia Sarana, 2011), 113.
                [59] Ibid, 114.
                [60] Jerry rumahlatu, Psikologi Kepemimpinan, 114.
                [61] Yakob Tomatala, Kepemimpinan Yang Dinamis (Jakarta: YT     Leadership Foundation dan Malang:  Gandum Mas, 1997), 45.
                [62] Meno Soebagjo, “Esensi Dasar Pelayanan Gereja”  Pelayanan Gereja  ( Yogyakarta: Jurnal Teologi Gema Duta Wacana No. 57, 2001), 27.
                [63] Mat. 20:20-28, Mrk. 10:35-45.
                [64] Meno Soebagjo, “Esensi Dasar Pelayanan Gereja”  Pelayanan Gereja,  27.
                [65] Yusak Tridarmanto, “Yesus dan Pelayanan”  Pelayanan Gereja (Yogyakarta: Jurnal Teologi Gema Duta Wacana No. 57, 2001), 93.
                [66] Mat. 20:28, Mrk 10:45.
                [67] Tria Kurnia Nurhayati, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Dengan Ejaan yang Disempurnakan, 807.
                [68] Laurie Beth Jones, Yesus : Chief Executive Officer, pen. Bern. Hidayat (Jakarta: Mitra Utama, 1997), 208.
                [69] Yoh. 13:13-18. Cetak miring oleh Penulis.
                [70] Flp. 2:5.
                [71] John C. Maxwell, Mengembangkan Sikap Pemenang, Jalur Menuju Kesuksesan, pen. Anton Adiwiyoto, ed. Lyndon Saputra (Jakarta : Binarupa Aksara, 1996), 5.
                [72] Charles C. Manz, The Leadership Wisdom of Jesus, pen. Rene Johanes, ed. Methodeus Eko Yulianto, ed kedua (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), 106. Robert K. Greenleaf membuat dalil bahwa pemimpin yang benar adalah mereka yang memimpin dengan melayani orang lain. Uraian Robert K Greenleaf dapat dibaca dalam buku-bukunya antara lain : On Becoming a Servant-Leader (San Fransisco : Joosef Bass, 1997), Seeker and a Servant  (San Fransisco : Joosef Bass, 1997), dan The Leader as  Servant (Newton Center, Mas : The Robert K. Greenleaf Center, 1970).
                [73] Charles C. Manz, The Leadership Wisdom of Jesus,106.
                [74] Brian P. Hall, Panggilan Akan Pelayanan, Citra Pemimpin Jemaat, pen. J. Drost, Terbitan bersama, (Yogyakarta : Kanisius dan BPK gunung Mulia Jakarta, 1992), 12.
                [75] Yoh. 13:34-35. Cetak miring oleh Penulis.
                [76] A.B. Susanto, Meneladani Jejak Yesus Sebagai Pemimpin (Jakarta : Grasindo, 1997), 4.
                [77] 1 Kor. 11:1. Bdk. juga dalam Filipi 4:9, ia berkata, “dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu.”  
                [78] Myron Rush, Pemimpin Baru, pen. A.J. Syauta, ed. Ketiga  (Jakarta : YPI Immnuel, 1993),23.
                [79] Yoh. 14:12.
                [80] Myron Rush, Pemimpin Baru,23.
                [81] John R.W. Stott, Khotbah Di Bukit jilid 1, pen. G.M.A. Nainggolan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1988), 18-19.
                [82] Mat. 16:13-14.
                [83] Mark Allan Powell, Jesus As A Figure in History : How Modern Historians  View the Man from Galilea ( Louisville : Westminster John Knox, 1998), 13 dst, 52 dst. [Terjemahan Langsung]. Powell menuliskan bermacam-macam pandangan para sarjana modern tentang identitas Yesus.
                [84] Kis 2:36, Rm 10:9, 1 Kor 12:3.
                [85] Norman Geisler & Peter Bocchino, Unshakable Foundations (Minneapolis : Bethany House, 2001), 283-284. [Terjemahan Langsung].
                [86] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, iii .
                [87] Yakob Tomatala,  Pemimpin Yang Handal (Jakarta:  Penerbit YT Foundation, 2003), 9.
                [88] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, 60.
                [89] Meno Soebagjo, “ Esensi Dasar Pelayanan Gereja”  Pelayanan Gereja, 26.
                [90] Kenneth O. Gangel, Membina Pemimpin Pendidikan Kristen, ed. Kedua (Malang : Yayasan Penerbit Gandum Mas, 2001), 107. [Terjemahan oleh Penerbit].
                [91] Kenneth O. Gangel, Membina Pemimpin Pendidikan Kristen, 107-122.
                [92] John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, pen. G.M.A. Nainggolan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1994), 473.
                [93] Hans Finzel, Sepuluh Kesalahan yang Dibuat Para Pemimpin, pen. Arvin Saputra, ed. Lyndon Saputra (Batam : Interaksara, 2002), 30.
                [94] J. Oswald Sanders, Kepemimpinan Rohani, pen. Chris J. Samuel dan Ganda Wargasetia, ed. Kesepuluh (Bandung : Yayasan Kalam Hidup, 1999), 49-64.
                [95] Robby I. Chandra, Ketika Pemimpin Harus Menghadapi Perubahan, ed.  Jason Lase (Bandung: Bina Media Informasi, 2005), 109.
                [96] John Stott, Isu-Isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, 478.
                [97] Andy Stanley,  Visioneering, 29. Stanley mengutip pendapat Jonathan Swift yang mengatakan, “Vision is the art of seeing things invisible”.
                [98] Bill Hybels, Courageous Leadership (Grand Rapids : Zondervan, 2002), 32. [Terjemahan Langsung].
                [99] Marcus Buckingham, The One Thing You Need To Know (Satu Hal Yang Perlu Anda Ketahui), pen. Frans Kowa, ed. Lyndon Saputra dan Sigit Suryanto (Tangerang: Karisma Publishing Group, 2008), 81.
                [100] Eko Suhartanto dan lainnya, Breakthrough Thingking, Bagaimana Cara Para Inovator Berpikir (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2009), 27.
                [101] Vincent Gasperz, GE Way And Malcolm Baldrige Criteria For Performance Excellence (Mengungkap 25 Rahasia Kepemimpinan Jack Welch, Mantan CEO General Electric yang Menjadikan GE Perusahaan Nomor Satu Dunia yang Paling Kompetitif) (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007), 240.
                [102] George Barna, “Hal Yang Berkaitan Dengan Visi” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), 54-55. [Terjemahan Oleh Penerbit]
                [103] George Barna,  Turning Vision into Action, (California: Regal  Books, 1999), 35-36. [Terjemahan Langsung.]
                [104] Ibid, 59-60.
                [105] Ioanes Rakhmat, Memandang Wajah Yesus Sebuah Eksplorasi Kritis (Jakarta Utara : Pustaka Surya Daun, 2012), 41.
                [106] Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali : Yesus Sejarah dan Hakikat Iman Kristen Masa Kini, pen. Ioanes Rakhmat (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1997), 45.
                [107] Billy Arcement, Searching for Success, pen. Elia Erlina Simamora (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2005), 150-151.
                [108] John C. Maxwell, Mengembangkan Sikap Pemenang, Jalur Menuju Kesuksesan, 161.
                [109] Kis. 1:8.
                [110] Mrk. 1:12-13.
                [111] Frank Damazo, Kunci-Kunci Efektif Bagi Kepemimpinan Yang Sukses, pen. Maya Suganda, ed. Hosea S. Litaniwan, ed. Ke 2 (Jakarta : Yayasan Pelayanan Tuaian Indonesia, 1996), 155.
                [112] Henri J.M. Nouwen, Dalam Nama Yesus, Permenungan tentang Kepemimpinan Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 17-19, 29-30, 39-41.
                [113] Pendapat Daniel Goleman, dalam Prakata untuk buku Resonant Leadership., Lih. Richard Boyatziz dan Annie McKee. Resonant Leadership, pen. Hikmat Gumelar, ed. F. Budi Hardiman  (T.k.: Esensi divisi Penerbit Erlangga, 2010), ix-xi.
                [114] John C. Maxwell, The Choice Is yours, pen. Elin Rosalin, peny. Hidayat Saleh, Sofin Gunawan   (Bandung: Pionir Jaya, 2009),108-109.
                [115] Charles C. Manz, dan lainnya, The Wisdom Of Solomon at Work, pen. Paulus Herlambang (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2004), 134.
                [116] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman, 87-88.
                [117] Aribowo Prijosaksono dan Roy Sembel, If You Want to be Rich and Happy, Maximize Your Strength, ed. Kedua (Jakarta: Elex Media komputindo, 2003), 107.
                [118] Jack W. Hayford, “Karakter Seorang Pemimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), 96. [Terjemahan Oleh Penerbit]
                [119] Stephen R. Covey, The 7 Habits of Highly Effective People (7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif), pen. Budijanto, ed. Lyndon Saputra (Jakarta : Binarupa Aksara, 1997), 35.
                [120] C. Peter Wagner, “Pentingnya Doa Dalam Memimpin” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), 359. [Terjemahan Oleh Penerbit].
                [121] Jimmy Oentoro,  “Pemimpin Abad XXI”  Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, 214-216.
                [122] Carson Pue, Mentoring Leaders, pen. Agustinus Arvin Saputra (Yogyakarta: Penerbit Andi,  2010), 43. 
                [123] A. Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah : Kristologi Masa Kini, pen. Ioanes Rakhmat (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996), 42-44.
                [124] Ken Blanchard dan Phil Hodges, Lead like Jesus, Belajar Dari Model Kepemimpinan Paling Dahsyat Sepanjang Zaman,206.
                [125] Kel. 32:7-14, 32.
                [126] Richard Boyatziz dan Annie McKee,  Resonant Leadership, 230-231.
                [127] Mat. 9:9-13. Cetak miring oleh Penulis.
                [128] Mat. 9:36, Mat. 14:14, Mrk. 6:34, Mrk. 8:2
                [129] Mat. 20:34.
                [130] Mrk. 1:41.
                [131] Luk. 7:13, Yoh. 11:33-35. Bahkan, di hadapan orang banyak, Yesus menyatakan perasaan belas kasihanNya dan menangis.
                [132] Wilfred Su Weng Lung, Seni Kepemimpinan Gereja I, pen. Paulus Daun (Manado: Yayasan Daun Family, 2003), 102.
                [133] Stephen P. Robbins, The Truth about Managing People, Pen. Dian Rahardyanto Basuki, ed.  Audina Furi Nirukti dan Daniel P. Purba (Jakarta : Penerbit Esensi, 2009),  98-99.
                [134] Yoh. 14:12-13. Cetak miring oleh Penulis.
                [135] Cetak miring oleh Penulis.
                [136] John C. Maxwell, The 21 Irrefutable Laws Of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati),323.
                [137] Myron Rush, Pemimpin Baru, 19.
                [138] Mrk. 1:16-20, Mrk. 2: 14, Luk. 5:1-11.
                [139] Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis, ed. Ketiga (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000),155.
                [140] Pada masa kini, gereja harus dengan sengaja mempersiapkan kader-kader pemimpin masa depan karena pemimpin yang ada akan menjadi tua, pensiun, meninggal atau pindah karena mutasi pekerjaan. Pelatihan dan pemberdayaan adalah jawaban demi penyerahterimaan tongkat estafet kepada pemimpin berikutnya. Bdk. Frank Damazo, Pemimpin Barisan Depan, pen. Maya Suganda dan Widyawati Dharmasurya, ed. Hosea S. Litaniwan (Jakarta: Harvest Publication House, 1995), 303.
                [141] Hans Finzel, Sepuluh Kesalahan yang Dibuat Para Pemimpin, pen. Arvin Saputra, ed. Lyndon Saputra (Batam : Interaksara, 2002), 192-193.
                [142] Tom Philips, “Membentuk Suatu Tim Agar Pekerjaan Terlaksana” Leaders On Leadership, Pandangan Para Pemimpin Tentang Kepemimpinan, ed. George Barna (Malang: Penerbit Gandum Mas, 2002), 280-295. [Terjemahan Oleh Penerbit].
                [143] David Rock, Quite Leadership : Enam Langkah Mengubah Kinerja demi Kesuksesan Perusahaan Anda, pen. A. Widianta (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 237.
                [144] Edwin C. Bliss, Sukses Anda Terletak pada Putaran Waktu, pen. Budi (Jakarta: Binarupa Aksara, 1989), 14-15.
                [145] C. Northcote Parkinson dan M.K. Rustomji, Realitas dalam Manajemen, pen. Agus Maulana (Jakarta: Binarupa Aksara, 1990), 28-29.
                [146] Jansen H. Sinamo, “Kreativitas dan Inovasi, Keterampilan Untuk Memecahkan Masalah kehidupan” Kepemimpinan Kristiani  (Jakarta: Unit Publikasi dan Informasi STT Jakarta, 2001), 148.
[147] Robert W. Terry, Kepemimpinan Autentik, Keberanian Untuk Bertindak, pen. Hari Suminto, ed. Lyndon Saputra (Batam : Interaksara, 2002), 341.
                [148] Denis Waitley, Dahulukan Yang Perlu Didahulukan, pen. Samuel Siahaan, ed. Anton Adiwiyoto (Jakarta: Binarupa Aksara, 1995),  87.
                [149] Denis Waitley, Dahulukan Yang Perlu Didahulukan, 85.
                [150] Kel. 5-11.
                [151] John C. Maxwell, The Choice Is Yours, 78.
                [152] John C. Maxwell, The 21 Indispensable Qualities Of A Leader (21 Kualitas Kepemimpinan Sejati), 62.
                [153] Ibid, 63.
                [154] Chris Lowney, Heroic Leadership, pen. Alfons Taryadi, ed. Kedua (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), 273-274.
                [155] Adam Sia, The Chinese Art Of Leadership (Kepemimpinan), ilustrasi oleh Yaohai, ed. Kedua  (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999), 108.
                [156] John C. Maxwell, The 21 Irrefutable Laws Of Leadership (21 Hukum Kepemimpinan Sejati), 115-119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar