EKLESIOLOGI GKSBS SEBAGAI RUMAH
BERSAMA[1]
Dipresentasikan oleh
Pdt. Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th[2]
Dipresentasikan oleh
Pdt. Dr. Bambang Nugroho Hadi, M.Th[2]
I.
KEUNIKAN
GKSBS
GKSBS (Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan)
mungkin satu-satunya gereja di Indonesia yang lahir bukan dari kegiatan badan
misi (zending) tertentu atau karena program misi dari Sinode tertentu. GKSBS sebagai gereja di Sumbagsel terbentuk dari persekutuan orang-orang
kristen transmigran yang berlatar belakang gereja /denominasi yang majemuk,
yaitu : GKJ, GKJTU, GITJ, GKJW, GKMI, HKBP, GPIB, GKPB, Katolik, Pantekosta dan Injili).
GKSBS berawal dari gereja suku (Wilayah 1 Sinode GKJ)
dan pada tahun 1987 menjadi Sinode sendiri yang berkomitmen untuk menjadi gereja daerah. Pertumbuhan gereja GKSBS merupakan hasil
proses “nglari” (mencari dan mengumpulkan orang kristen), bukan dari hasil
penginjilan aktif. Persebaran GKSBS meliputi Sumatera Bagian Selatan, yakni
Propinsi Lampung, Bengkulu, Sumatera
Selatan dan Jambi, terdiri dari 13 Klasis dengan 90 gereja dewasa dan 87 orang pendeta dengan
473 mimbar (kelompok/pepanthan ). 1 gereja dewasa rata-rata memiliki 2 hingga 14
kelompok ibadah (mimbar) dan terutama tumbuh berkembang di pedesaan.
Jemaat-jemaat
GKSBS Sejak Sidang Sinode tahun 2010 memberlakukan persamaan hak antara
anak-anak baptisan dengan anggota sidi untuk menerima pelayanan sakramen
Perjamuan Kudus. Sosialisasi dilaksanakan sejak tahun 2008 (sebelum persidangan
sinode) dan saat ini sudah sekitar 90 % seluruh jemaat melayani sakramen
Perjamuan Kudus bagi anggota baptisan.
II.
KONTEKS GKSBS
Gereja hadir dalam konteks. Ia
berteologi untuk menjawab konteksnya. Gereja selalu ada dalam tegangan antara dipengaruhi
dan memengaruhi konteks yang menyekitarinya. Berikut ini deskripsi konteks
Sumatera Bagian Selatan :
Sumatera Bagian Selatan
berpenduduk plural dalam suku, agama dan kebudayaannya. Semua agama besar yang
diakui pemerintah RI ada di Sumatera Bagian Selatan. Transmigrasi membuat pengkotak-kotakan
komunitas suku yang membawa nama desa asal mereka menjadi nama desa mereka yang
baru di Sumbagsel. Kemiskinan penduduk
mencapai 30-40 % dari total penduduk di setiap propinsi.
Pada pihak lain, konflik tanah (agraria) sering terjadi. Lampung menempati peringkat kedua tertinggi konflik tanah di Indonesia dan Palembang menempati urutan yang ke-enam. Sementara itu, modal
sosial, yakni persaudaraan, kepemimpinan dan organisasi serta
tolong menolong mulai terkikis. Masyarakat berkecenderungan untuk mengumpulkan dan menimbun sebanyak mungkin aset
dengan sesedikit mungkin berbagi. Martabat seseorang diukur dari dan melekat pada uang,
kekuasaan dan pengetahuan daripada
pemahamannya mengenai dunia, manusia dan nilai.
III.
NILAI-NILAI GKSBS
Melihat kenyataan konteks di atas, nilai-nilai GKSBS masih tetap melekat
meskipun tidak sekuat dulu. Oleh sebab itu, inventarisasi nilai-nilai GKSBS
menjadi awal dari proses mempersubur dalam menumbuhkembangkan nilai-nilai GKSBS di tanah Sumatera.
GKSBS memiliki sebelas nilai (value), yakni : nilai asketisme untuk berbagi, keadilan yang berpihak, keadilan gender, dialog untuk partisipasi, menguatkan organisasi, menguatkan Lembaga Keuangan Lokal, pendidikan untuk kecakapan hidup, sensitif etnis, akuntabilitas, perbaikan ekologi dan nilai spiritualitas.
Akar
historis keberadaan
nilai-nilai GKSBS sebagai gereja transmigran untuk menjadi Gereja Daerah begitu kuat. Nilai persaudaraan dan kesadaran bahwa Sumbagsel
sebagai rumah bersama begitu
tinggi. Benih dan keinginan untuk
berbagi serta hidup bersama telah ada dalam tradisi dan sejarah budaya para
transmigran. Gotong-royong, toleransi
(tepo-seliro), semangat untuk tetap mempertahankan keunikan yang khas (jati diri) dari penduduknya hendak menunjukkan bahwa
mereka pernah ada di tanah asal mereka
yakni Pulau Jawa, Lombok dan Bali. Nilai-nilai
tersebut berfungsi kuat untuk menjamin mereka terus berkarya melewati situasi
di tanah seberang.
IV.
TEMA,
VISI, MISI, ARAH MENGGEREJA, DASAR BERPIKIR DAN BERTINDAK GKSBS
Tema Sidang Sinode Bengkulu tahun 2010 masih
menggema. Tema: “BERAPA BANYAK ROTI YANG ADA PADAMU?
COBALAH PERIKSA…?! Dan SUB Tema Sidang: “Panggilan
persaudaraan untuk hidup berbagi dan bermartabat dalam rumah bersama”
terus dipelihara hingga kini. Ada semangat dari GKSBS untuk menjadi
berkat bagi Sumbagsel dengan merasa diri cukup dan mulai berbagi dengan apa
yang ada padanya. Dalam sikap diri cukup dan berbagi itulah, GKSBS merasa
memiliki martabat untuk hadir di Sumatera Bagian Selatan.
VISI GKSBS
“Gereja yang
melihat diri sebagai Hamba Allah yang setia, peduli terhadap masalah sosial dan
hak-hak asasi manusia.
Solider terhadap
mereka yang miskin dan tertindas untuk untuk penguatan masyarakat sipil dan
memberi pengharapan bagi dunia.”
MISI GKSBS
- Untuk berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati dihadapan Allah (Mikha 6:8)
- Untuk melayani dengan menyampaikan kabar baik dan memberitakan tahun rahmat Tuhan kepada semua orang dan segenap ciptaan (Lukas 4:18-19)
ARAH BERGEREJA GKSBS
- Setiap orang, jemaat atau komunitas pasti memiliki sesuatu yang berharga untuk dibagikan kepada yang lain.
- Berbagi merupakan aktualisasi dan napak tilas pengembalian martabat.
- Panggilan untuk Berbagi dan bermartabat dalam persaudaraan dalam Sumbagsel sebagai rumah bersama menjadi panggilan diakonia GKSBS.
- Nilai berbagi akan menjadi nilai inti yang akan dibawa dalam kehidupan berjemaat untuk memberi pengharapan dan membawa perubahan sosial di Sumbagsel.
PRIORITAS: PANGGILAN
DIAKONIA
- Prioritas GKSBS 2011-2015 adalah mengerjakan panggilan diakonia untuk berbagi dan mempersubur nilai persaudaraan.
- Mengoptimalkan panggilan diakonia gereja di aras setempat, klasikal dan sinodal.
- Sumberdaya, dana dan teologi sebesar mungkin diarahkan pada panggilan diakonia ini.
V.
DASAR BERPIKIR DAN BERTINDAK
GKSBS mengembangkan paradigma Paulus untuk
memikirkan apa yang benar, yang baik, yang disebut kebajikan dan patut dipuji
(Appreciative Inquiry).
Dalam pendekatan untuk mengubah situasi
GKSBS memakai pendekatan nilai-nilai dan berdasar karunia dan asset-asset
yang ada di jemaat dan masyarakat, terutama asset atau modal sosial (Asset
Based Comunity Development /ABCD).
Dalam menyusun dan melaksanakan
program menggunakan manajemen yang berbasis hasil (RBM) yang dapat mempengaruhi
perubahan. (mengumpulkan data, mempelajari dan mengolah data, memberdayakan tim
kerja, melaksanakan pemberdayaan meluas, berjejaring dan monitoring evaluasi).
VI.
GEREJA
SEBAGAI RUMAH BERSAMA: KESADARAN AKAN EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL BAGI GKSBS
Wacana
kebutuhan untuk merumuskan eklesiologi GKSBS mulai disadari pada Sidang VII Sinode GKSBS di
Belitang, tahun 2002. Para Pendeta GKSBS sudah heterogen latar
belakang teologinya, banyak yang harus melalui
program “aplikasi” sebelum proses pembimbingan peremtoar. Pada pihak lain, terbangun kesadaran terhadap keunikan GKSBS sebagai gereja
di Sumbagsel yang terbentuk bukan dari badan zending tertentu melainkan dari
persekutuan orang-orang kristen transmigran yang berlatar belakang gereja
/denominasi yang majemuk, yaitu : GKJ, GKJTU, GITJ, GKJW, GKMI, HKBP, GPIB,
GKP, Pantekosta dan Injili). Gereja yang unik ini berkomitmen untuk semakin menjadi gereja daerah.
Dalam perjuangan untuk menyepakati eklesiologi GKSBS
yang kontekstual, GKSBS mengadakan
Semiloka Eklesiologi GKSBS di metro pada bulan September 2004 yang difasilitasi
Pdt EG Singgih, Ph.D. Dalam semiloka 2004 tersebut dihasilkan pilihan eklesiologi GKSBS,
antara menjadi “Gereja Perjamuan” atau menjadi “Gereja Persaudaraan”
Dalam perkembangannya, GKSBS terus menerus merefleksikan
keberadaan dirinya di Sumbagsel dan mengarahkan pilihannya dalam Konven Pendeta
GKSBS tahun 2011, untuk menjadi gereja berdiakonia dengan eklesiologinya yang
dirumuskan dalam metafor “Rumah Bersama”.
Eklesiologi GKSBS Sebagai Rumah Bersama menggema sejak
tahun 2010 hingga sekarang. GKSBS memaknai gereja dalam metafor “Rumah Bersama”
didasarkan dari nilai-nilai yang dimiliki GKSBS. Nilai-nilai itu yang membentuk
identitas GKSBS dalam keberadaannya di Sumatera Bagian Selatan yang plural.
Dalam kerangka pemikiran itulah GKSBS menyusun eklesiologi Rumah Bersama
sebagai eklesiologi yang kontekstual. Melalui perjumpaan antara pendatang
dengan penduduk asli terjadi dalam suasana yang damai sehingga metafor rumah
bersama bukan dimaknai sebagai tempat tapi suasana. Suasana di mana terdapat
kenyataan saling mengakui, saling menghargai dan saling menerima satu dengan
yang lain. Eklesiologi GKSBS sebagai Rumah Bersama telah dan sedang
disosialisasikan ke seluruh Jemaat Lokal dan telah diputuskan dalam Sidang Sinode
bulan Agustus 2015 yang lalu.
[1]
Rumah Bersama adalah metafor yang dipilih oleh GKSBS yang didapatkan dari
sejarah perjumpaan GKSBS dengan Tuhan dan Sesama penduduk Sumatera Bagian
Selatan dan dihidupi dari nilai-nilai yang tumbuh subur di GKSBS. Paper kecil
ini telah disampaikan dalam Studi Institut PERSETIA di STT Jakarta 23-26 Juni
2015.
[2]
Pendeta Jemaat GKSBS Mawar Saron, Ketua Departemen Peningkatan Kapasitas Sinode
GKSBS, Dosen Biasa pada STT Syalom Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar